Kuliner dan jalan-jalan merupakan aktivitas wisata yang saling melengkapi. Cuma mengunjungi wisata saja tanpa berburu kuliner khas dan unik setempat, liburan terasa hambar dan kurang nikmat.
Jumat (28/6) dalam perjalanan dari Semarang ke Yogya, saya dan teman saya bersama istri anaknya, berhenti sejenak di Magelang, kota sejuk di kaki Gunung Tidar. Melepaskan kejenuhan terjebak kemacetan di ruas jalan Semarang Magelang, apalagi di musim liburan sekolah kali ini, saya kira pilihan tepat sebelum lanjut ke Yogya.
“Ada bakso krikil di Taman Badakan, mau nyoba? Makan panas-panas bisa hangatkan badan. Tapi, bakso kaki lima lho” ujar Ari menawarkan saya yang sedang pegang kemudi Xenia ungu metalik.
Tanpa pikir panjang, saya setujui ajakan Ari teman saya. Mobil kemudian saya arahkan menuju ke Jalan Ade Irma Suryani, jalur Yogya Semarang, menuju ke Taman Badakan, taman rekreasi dan nongkrong di jantung kota Magelang. Atau tepatnya di daerah Potrobangsan, tak jauh dari Situs Plengkung yang di atas dipakai untuk jalan air dibuat tahun 1920 sehingga disebut Boog Kotta Leiding, dari Aqua Duct yang dibangun oleh Belanda untuk distribusi air ke rumah-rumah.
Begitu masuk di taman itu, kesan hutan kota dan ruang publik begitu kuat, Betapa tidak. Taman itu terlihat anak-anak sedang bermain ayunan atau berlarian. Orang tua mereka mengawasi dari gelaran tikar yang disediakan oleh para pejual bakso dan makanan lainnya.
Deretan penjual bakso langsung terlihat sesaat mencari tempat parkir. Tulisan “Bakso Krikil” menjadi trade mark-nya Taman Badakan ini. “Berhenti sebelah mana?” tanya saya kepada Ari yang sangat hafal kota Magelang karena istrinya berasal dari Magelang.
“Sana saja, Tempatnya pak Yanto. Bakso Krikilnya lebih terasa gurih dibandingkan lainnya. Ya di situ parkir di muka rumah dinas Gubenur Akmil yang besar, pagar putih dan rumah kuno peninggalan Belanda itu” kata Ari memberi aba-aba pada saya.
Selesai memakirkan mobil, saya lalu bergabung dengan keluarga Ari yang sudah duduk di bangku kayu yang disediakan oleh Pak Yanto. Penjual bakso.
“Pesan empat mangkok nggih Pak?” ujar istrinya Ari kepada Pak Yanto langganannya sejak SMP. Pak Yanto yang dibantu istrinya segera menyiapkan pesanan kami. “Minumnya apa ya?” tanya Bu Yanto.Lalu saya bilang teh panas manis. Ari pesan jeruk panas.
Tak ada sepuluh menit, pesanan kami sudah tiba di meja. Uap panas dari mangkok bakso begitu menggoda untuk segera dilahap, sebelum kesejukan Magelang mendinginkan kuliner ini. Ritual sebelum makan bakso mulai saya lakukan. Saya campur beberapa tetes cuka, dan satu sendok kecap dan tentu tak saya lupakan adalah sambal. Cukup tiga sendok kecil.
“Lidah PaK Tri sudah lidah Manado nih. Belum bisa makan kalau belum ada pedasnya” kata Ari mengomentari ritual saya tadi. Saya hanya senyum-senyum saja sambil membatin peribasa umum, di mana bumi diinjak di situ langit dijunjung. Tak heran kalau setiap kali menyantap makanan, yang saya cari adalah rica atau sambal.
Sambil makan bakso krikil saya lalu mengobrol dengan Ibu Yanto penjual bakso. Dari obrolan itu saya lalu paham mengapa disebut bakso krikil.
Ukuran baksonya yang kecil-kecil dari ukuran normal, itulah alasannya mengapa disebut Bakso Kerikil (kerikil sebutan untuk batu-batu ukuran kecil). Ide bakso krikil dimunculkan oleh pak Min yang ingin membuat cita rasa beda dari bakso biasa dan sebenarnya menyesuaikan dengan pembeli yang rata-rata adalah anak-anak yang sedang bermain di taman badakan. Bakso kerikil mulai terkenal tahun 2008.
“Satu porsi bakso diisi berapa bakso krikil, bu?” tanya saya. “Biasanya 15 biji Mas tapi kalau ada request lebih dari itu juga boleh kok” jawab Bu Yanto dengan fasih. Bayangkan satu mangkok diisi 40 biji bakso, misalnya. Tumpah ruah deh.
Penjual Bakso kerikil di taman Badakan ini ada 15 gerobak. Per minggu setiap penjual dikenai pajak dagangan sebesar 200 ribu rupiah. Setiap hari mereka berdagang di tempat bermain itu mulai dari pagi jam 9 hingga jam 3 sore, tergantung harinya. Kalau Sabtu dan Minggu atau hari libur cukup laris hingga kadang pulang lebih awal.
Per satu porsi mangkok dijual dengan harga 7 ribu rupiah. Belum jualan minumannya seperti teh, jeruk dan minuman botolan. Katanya, setiap hari rata=rata bisa menjual sekitar 200 mangkok. Yah setiap hari bisa meraup kurang lebih antara 1 hingga 2 juta rupiah. Cukup buat mencukupi kebutuhan sehari-hari katanya.
Bu Yanto juga bercerita pengalamannya ketika baksonya diborong oleh Pak Bibit Waluya, Gubenur Jateng yang mempopulerkan slogan program “Bali Deso Mbangun Deso” dan dibuat sound traknya.
“Lima kali saya diundang sama Pak Bibit untuk hidangan saat reuni, lebaran atau kala ada tamu besar datang” cerita bu Yatno dengan penuh bangga sebagai wong cilik yang diundang di kalangan penguasa dan pejabat besar. “Saya kikuk bercampur senang saat melayani para pejabat itu” ujar Bu Yatno yang tak biasa masuk di rumah besar dan elite milik pejabat.
“Bakso saya diborong dengan harga 2,5 juta rupiah satu gerobak. Tapi sayang sekarang pak Bibit tidak lagi mengundang saya karena sudah bali deso dan tak menjabat Gubenur lagi” lanjut bu Yatno dengan nada sedih bercampur bagaimana lagi lha kalah sama pak Ganjar dalam pilkada Jateng baru-baru ini.
Kenyang dengan semangkok bakso krikil dan satu biji bakso tenes (pengen bandingkan) kami kemudian meninggalkan Taman Badakan dengan rasa kecewa karena pelanggan ”besar” bakso Pak Yatno, yaitu Pak Bibit Waluyo, tak lagi borong dagangannya karena beliau sudah lengser dari jabatannya.