Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story Artikel Utama

Pelajaran Eksotis dari Taman Sari Yogya

4 Januari 2013   16:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:30 1402 5

Yogyakarta kembali menjadi tujuan wisata saya di musim liburan Desember ini. Hari Kamis (3/1) saya dengan kakak dan keponakan-keponakan meluncur dari kota “ronde” Salatiga di pagi hari sebelum jam 7. Berangkat pagi merupakan keputusan bersama karena takut kena macet sepanjang perjalanan ke Yogya. “Yah kira-kira tiga jam perjalanan dari Salatiga ke Yogya” kata Kakak saya.

Kemacetan di jalan memang akhir-akhir ini menjadi momok bagai wisatawan yang akan melintas kota-kota besar Jawa Tengah dan DIY, seperti Salatiga, Klaten, Yogya, Magelang, Ungaran dan Semarang. “Volume kendaraan tidak sebanding dengan pelebaran jalan. Sepeda motor menyesaki jalan-jalan terutama kalau sudah masuk kota” jelas Kakak saya yang berdomisili di Salatiga dan sering tugas luar kota.

Dari Salatiga ke Yogya, kami memilih jalan melalui Boyolali lalu lewat Jatinom tembus kota Klaten. Jalan alternatif ini lebih pendek daripada lewat Kartosuro. Tapi, kondisi jalannya ada yang berlubang dan bergelombang. “Truk-truk pengangkut pasir Gunung Merapi sering lewat jalur alternatif Jatinom ini. Bikin jalan tidak mulus lagi” timpal istri Kakak saya.

Jam setengah sembilan saya sudah memasuki kota Yogyakarta setelah melewati Kalasan, Sleman. Lalu saya menuju ke STIPRAM yang berada di samping belakang The Royal Ambarukmo, di Jln Adisucipto, untuk menemui Pak Hendro, Ketua STIPRAM. Karena sudah janjian, saya diterima dengan ramah dan kami pun asyik berbicara tentang pariwisata Indonesia.

“Negara tetangga kita, Malaysia dan Singapore masuk dalam 20 besar negara yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan asing di tahun 2012. Jika dilihat dari potensi wisatanya dan luas wilayahnya, Indonesia khususnya di bagian Timur tak kalah baik dengan negara tetangga yang luasnya hanya sepenggal saja. Mengapa Indonesia tidak masuk dalam 20 besar negara dengan kunjungan wisatawan terbesar didunia?” cerita Pak Hendro.

Apa yang disampaikan oleh pak Hendro menjadi asa di tahun 2013, yang sama-sama menjadi pewarta wisata warga terutama objek wisata yang dikunjungi.

Menjelang jam sebelas siang, kami tinggalkan kampus pariwisata itu. Keponakan saya yang masih duduk di kelas X SMA, minta diantar ke Taman Sari di Ngasem Yogyakarta.Dari jalan Solo kami meluncur melewati Kridosono, jalan Malioboro terus menuju ke Kraton. Sepanjang perjalanan itu, kemacetan mengular di ruas jalan protokol seperti Malioboro, kami nikmati dengan memotret lalu-lalang orang dari dalam mobil.

Setibanya di Ngasem, mobil saya pinggirkan untuk diparkir. Setelah mendapat karcis parikir seharga Rp. 5.000,- saya terus berjalan kami menuju pintu gerbang sebelah Utara. Seorang pemuda membantu kami arah jalan menuju ke Taman Sari.

Masuk dari pintu Utara kami sempat kebingungan mencari jalan menuju ke Taman Sari. "Signages” (petunjuk) yang dipasang hanya bertulisan tentang "petilasan pesanggrahan". Karena itu, saya hanya berpatokan pada puing-puing bangunan kuno yang saya lihat. Turis-turis asing yang berada di sekitar bangunan tua itu, saya jadikan penunjuk jalan.

Tak banyak cerita tentang puing-puing bangunan kuno itu, yang konon dibangun sejak jaman Hamengku Buwono I, 1758-1765. Selain tak ada informasi yang “ditempel” di puing-puing itu, bangunan sejarah itu justru sering dipakai “mojok” muda-mudi sambil duduk di bekas jendela-jendela bangunan atau mencari posisi yang tersembunyi.

Teriknya matahari tak menyurutkan langkah kami menuju ke lokasi sebelah Selatan Taman Sari, meski peluh bercucuran saking panasnya udara. Di depan pintu terowongan (bawah tanah) sekelompok pengamen berkidung tentang “Yogyakarta”. Sebuah kotak dana diletakkan di tengah jalan dan berharap wisatawan mengisinya dengan uang.

Di ujung pintu keluar, seorang ibu tua juga berharap ada orang yang berkenan memberikan belas kasih untuknya. Saya melihat keponakan saya memberikan uang sakunya kepada ibu tua itu. Namun sebelumnya saya dengar, ia bertanya pada ibu tua arah jalan menuju “Umbul Pasiraman” tempat para istri Sultan dan para putri mandi. Dengan petunjuk ibu tua tadi, kami lanjutkan langkah kami.

Akhirnya kami sampai di pintu masuk “umbul pasiraman” itu. Tiket masuk ke lokasi itu harganya Rp. 3.000,-. Lalu di pintu masuk, petugas melubangi karcis masuk kami dan menyapa kami dari mana dan berapa jumlahnya. Jumlah orang yang ikut dalam rombongan kami ada 9 orang. Jumlah ini menggerakan seorang bapak untuk menjadi guide tour kami.

Pelajaran eksotis tentang Taman Sari dimulai. Keponakan saya dan temannya aktif bertanya dan Bapak guide juga tak kalah aktif bercerita tentang sejarah dan fungsi dari masing-masing bangunan serta kolam yang ada. “Waktu itu, Sri Sultan menerapkan aturan bahwa yang boleh masuk ke Taman Sari hanyalah para perempuan. Karena para perempuan yang masuk ke sini harus lepas baju atau telanjang. Itulah sebabnya kolam ini dikelilingi oleh tembok-tembok besar” cerita Bapak Guide.

Tak hanya itu, Pak Guide juga menunjukkan tempat ngintip Sultan yang berada di lantai atas yang memisahkan dua kolam besar. Dengan semangatnya keponakan sayapun naik ke lantai atas. Setelah itu, kami juga ditunjukkan tempat ganti pakain. Puas melihat-lihat “umbul pasiraman” (umbul binangun}, kami melangkah menuju ke “Gedhog Gapuro Hageng” di sebelah Barat. Tak lama kami berdiri dan melihat di sini. Bapak Guide mengarahkan kami untuk melihat lukisan batik di sudut kiri dengan maksudnya ada yang berniat membeli. “Lukisan batik Nyi Loro Kidul pun ada” katanya.

Di sebelah kanan persis di muka jalan menuju ke Mesjid bawah tanah kami melihat pemahat yang sedang memahat tokoh wayang “RAMA” dengan asyiknya. Di belakangnya seorang ibu sedang membatik. Sementara itu banyak wisatawan termasuk turis asing memperhatikan gerak-gerak bapak dan ibu itu. Terlihat ada seorang menyisipkan uang mungkin karena beliau bersedia di foto.

Sayang pintu Mesjid di bawah tanah terkunci sehingga kami tidak bisa masuk. Kami pun terus berjalan menyusuri jalan perkampungan Taman. Di sepanjang jalan tak sedikit yang menjadikan rumahnya sebagai “oulet”untuk jual kaos, batik serta souvenir hingga menimbulkan kesan kampung ini sebagai kampung seni.

Akhirnya kami sampai di tempat parkir, dan keponakan saya yang masih duduk di SMA merasa senang karena mendapat pelajaran eksotis selama berkunjung ke Taman Sari Yogyakarta. Semoga ke depan daya tarik Taman Sari ini makin bisa mengedukasi generasi muda.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun