George, siswa Papua itu sedang duduk di lantai depan pintu asrama. Ia nampak begitu serius membetulkan tali-tali sepatu sepakbola baru warna putih, pemberian dari sekolah. Sedangkan pakaian seragam baju kaos biru dan celana biru serta kaos kaki putih, sudah dipakainya.Dari raut wajahnya, George sangat bangga mengenakan seragam sepak bola sekolah.
Tim sepakbola sekolah, campuran siswa Manado- Papua. Siang jelang sore itu, mereka siap-siap untuk bertanding putaran final antara tim Losnito melawan tim Smanto di lapangan Wailan. Yang juara berhak mewakili kota Tomohon ke tingkat propinsi. Jika di tingkat propinsi lolos, maka akan dikirim ke tingkat nasional mewakili Propinsi Sulut.
Anehnya, pertyandingan final itu tanpa ada supporter dari teman-temanya. Katanya, pertandingan sepak bola itu kurang menarik. Padahal kompetisi ini menjadi agenda resmi dari Diknas dan didukung oleh PSSI serta memperebutkan Piala Presiden. Ternyata Geroge dkk dikalahkan oleh lawannya. “Ya sudah torang sudah berusaha sebaik-baiknya. Untung tidak menang, wah kalau menang bisa repot urus sana-urus sini hingga propinsi. Kasihan studi mereka? ” kata Pak Ino, guru olah raga sekaligus official tim Losnito.
LPI singkatan dari Liga Pendidikan Indonesia untuk cabang olahraga sepak bola. Sedangkan DBL singkatan dari Development Basket League untuk cabang olah raga bola basket. Kedua liga tersebut dibuat untuk menjaring bakat dan ketrampilan olah raga para pejalar SLTA se-Indonesia..
Popularitas ke dua Liga tersebut tidak sama. DBL diakui lebih banyak diminati oleh pelajar daripada LPI. Meski demikian, apabila mampu menembus hingga menjadi juara (Champions) di ke dua liga itu, otomatis menjadi promosi gratis sekolah. Pamor dan gengsi sekolah makin naik daun, di tingkat propinsi.
Mengapa LPI kurang popular dan kurang mendapat respon yang wah dari sekolah dan siswanya? Dan mengapa orang lebih menganggap DBL itu sebagai olahraga spetakuler banget?
Ketika saya mengantar tim sepakbola bertanding di lapangan Parasamya, Wailan, Tomohon, tak ada penonton yang berjubel. Tak terdengar sorak sorai supporter dengan yel-yel dan lagu-lagu heroik untuk membela tim kesayangannya. Yang ada hanya pemain kedua kesebelasan, official dan segelintir panitia tingkat kota/kabupaten. Itulah faktanya.
Ironisnya, sepak bola boleh dibilang olah raga paling populer sedunia. Ketika diadakan Piala Dunia atau Piala Eropa baru-baru ini, masyarakat menyambutnya hingga bendera-bendera negara peserta berkibar di setiap kampung dengan maraknya. Nobar (nonton bareng) pun tak urung digelar di berbagai tempat dan dipadati oleh penoton meski waktu pertandingan selalu dini hari. Antusiasme terhadap pertandingan sepak bola itu, tak sebanding lurus dengan pelaksanaan LPI. Fakta ini membuat saya garuk-garuk kepala, tak mengerti.
Commisioner Azrul Ananda, pelopor DBL menyatakan bahwa popularitas DBL dari tahun ke tahun makin meningkat karena jumlah tim dan peserta yang bertanding bertambah, jumlah pertandingan pun juga bertambah hingga DBL 2012.
DBL diadakan kali pertama pada 2004 di Surabaya, sebagai kompetisi pertama yang mengembangkan konsep “student athlete”, yang menganggap sekolah sama pentingnya dengan bertanding basket. Tahun 2008 DBL sudah menyebar ke seluruh propinsi di Indonesia dan pesertanya mencapai 13.000 orang. Tahun 2009 tercatat 15 propinsi menjadi tempat bertanding dan pesertanya mencapai 18.000 orang dengan total penonton 400.000 orang. DBL bukan hanya Liga Basket Indonesia saja tetapi berkolaborasi dengan NBA yang untuk pertama kali diadakan di Surabayapada Agustus 2008.
Kedahsyatan DBL juga menjalar ke propinsi Sulut. Tahun 2010, saya sempat menyaksikan langsung pertandingan final DBL di GOR Wolter Monginsidi, Sario Manado. Tim Basket Putra Lokon (Losnito) meraih Champions dan Edward Wilar, Kapten Tim meraih gelar pemain terbaik (MPV). Tak hanya itu, Edward dan satu pemain putri mendapat tiket ke Surabaya untuk seleksi di tingkat nasional. Tak tangung-tanggung, setiap pemain putra mendapat hadiah sepatu basket yang sudah diberi nama pada sepatunya.
Magnit DBL sebagai Liga Basket Indonesia, memang luar biasa. Ini terbukti ketika semua siswa berduyun-duyun ke stadion untuk menjadi supporter tim basket sekolahnya. Gegap gempita sangat terasa sekali ketika menonton pertandingan basket (antar sekolah) itu. Secara umum, DBL memberi pelajaran tentang bersikap sportif dan menjujung tinggi sportivitas melaui seni dan olah raga.
Tak kalah menariknya pertandingan itu dikemas dengan “competition dance” dari sekolah peserta. Kompetisi dance ini sebenarnya pemandu sorak yang dilombakan. Tak urung kreativitas dan inovasi seni pada gerakan dance dan tema koreografi-nya, menjadi tantangan setiap peserta. Tim Dance Losnito, tiga kali berturut-turut menjuarai kompetisi ini. “Kreatifitas, inovatif dan kerjasama” itulah kunci utama kemenangan.
Mengemas pertandingan olah raga menjadi tontonan menarik dan menjadi daya magnet yang luar biasa bagi remaja bahkan menimbulkan fanatisme sekolah, ya DBL itu. Development Basket League memang mampu mengalahkan Liga Pendidikan Indonesia karena mengedepankan olah raga menjadi sebuah sportaiment yang menjujung semangat sportivitas dan memiliki visi bahwa sekolah sama pentingnya dengan pertandingan basket (Student Athelete).
Referensi: www.dblindonesia.comFoto-foto: dok.pri penulis (tri lokon)