Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi Artikel Utama

Foto Jurnalistik Warga, Masih Hitam Putih?

3 Mei 2012   01:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:48 692 9

Ada yang bilang foto jurnalistik itu pewarta foto. Hasil jepretannya itu sebagai alat mewartakan sesuatu dari kehidupan riil sehari-hari. Tapi, ada juga yang cenderung mengatakan HI atau Human Interest, mengangkat kepentingan manusia seperti yang terrekam dalam foto.

Lalu, apa yang disebut dengan foto jurnalistik yang sebenarnya? Untuk mengetahui jawabannya, saya akan bercerita terlebih dahulu.

Ada dua momen yang langsung saya buat repotase tanpa “menginap” semalam. Maksud saya, begitu ada peristiwa atau kejadian langsung saya buat repotasenya tanpa menunggu fajar tiba. Dua tulisan repotase super cepat (menurut saya) yang saya maksud adalah tulisan yang berjudul “Lagi-lagi Lokon Meletus dan “Pawai Pendidikan Tomohon.

Mengapa saya begitu bernafsu membuat repotase super cepat? Jawabannya, adalah semata-mata momen itu tak terulang lagi. Kalau pun ada, pasti nunggu tahun depan. Berbeda dengan letusan gunung Lokon, wah kalau yang satu ini tidak pernah saya berharap ada. Kalau boleh jangan ada lagi bencana mengancam masyarakat sekitarnya. Sifat letusannya sangat tak terduga.

Momen menjadi alasan utama mengapa saya begitu peduli menurunkan repotasenya di Kompasiana. Namun, rasanya masih ada alasan lain yang terkait dengan hal itu. Ya, karena saya suka fotografi dan kini dalam proses menjadi hobi yang digeluti. Semakin suka fotografi, terasa mendapat sebuah terapi sendiri. Belajar sabar, tekun dan teliti terhadap diri dan objeknya.

Karena dua alasan itu, saya semakin tahu apa yang disebut dengan foto jurnalistik. Perpaduan antara visual (foto) dan teks menjadi kolaborasi yang pada akhirnya menjadi sebuah berita yang menarik pembaca. Segmen inilah yang diangkap oleh Kompas Image menjadi sebuah “foto jurnalistik warga” atau lebih kerennya disebut “Photo Journalism Citizen”.

Saya sudah beberapa kali mencoba memasukan foto jepretan saya menjadi foto jurnalistik warga. Meskipersyaratan cukup ketat dan ada tahap “moderasi” segala pada setiap foto yang dikirim, namun toh foto saya berhasil melewati nya sehingga melenggang untuk ditampilkan dalam “Berita Foto” di Kompasiana atau Kompas Image. Cuma, belum banyak kompasianer berkomentar pada foto-foto yang saya upload. He he he…..

Tak jarang saya juga diingatkan oleh admin ketika foto saya “mandek” tak sukses diupload. Ukuran setiap foto terlalu kecil atau terlalu besar, kadang jadi alasan kegagalan saya dalam kirim foto. Saya diingatkan agar ukuran foto antara 600 hingga 1500 piksel, dalam format JPG tanpa diberi embe-embel link.

Penyebab kegagalan lain adalah teks atau caption untuk mendeskripsikan foto kurang lengkap. Oleh admin, saya diminta untuk menulis tulisan singkat yang sebaiknya menggunakan kaidah 5W + 1 H, kaidah populer dalam jurnalistik yang mengandung unsur apa, di mana, kapan, siapa, mengapa + bagaimana. Untuk lengkapnya, ketentuan dan syarat ini bisa dibaca di laman Kompas Image.

Learning by doing, begitulah istilah saya dalam upaya belajar terhadap sesuatu yang baru. Demikian juga dalam foto jurnalistik warga. Dalam memotret seuatu kejadian, peristiwa atau momen, saya masih belajar untuk mendapatkan atau membidik POI (point of interest). Sebuah foto akan berkarakter kalau ada POI-nya yang jelas atau POI menjadi fokusfoto.

Teman fotografer pernah mengajak diskusi tentang sebuah foto yang menarik siapapun yang melihat foto itu. Dengan menggunakan istilah “eye-catching”, ia menunjukkan sebuah foto yang mampu membawa orang untuk puas memandang dan akhirnya menemukan pesan dari foto itu.

Waktu itu, saya disuguhi foto suasana pasar. Dengan fokus pada wajah penjual cabe, brambang, dll orang langsung tertarik dengan apa yang dijual. Berapa duit yang ia dapatkan dari hasil penjualannya? Sementara di sampingnya duduk anak kecil berseragam sekolah. Saya hanya menebak itu anaknya. Pembeli? Banyak orang datang lalu lalang di depan ibu penjual itu. Secara singkat itulah, eye-catching sebuah foto jurnalistik. Saya hanya menganggukkan kepala sambil berusaha mengerti.

Dulu sewaktu saya masih kecil, saya suka membaca koran yang dibawa pulang oleh ayah saya selepas bekerja. Entah karena alam pikiran anak kecil, judul dan foto menjadi perhatian saya. Melihat foto-foto koran yang hitam putih, tidak berwarna seperti sekarang, saya ikut membayangkan sebuah peristiwa yang tergambar dalam foto itu. Yang jelas kesan foto hitam putih dalam jurnalistik sangat kuat dalam ingatan saya. Misalnya, model pakaian, mobil jaman dulu, gaya atau life style orang-orang, cara makan dan lain sebagainya.

Kekuatan foto hitam putih akan saya hadirkan dalam tulisan ini untuk membangun karakter dari foto jurnalistik. Mungkin ada yang mentertawakan saya. Bukankah lebih detail berwarna dari pada hitam putih? Terhadap anggapan ini, saya hanya menjawab, mengapa koran-koran masih ada yang mencetak foto-foto jurnalistiknya dalam hitam putih? Jangan bilang kalau full-colour itu mahal, lho ya. Itu soal teknis. Tapi kalau terkait soal foto berkarakter?

Jawabannya masih hitam putih. Ada yang suka foto hitam putih dan ada yang suka berwarna. Begitu juga foto jurnalistik. Foto hitam putih pesan yang disampaikan lebih kuat karena fokus pada hitam dan putih. Keaneka-warnaan yang macam-macam dalam sebuah foto membuyarkan fokus dan mudah mengaburkan pesan yang disampaikan. Apakah dilema ini yang membuat kompasianer tidak mau melirik Berita Foto di Kompasiana? Juga, Kompas Citizen Image?

Entahlah, yang jelas, karena masih hitam putih, saya berani menerima tantangan Kamprets tentang WPC BW Photo.

Silahkan melihat, salah satu Foto Jurnalistik warga yang saya posting ke Kompas Image Citizen di sini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun