Orang tua yang masih menyekolahkan anaknya di tingkat pendidikan dasar (TK, SD, SMP) sering mengeluh terhadap banyaknya pungutan dan permintaan sumbangan dari pihak sekolah. Selain menambah beban pembiayaan rumah tangga, juga kadang sekolah kurang transparan terhadap maksud dan tujuan pungutan dan permintaan sumbangan itu.
“Pertanggungjawaban dan pelaporan pungutan dan sumbangan, tidak jelas dan transparan” ujar seorang ibu yang kesal karena anaknya yang masih duduk SD merengek minta uang terus. “Katanya untuk tambahan les atau ekstrakurikuler. Kadang untuk beli seragam tari atau apalah. Katanya sekolah gratis, tapi mana buktinya” tambahnya dengan nada kesal sambil mengingat slogan sekolah gratis yang sering ditayangkan di TV.
Kekesalan orang tua soal biaya pendidikan yang mahal, tak dipungkiri di jaman modern yang semakin konsumtif seperti sekarang ini. Di lain pihak, para guru pun juga dihimpit rasa kesal ketika bantuan dana sertifikasi dari pemerintah tak kunjung datang.
“Masak, saya disuruh mengirim nomer rekening bank lagi. Katanya, nomer rekeningnya salah. Padahal dulu pengiriman dana itu lancar. Bagaimana ini?” tanya seorang Ibu guru dalam sesi tanya jawab dengan Bapak Kadis Diknas Propinsi dalam Seminar Pendidikan yang berlangsung di Hotel Formosa, Manado Sabtu siang yang lalu. Kekesalan ibu guru itu lalu dijawab oleh Bapak Kadis bahwa baru-baru ini beliau telah mendatangani retour ratusan kertas kepada pihak bank agar segera mentransfer ke rekening yang bersangkutan. “Kadang dari pihak Bank yang bermasalah sehingga terjadi keterlambatan penyaluran dana itu” jawab Pak Kadis Diknas.
Setidaknya itulah sekilas gambaran suasana hangat yang terjadi dalam Seminar Pendidikan yang diselenggarakan oleh Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Sulut, di Hotel Formosa Manado, 8 September 2012 yang dihadiri dari berbagai Yayasan dan Kepala-kepala Sekolah Swasta se-Sulut. Tema yang diusung dalam seminar adalah “Menyikapi Regulasi Pendidikan (Urgen dan Kontemporer).
Ada tiga pembicara utama dalam seminar itu. Kepala Diknas Propinsi Sulut, Bp. Drs. J.S.J. Wowor, menyampaikan dalam slidenya tentang kebijakan Pendidikan Nasional terkait dengan otonomi sekolah dan urgensinya terhadap berbagai upaya mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan nasional.
Bp. J.O. Bolang, Kepala Badan Akreditasi dan Pengawas Sekolah dan Madrasah (BAP SM) menegaskan bahwa salah satu kendala dalam menjalankan akreditasi sekolah adalah kurangnya kesadaran membuat laporan secara cerdas komprehensif dari pihak sekolah sesuai dengan persyaratan akreditasi. Padahal akreditasi sangat penting untuk orang tua yang ingin menyekolahkan anakanya di sekolah yang berkualitas dan untuk mencari pekerjaan bagi siswa yang telah lulus.
Pst. Fred Tawaluyan Pr, Kepala BMPS mengkritisi Permendikbud Nomor 44 tahun 2012, tertanggal 28 Juni 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar sebagai ganti dari Permendikbud Nomor 60 tahun 2011 Tentang Larangan Pungutan Biaya Pendidikan pada SD dan SMP.
“Kewajiban sekolah swasta untuk membayarkan “secara gratis” biaya pendidikan bagi peserta didik yang tak mampu secara finansial dan terkait dengan kebijakan “wajib belajar” hingga SMP, teratasi dengan munculnya Permendiknas Nomor 44 itu. Hal ini melegakan bagi penyelenggara sekolah swasta” kata Pst. Fred mengawali pembahasan peraturan baru itu.
Mengapa melegakan? Secara perhitungan, BOS yang diterima sebesar Rp. 580.000,- untuk anak SD per anak per tahun dan Rp. 710.000,- untuk SMP masih membebani sekolah karena dengan uang sebesar itu belum cukup untuk menggaji guru dan harus ditanggung oleh penyelenggara sekolah. Untuk itu, pungutan (atau lebih populer disebut dengan SPP) menjadi “tumbal” untuk menutupi kekurangan dalam mengatasi biaya pendidikan.
Meski tidak dilarang melakukan pungutan dan sumbangan tetapi Permendikbud No 44 itu telah mengatur ketentuannya seperti yang tersirat dalam pasal 8 yaitu harus didasarkan pada RAPBS, disetujui oleh Komite Sekolah, dan ada pembukuan khusus dan terpisah dari pembukuan dari penyelenggara sekolah.
Agar akuntabilitasnya terjaga, maka pertanggungjawaban dan pelaporan pungutan dan sumbangan (sesuai dengan ketententuan peraturan itu) harus ditujukan kepada orang tua/wali, komite sekolah dan penyelenggara.
“Sekolah yang sedang menerima BOS, BOM, RKB, dana hibah dari pemerintah/pemda, dapat memungut biaya pendidikan hanya untuk memenuhi kekurangan biaya investasi dan biaya operasional sekolah. Jangan lupa, pembukuannya harus terpisah dari pembukuan penyelenggara” kata Pst. Fred menggarisbawahi soal ketentuan Nomor 44 itu.
“Pemerintah akan memberikan sanksi pembatalan pungutan yang dinilai meresahkan masyarakat” lanjut Pst. Fred sambil mengingatkan agar setiap pungutan hendaknya dimusyawarahkan dulu dengan orang tua/wali siswa supaya tidak timbul keresahan.
Dalam perjalanan pulang, saya dengan teman sekantor sempat mereview apa yang tadi dibicarakan dalam seminar. Sistem keuangan yang terpisah dari sistemnya penyelenggara sekolah menjadi beban tersendiri dan bisa menimbulkan gap pengelolaan pihak sekolah dengan penyelenggara sekolah. Meski demikian, segala kebijakan dari pemangku sekolah tentu tak lepas dari kebijakan penyelenggara sekolah.
Semoga munculnya Permendikbud Nomor 44 itu, tidak membuahkan “perdebatan” antara sekolah dan yayasan penyelenggara sekolah tentang pungutan dan sumbangan yang diterima.
Referensi tulisan:Permendikbud No. 44 Th. 2012, Permendikbud No. 60 Th. 2011, Paper Seminar yang dibagikan