Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story Artikel Utama

Legenda Danau Tondano, di antara Kuliner dan Wisata

17 Maret 2013   05:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:38 2424 4

Liburan Nyepi kemarin (12/3) benar-benar saya gunakan untuk jalan-jalan bersama teman dari Jawa yang kebetulan ada acara di Manado. Kali ini, saya memilih jalan-jalan ke Minahasa Induk, Sulawesi Utara.

Roda Avanza coklat manggis bergerak meninggalkan lokasi Danau Linow, di Lahendong, Tomohon Selatan. Warna hijau tosca pada air danau, masih hangat membungkus benak dan tinggalkan bayang wisata, kendati arah mobil sekarang menuju ke danau yang lebih besar yaitu Danau Tondano di wilayah Minahasa Induk.

Cuaca sedikit mendung. Menuju ke Tondano dari danau Linow saya harus melewati Tomohon, Tataaran, jalan Kampus Unima lalu belok kiri, menuju ke Boulevard. Karena perut sudah keroncongan, kami berhenti untuk makan siang di pusat kuliner di sepanjang Boulevard.

Kami sambangi rumah makan HoHo. Saat kaki menginjakkan di halaman, kami langsung disambut dengan aneka macam menu khas Minahasa di estalase kaca depan. Sebelum pelayan datang, saya sudah memilih apa yang akan kami santap untuk makan siang kali ini.

Saya pesan rica-rica bebek, kolobi santan, udang tawar goreng, sayur pakis/kangkung yang ditumis dengan bunga pepaya, mujaer bakar. Semua satu porsi. Pesanan itu cukup untuk dimakan empat orang. Untuk tambahan, karena penasaran, kami pesan jagung manis bakar dan perkedel milu yang berisi sepuluh.

Salah satu teman saya pesan 1 buah kelapa muda utuh untuk minumannya. Tak beberapa lama pesanan kami tiba. Semua kami santap seiring dengan rasa lapar yang menggelinjang di perut kami. Nikmatnya masakan Minahasa makin asyik karena di sekeliling rumah makan itu terbentang sawah yang luas menghijaukuning yang dihiasi dengan orang-orangan atau tali berbendera plastik aneka macam untuk usir burung-burung pemangsa padi.

Puas makan lalu kami siap untuk membayar makanan kami yang telah ludes. Harga dihitung per porsi. Satu porsi Kolobi santan 25 ribu. 1 porsi bebek rica, 30 ribu. Kelapa muda 15 ribu. 1 ekor mujaer bakar ukuran besar 35 ribu. Nasi putih 1 bakul dihitung 2, 10 ribu. Perkedel milu 5 biji, 15 ribu. Kemudian saya merogoh kantong sebesar 149.00 ribu untuk membayar nikmatnya makan siang kuliner kami di Boulevard Tondano.

Mendekati Danau Tondano (4.278ha), danau terbesar di Sulut ini, untuk nikmati keindahan alamnya satu-satunya jalan adalah menyusuri sepanjang jalan Tondano ke Remboken. Jalan ini memang dikenal sebagai jalan wisata karena bisa tembus ke Bukit Kasih melalui desa Polutan, desa pengrajin keramik hingga ke Kawangkoan, sebelum Kanonang.

Jalan sepanjang pinggir danau Tondano itu menyuguhkan pemandanganyang unik. Tampak danau Tondano dikelilingi oleh pegunungan-pegunungan. Di antaranya, Lembean, Kaweng, Tampusu dan Masarang. Masyarakat memanfaatkan danau Tondano inin untuk memelihara ikan di keramba seperti mujaer, payangka, nike, ikan gabus, ikan mas, lobster tawar, dll.

Sepanjang perjalanan ke Remboken, terlihat banyak restoran-restoran di pinggir danau yang berdekatan dengan keramba-keramba ikan. Salah satu musuh danau ini adalah bertumbuh-suburnya enceng gondok sehingga membuat pedangkalan dan tidak sedap dipandang.

Danau Tondano tak bisa lepas dari legenda. Konon, asal muasal danau ini karena letusan maha dahsyat Gunung Kaweng yang disebabkan karena sepasang muda-mudi yang melanggar larangan orang tua untuk kawin (Kaweng, bahasa Minahasa). Yang cowok bernama Maharimbow, putera tunggal Tonaas (Penguasa) Selatan. Yang cewek bernama Marimbow, puteri Tonaas Utara.

Tonaas Utara makin risau memikirkan siapa pewaris tunggal tahtanya karena anaknya seorang putri. Karena itu, Tonaas Utara mendadani anaknya dengan berpakain seperti laki-laki dan berikrar selama ayahnya masih hidup anaknya dilarang untuk menikah. Ikrar ini diucapkan secara adat di hadapan tetua “opo” Empung.

Suatu ketika terjadi peperangan antara Utara dan Selatan. Maharimbow, pemimpin pasukan dari Selatan akhirnya berperang satu lawan satu dengan Marimbow hingga suatu ketika membuka tabir siapa pangeran itu sebenarnya. Mengetahui bahwa lawannya itu seorang puteri cantik, maka Maharimbow jatuh hati dan bersepakat untuk menjalin hubungan sebagai suami-isteri sekaligus menyatukan wilayah Utara dan Selatan agar hidup rukun bagai saudara.

Sumpah yang diikrarkan untuk tidak kawin selama ayahnya masih hidup, dilanggar oleh sepasang muda-mudi itu dan berakibat terjadi gempa dan gunung meletus dahsyat di pagi harinya.

Cerita legenda itu mengantar perjalanan kami hingga sampai di Sumaru Endo, lokasi wisata di pinggir Danau yang tak kurang dari setengah jam kami tempuh dari Boulevard Tondano. “Kolam renang hangat, mandi air panas di kamar-kamar, restoran, pantai dan gesebo-gasebo tersedia di lokasi Sumaru Endo ini” kata saya sebelum membeli karcis masuk.

Setelah membayar karcis masuk dan parkir mobil per orang Rp. 5.000,- dan per mobil Rp. 10.000,- kami langsung berjalan-jalan mengelilingi obyek wisata itu. Karena kami tidak berniat untuk berenang di kolam air panas, maka ya duduk-duduk saja di pantai sambil memandang ke luasnya danau dan menyaksikan aktivitas nelayan yang sedang menjala ikan.

Kesempatan dan kenangan jalan-jalan ke danau tondano itu tak lupa saya abadikan dalam kamera saya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun