Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Science Film Festival 2012, Edukasi Sikap Sains Siswa

14 November 2012   07:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:24 428 4

Backdrop warna biru tua, berlogo “2012 Science Film Festival Indonesia “, yang dipasang di Mini Theater sekolah, selama dua hari ini (13-14 Nopember) menarik perhatin sekitar tiga ratus pasang mata siswa. Pada jam pelajaran ke  7 Selasa siang para siswa kelas X-XI diarahkan ke ruangan itu untuk menonton pemutaran film sains.

Tepat pukul 11.45, Wilson, berkemeja biru-biru memberitahukan bahwa acara festival segera dimulai. Para siswa lalu diajak untuk membuat yel-yel terlebih dahulu. “Science Film Festival 2012” dijawab dengan yel-yel sambil berdiri, “Kita suka. Ngana suka. Torangsemua suka”.Yel-yel ini akan digunakan selama acara berlangsung terutama dalam setiap pergantian session, demikian kata host.

Opening ceremony diawali dengan sambutan dari Kepala Sekolah, Bp. Ferry Doringin, Phd, Elisabeth Soegiharto, Programer dari Goethe Institut Jakarta, serta Roy Pangalia dari WWF Indonesia Sulut – Bunaken.

Di hadapan para siswa dan beberapa guru yang hadir, disampaikan bahwa Science Film Festival (SFF) ini sudah diadakan sejak 2005 di Thailand. Sambutan yang luar biasa membuat program ini dibawa ke Indonesia. Tahun 2010 SFF bertema “bio-diversity”. 2011 ambil tema “forest” dan 2012 bertema “water” atau air.

“Air sangat penting untuk pelestarian planet kita. Penggunaan air yang berkelanjutan dan bijaksana menjadi tugas umat manusia di masa mendatang. Tak hanya itu, penggunaan air juga berpengaruh pada menjaga perdamaian international dan keamanan kemanusiaan di seluruh dunia. Film sains tentang air nanti akan diputar. Pengetahuan itu sifatnya fun dan tidak membosankan. Itulah sebabnya Goethe Institut, Lembaga Kebudayaan Jerman mengadakan kegiatan pendidikan melalui art and culture dalam program Science Film Festival ini ke 16 kota besar di Inonesia termasuk Tomohon” jelas Elisabeth, Programmer Goethe Institut.

Sambutan berikut dari WWF Sulut Bunaken, Roy Pangalia. Dikatakan bahwa, isu-isu lingkungan mengemuka dewasa ini seiring dengan pelestarian alam yang mencakup hutan, laut, species langka dan ancaman nyata dari perubahan iklim serta upaya perbaikan berkelanjutan dan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Untuk itu kemitraan dengan berbagai pihak dibutuhkan untuk mendukung upaya konservasi alam demi manusia.

A Song for Tukik, The Program with the Mouse – What Happens When You Wash Your Hand, I Got it! – The Lighthouse Episode, Pelestarian Alam Taman Bunaken, Empty Ocean dan thriller tentang “Water for Life”. Selain pemutaran film juga ada peragaan tentang bagaimana membelokkan cahaya (laser) dan fun games berupa lomba memancing dengan sistem manget.

Semua film bercerita tentang sains (teknologi) dan lingkungan alam serta ulah manusia yang cenderung tidak menjaga tapi merusak lingkungan. Misalnya Taman Nasional Bunaken. Masalah utama yang dihadapi adalah sampah kiriman yang disinyalir berasal dari kota Manado. Terumbu karang di sekitar Taman Nasional tersinyalir rusak karena sampah-sampah plastik yang menghambat pertumbuhan.

Lewat film “Empty Ocean” dijelaskan bahwa aktivitas menjala udang di laut tak hanya merusak ekosistem di laut tetapi juga membuat ikan, kerang, kepiting yang tersangkut di jala dipastikan akan mati setelah proses pemilihan dan pembekuan di atas kapal. Setiap nelayan, bisa mendapatkan 40 kg lebih per hari.

Penayangan film disambut para siswa dengan antusias dan penuh perhatian. Ini terbukti saat Wilson dan temannya menyampaikan pertanyaan kepada para siswa, reaksi siswa begitu seru karena banyak yang angkat tangan untuk menjawab. Tentu bukan tanpa maksud. Setiap siswa yang menjawab mendapat hadiah merchandise berupa kaos, blocknote, pin dan lainnya.

“Sebutkan ada berapa kabupaten/kota yang memiliki wilayah di kepulauan Bunaken dan sekitarnya?” tanya Roy Pangalia, Koordinator WWF Sulut kepada para siswa setelah pemutaran film selesai. Para siswa langsung berteriak mengarah kepada salah satu siswa yang berasal dari Bunaken dan temannya juga memanggilnya dengan sebutan “bunaken”. Sayang jawabannya kurang tepat. “Kabupaten Minut, Minsel, Minahasa dan Kota Manado” itu yang benar ucap Roy.

Suasana tanya jawab berhadiah seperti itu, terbukti menyihir siswa untuk lebih aktif mendengarkan dan memperhatikan SFF selama dua hari di SMA Lokon, Tomohon. Ada sekitar lima belasan kaos, blocknote, pin dibagikan secara gratis kepada para siswa setiap kali menjawab benar pertanyaan.

Edukasi melalui film ternyata memang ampuh untuk memotivasi siswa berpikir kritis, bersikap bijak dan berkelanjutan dalam berpartisipasi menjaga dan melestarikan planet ini dari kepunahan dan perubahan iklim yang ekstrim. Goethe Institut, yang barusan berulangtahun dan WWF Indonesia yang telah 50 tahun berkiprah, telah ikut andil dalam mencerdaskan bangsa lewat program SFF ini. Saat tim berpamitan, Roy menceritakan kepada saya bahwa Kompas TV, Kompas.com dan Kompasiana juga menjadi media partner dari Science Film Festival 2012.

Selain di SMA Lokon, kegiatan yang sama juga diadakan di SMAN 7 Manado. Sayang hanya dua SMA itu yang dipilih untuk menyelenggarakan SFF 2012. Mengapa tidak diagendakan ke banyak sekolah sehingga social impact-nya bisa meluas dan banyak yang terlibat? Jawabannnya bisa ditunggu tahun depan. Yang jelas para siswa sangat terbantu dalam proses pembelajarannya tentang air untuk kehidupan (water for life) dan teknologi sains yang didapat.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun