Roda bus mini Elf Silver mulai bergerak meninggalkan tempat penginapan Alamanda di lereng Mahawu. Suara khas mesin dieselnya, terdengar dari dalam kendaraan bermuatan 12 penumpang, tidak termasuk sopir dan saya. Jumat itu, selepas makan siang, saya antar para tamu mejelajahi objek-objek wisata di Minahasa, Sulawesi Utara.
Acara outing ini, demikian para tamu saya menyebutnya, sudah diagendakan sebagai acara penutupan rapat tahunan mereka yang dimuai sejak Senin (23/7) hingga check out hari ini, Sabtu (28/7). Informasi awal, disebutkan salah satu acara outingnya juga mengunjungi Bunaken. Namun, karena waktu yang terbatas, akhirnya hanya Minahasa Highland Tour yang diplih.
Tak lama kemudian, bus mini itu menyibak keramaian lalulintas jantung kota Tomohon, sebelum mengarah ke Danau Linow di Lahendong. Sebenarnya ada jalan lain untuk menghindari keramaian kota, yaitu lewat jalan Lingkar Timur, kemudian tembus ke jalan menuju ke Danau Tondano, Minahasa. Tapi, lewat kota Tomohon adalah rute singkat perjalanan kami. Sekaligus memperkenalkan kota Tomohon, yang sebentar lagi menggelar Tomohon International Flower Festival (TIFF), 8 Agustus, kepada para tamu yang datang dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Malang, Lampung, Medan, Banjarmasin, Kupang, Manggarai, dan Jayapura.
Selepas kota Tomohon, kami singgah ke Danau Linow. Menikmati kopi dan pisang goreng (dicocol dengan sambel rowa), dan ada yang pesan orange, sambil duduk di teras Café Linow, pinggir danau dan memandang air danau yang berwarna, hijau, tosca, putih oleh sulfur, sungguh eksotik. Saat kami dukuk, segerombolan bebek liar terbang melintas di atas permukaan danau. Cuaca cukup cerah sehingga pantualan sinar di atas permukaan air danau, begitu mempesona.
Hampir satu jam kami habiskan untuk menikmati keindahan danau Linow, Lahendong. Untuk sampai ke danau berwarna ini, dibutuhkan sekitar 15 menit perjalanan dari Tomohon. Sekarang, bus mini silver sudah bergerak ke arah Selatan menuju ke objek wisata berikutnya.
Ketika melewati gua Jepang, berlokasi di dekat jembatan Ranowangko, menjelang masuk desa kacang Kawangkoan, saya bercerita bahwa tak sedikit orang Minahasa yang kawin dengan orang Jepang. Saya juga bercerita, orang tua isteri rekan kerja saya asli orang Jepang. Hampir setahun dua kali rekan saya itu mudik ke Jepang. Selain menengok keluarga dari isterinya, juga mengunjungi anaknya yang bekerja di Jepang.
Lanjut saya, perkawinan antar bangsa ini sudah menjadi cerita umum bagi orang Minahasa (disebut orang Manado). Maka tak heran kalau orang Minahasa mempunyai hubungan darah dan kultur, bukan hanya Jepang tetapi Belanda dan Portugis yang pernah menjajah di bumi pertiwi ini. Kedatangan bangsa asing ini juga terkait dengan para misionaris yang memperkenalkan soal pendidikan, kesehatan, perkebunan, pertanian dan agama.
Setelah melewati jalan berkelok-kelok, bus mini yang mengantar kami, berhenti. Di depan seorang petugas menagih kami untuk bayar karcis masuk per orang Rp 2.500,- dan per mobil Rp 5.000,- Setelah melunasi, kami masuk dan kemudian mencari tempat parkir.
Saat turun dari bus mini, kami dikerumini oleh para pedagang asongan dan anak-anak tanggung untuk menawarkan jasa guide. Pemandangan ini sudah menjadi kebiasaan setiap kali ada tamu datang. Bagi saya, bukan mengherankan lagi karena seringnya saya mengantar tamu ke objek wisata yang berjarak 50 km dari kota Manado.
“Di sini, tempat apa sih?” tiba-tiba tamu dari Potianak bertanya pada saya. Lalu saya jawab, “Kalau di Pontianak ada Tugu Kathulistiwa. Di Kanonang, Minahasa atau Sulut, ada Tugu Toleransi. Mengapa dinamakan Tugu Toleransi, karena tugu ini meng-akomodir lima agama besar di Indonesia. Kristen, Katolik. Islam, Budha dan Hindu. Tugu ini tingginya 25 meter, berbentuk segi lima, pada dindingnya terukir gambar simbol dan kutipan ayat Kitab Suci masing-masing agama. Di puncak tugu, diletakkan patung burung merpati simbol kasih dan persaudaraan. Area tugu Toleransi ini kemudian lebih terkenal dengan sebutan Bukit Kasih”
“Oh ya bukit Kasih ini juga mengaplikasikan semboyan orang Minahasa yaitu “torang samua ba’saudara”.Membangun suasana kondusif kerukunan beragama, menjadi ciri khas tak hanya di Minahasa tetapi juga di Sulawesi Utara” sambung saya. Kemudian, cerita saya lanjutkan. Drs. A. J Sondakh, Gubenur Sulut meresmikan obyek wisata religi yang ditandai salib putih besar pada lereng bukitnya. Menurut cerita, peresmian oleh Gubenur Ini terkait dengan tempat peristirahatan beliau di seberang sana dan tempat kelahirannya di desa Kanonang. Tangan saya menunjuk bangunan kubah putih yang terlihat menyolok dari depan tugu.
Bukit Kasih ini berada di lereng yang tak jauh dengan Gunung Soputan. Karena itu, selain tugu ada spot air panas belerang yang oleh penduduk dimanfaatkan untuk merebus jagung (milu) atau telur. Oleh pemerintah, di bukit atasnya sumber air panas itu, dibangun lima tempat ibadat. Untuk menuju ke rumah-rumah ibadat itu, pengunjung harus berjalan kaki melewati anak tangga yang lumayan melelahkan. Total anak tangga ada 2435. Mendengar itu, tamu saya yang rata-rata sudah berumur, tak tertarik ke lokasi lima rumah ibadat.
“Lihat pak, di dinding bukit itu ada pahatan kepala orang. Itu Toar dan Lumimuut, nenek moyang orang Minahasa. Tujuannya biar tak lupa dengan leluhur kami yaitu Toar dan Lumimuut” seru seorang remaja tanggung menyela pembicaraan saya. Memang, anak-anak yang tadi mengeremuni setiap kali ada pengunjung datang, dibekali pengetahuan sejarah asal-usul Bukit Kasih ini. Tak heran mereka begitu fasih bercerita sekaligus menawarkan diri menjadi guide lokal.
Saya melihat ada yang baru dibangun di lokasi wisata itu. Tersedia, bak-bak air panas berikut tempat duduknya dari bambu, untuk merendam kaki sambil dipijit. Ya, semacam “spa kaki” orang bilang. Sambil dipijit, pengunjung bisa pesan jagung bakar, pisang goreng atau minum kopi hitam di deretan warung-warung sederhana. Fasilitas ini menjadi tempat mata pencaharian penduduk setempat. Fasilitas lain yang ada di Bukit Kasih ini adalah kolam renang air hangat yang berada di samping Barat Tugu Kasih.
Setelah menjelajahi wisata toleransi bukit Kasih, bus mini bergerak ke arah Timur, menyusuri jalan beraspal yang sempit dan bila bertemu dengan kendaraan lain salah satu harus mengalah untuk berhenti. Jalan itu adalah satu-satunya jalan menuju ke objek wisata sejarah dan budaya Watu Pinawetengan dari Bukit Kasih.(Bersambung).