Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Artikel Saya ke 200: “Opo Lokon, Fotografi dan Jurnalisme Warga”

16 September 2012   04:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:24 219 13

Tulisan ini adalah artikel saya yang ke 200 sejak pertama kali bergabung dengan Kompasiana pada tanggal 2 November 2009. Dalam tulisan ke 200 ini saya akan mereview sejauh mana keterlibatan saya di Kompasiana. Dengan sedikit membuat refleksi kecil ini, kiranya juga berguna untuk “blogtips” bagi teman-teman yang baru saja bergabung.

Saya mendapatkan 904 tanggapan atas 199 artikel yang saya posting di blog kebersamaan yang bernama Kompasiana hingga tulisan saya terakhir kemarin 15 September 2012.

Data kuantitatif itu belum seberapa besar dibandingkan dengan kompasianer yang “berhasil dengan sukses” mencetak buku dari postingan di Kompasiana atau karena bergabung dengan Kompasiana akhirnya bisa membuat buku. Terus terang saya minder kalau dibandingkan dengan kompasinaer yang sudah mencapai tingkat “high-end”, namun, karena keberhasilan itu, saya terpicu sekaligus terpacu untuk giat menulis di Kompasiana.

“Terima kasih buat teman-teman kompasianer yang karena tulisan dan bukunya membuat saya makin termotivasi untuk belajar menulis dengan baik di blog Kompasiana ini”

Ada lagi yang membuat saya terdorong untuk menulis di Kompasiana. Ya, teman-teman Kampretos yang selalu mengusik saya dengan Weekly Photo Challenge (WPC) hingga sekarang sudah yang ke 21. Bayangkan saja, seandainya saya ikut terus tantangan itu hingga WPC ke 21 ini. Wah-wah berarti minimal ada 21 artikel.

WPC adalah kegiatan yang dilakukan oleh Kampret (Kompasianer Hobi Jepret) yang berkumpul di laman FB Group dan sekarang ini kompasianer yang bergabung di FB group Kampret ini berjumlah 548 anggota.Dari jumlah itu, tercatat ada 113 Kampretosyang sudah mencantumkan akun “legal” Kompasiana.

Mengapa saya suka sekali bergabung dengan Kampret? Karena, beberapa foto yang saya kirim ke folder foto Album K di FB Kampret dijadikan foto ilustrasi tulisan HL oleh admin Kompasiana. Sebuah kebanggaan tersendiri yang susah terucapkan.

Pengalaman yang paling menyolok dari sinergitas foto dan tulisan adalah ketika saya merasa menjadi “relawan pewarta foto” setiap kali Gunung Lokon meletus. Ada sikap yang “otomatis” menyeruak dalam hati saya, saat menyaksikan Gunung Lokon “batuk” atau ba sembur, ba polote, yang berarti meletus. Berlari menenteng kamera untuk mendapatkan foto momen Gunung Lokon meletus, adalah hal yang biasa meski kadang menembus dinginnya malam pegunungan.

Gunung Lokon meletus adalah momen istimewa. Karena itu saya tak mau kehilangan momen itu dalam hitungan detik menit. Selain takut beritanya menjadi basi oleh waktu yang berputar dengan cepat, juga “news” letusan itu begitu cepat diberitakan oleh media lain karena koneksitasnya yang didukung oleh mudah berjejaring sosial.

Memang Gunung Lokon tak sebesar Gunung Merapi di Jawa Tengah (kebetulan saya pernah menjadi relawan saat Merapi meletus November 1994, saat itu saya masih berdomisili di Yogyakarta). Meski demkian, setiap kali Lokon meletus, kabar beritanya begitu menyeramkan. Akibatnya, saya sering menerima pertanyaan tentang keselamatan saya sendiri yang memang berada/tinggal tak jauh dari Gunung Lokon (di radius 5 km dari titik tengah kawah Tompaluan).

“Nunggu postingan dari penunggu Mahawu” begitu teman-teman sedikit meledek saya karena entah kenapa saya membuat repotase setiap kali Lokon meletus. Apakah semangat “sharing and connecting” Kompasiana sudah merasuki jiwa saya? He he he…. (tulisan sharing dan connecting ini sudah hilang dari header depan Kompasiana).

Guna melengkapi “kisah” Gunung berapi Lokon dengan kawah Tompaluan yang berada bukan di puncak gunung melainkan di punggung gunung bagian bawah, saya tertarik dengan cerita mitos “Opo Lokon”. Keterkaitan Opo (baca: opok) Lokon, atau yang ditetuakan dengan Letusan Gunung Lokon, adalah soal keselamatan jiwa dengan perilaku masyarakat yang “menyimpang”, dan pelestarian adat istiadat suku Minahasa serta mengkaitkan letusan sebagai tanda peringatan sosial agar menjaga berperilaku baik terhadap sesamanya (torang samua ba saudara). Jika diindahkan, maka penduduk di bawah kaki Gunung akan mendapatkan keselamatan. Jika mengulangi perbuatan tidak baiknya, maka Opo Lokon akan memberi “warning” dengan meletuskan gunung Lokon. Percaya atau tidak, terserah anda.

Saya bersyukur essai saya soal itu, berbuah manis menjadi pemenang ke tiga dalam lomba Ekspedisi Cincin Api dengan hadiah smartphone Samsung Android. Makasih Kompasiana. Kebanggaan adalah sesuatu yang menghibur hati. Foto-foto saya tentang letusan Gunung Lokon dan Soputan pernah menjadi ilustrasi yang dipajang di Kompas.com, Tribun.news dan salah foto Letusan Gunung Lokon kini menjadi Top Image di kanal Kompas Citizen Images.

“Kalau pergi jangan lupa bawa kamera” itulah nasehat Bp. Ray Sugiharto, fotografer dan curator senior dan teman dekat saya. Memang, hampir semua tulisan, saya sinergi-kan antara fotografi sebagai hobi dengan jurnalistik yang saya geluti meski sifatnya “freelance” saja.Karena nasehat itu, saya dapat banyak momen yang kemudian saya jadikan ilustrasi setiap tulisan saya.

Ada untungnya bergabung dengan komunitas fotografer seperti saya ikuti dalam komunitas “Kodaken, Tomohon Photographers Family”. Saya merasakan manfaatnya gabung dalam Komunitas itu karena berpengaruh dalam menghasilkan “photo journalism” saya.

Tema tulisan apa yang saya sukai? Saya lebih suka tema-tema yang ada hubungannya dengan foto-foto yang saya buat. Nah, kalau sudah omong foto pasti larinya ke tema yang berkaitan dengan traveling, wisata, kuliner, pendidikan dan iven-iven yang diselenggarkan dekat dengan domisili saya seperti Sail Bunaken, WOC, TIFF, ToF dan lain sebagainya.

Tak terduga sebelumnya, bahwa tulisan terpopuler seperti yang tercatat dalam “profil” di Kompasiana adalah “Ekstremnya, 10 Kuliner Pesta Manado” dengan jumlah dibaca 2114 kali, tulisan itu saya posting 1 Maret 2011, 15.28 dan bukan HL. Sementara jumlah Kompasianer yang sudah menjadi teman saya berjumlah 458 orang.

Dari catatan di atas, betapa besar manfaat dan untungnya bergabung dengan Kompasiana terutama dalam mensinergikan antara fotografi dengan jurnalisme warga. Terima kasih admin Kompasiana (juga admin Kompas Citizen Images) karena boleh mendapatkan semua itu dengan cuma-cuma bahkan sempat mendapat hadiah dan honor karena dua kali tulisan saya masuk dalam Kompas cetak di laman Kompasiana Freez.

Mari saling berbagi.... Salam saya untuk semua, dari Tri Lokon seorang penyuka foto dan traveling.

Minggu, 16 September 2012

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun