Sepertinya aku tidak percaya kalau perempuan yang duduk persis didepanku pagi ini (Minggu,14 April 2013)adalah kamu. Dalam semangkok bubur ayam dan segelas jus jambu yang kamu pesan di restoran Pringgodani hotel Puri Asri Magelang, kembali aku mencoba menelusuri perjalanan waktu yang telah kita lalui lebih dari 40 tahun. Dua hari kemarin sejak kita ketemu di Galeri Langgeng milik teman kita itu, aku pikir perjumpaan ini akan berlalu begitu saja. Namun setelah melewati malam itu ternyata ada banyak hal yang mesti kita bicarakan. Bukan soal nostalgia, bukan soal jatuh cinta, bukan soal kerinduan atau apa ? Atau barangkali tentang secangkir kopi yang kau buat dan sajikan untukku pagi itu di depan kamar hotel ? Bukan. tapi lebih soal aku dan kamu adalah sekandung !
Magelang pagi ini memang tidak begitu dingin, bahkan cenderung panas dari hari – hari sebelumnya. Lalu lintas di jalan cukup ramai terutama lalu lalang sepeda motor yang bukan saja membawa umat kristiani ke gereja untuk mengikuti Misa atau Kebaktian Minggu pagi, namun juga karena siang hari nanti akan diselenggarakan ‘grebeg getuk’ memperingati hari jadi Kota Magelang yang ke 1107. Bantaran kali Progo yang berada di batas paling barat hotel sudah ramai oleh para tamu yang bermalam ketika kami sampai ditempat itu. Terik matahari mulai terasa menyengat meskipun cuaca tidak begitu cerah. Gunung Sumbing yang biasanya terlihat jelas juga tertutup awan dan kabut tipis. Sementara gemericik air disela – sela bebatuan, hamparan sawah hijau dan bukit – bukit kecil mengundang hasratmu meminta aku untuk membuat foto – foto, yang katamu barangkali akan menjadi bahan cerita untuk anak – anak kita.
Sekitar sebulan sebelum acara reuni ini berlangsung aku mencoba mengingat kembali masa – masa esde dalam kurun waktu tahun 1966 – 1973. Tidak banyak yang bisa aku ingat kecuali dirimu !Lalu aku mencoba membuat catatan – catatan kecil hingga malam itu ( Sabtu, 13 April 2013 ) kamu bacakan dihadapan lebih 80 orang saudara sekandung kita.‘Tidak banyak yang bisa diingat dari bangku Sekolah Dasar setelah 40 tahun berlalu. Gedung sekolah itu memang masih ada dan tidak banyak berubah, kecuali sebagian penambahan bangunan dan renovasi pada bagian tengah sebelah barat dan timur. Pelataran tengah berbatu candi, berbentuk persegi dengan permukaan kasar juga masih seperti dulu, hanya pada bagian tengah digunakan untuk lapangan basket dan bangku– bangku kayu ditepi lapangan itu yang berubah menjadi bangku beton.
Seragam lurik biru kotak-kotak mudah diingat, sekalipun warnanya telah memudar. Tapi satu-persatu raut wajah yang dulu polos penuh ceria itu, sangatlah sulit untuk kembali dibentuk. Waktu telah berlari jauh dan memang tak mungkin bisa diputar kembali, namun bayang-bayangmu masih sesekali hadir dibalik bougenvile-bougenvile ungu yang gugur diujung musim kemarau di pelataran sekolah itu’.
Waktu enam tahun yang telah kita lewati bersama dalam kepolosan masa esde itu terasa mematri jiwa yang bukan hanya hadir kembali sebagai romantisme sejarah atau nostalgia, namun justru mampu menelanjangi jatidiri kekinian tentang sang aku dihadapanmu setelah melalui perjalanan panjang 40 tahun.Samar-samar sesekali alunan lagu ‘Somewhere my love’ masih terngiang dalam halusinasi diatas komposisi musik orkestra angklung. Lalu bayangan wajah demi wajah melintas dalam purnama yang silih berganti dari satu musim ke musim yang lain. Sesaat itu bel berbunyi pertanda belajar dimulai, dan lebih 500 siswa-siswi berderet baris didepan tangga kanan dan kiri yang dipisahkan oleh meja pingpong . Setengah jam sebelumnya, melewati lorong selebar 1 meter yang menuju wc kamar mandi sekelompok siswa bertugas membersihkan kandang ayam.
Di sepanjang jalan dari sisi utara menara air menuju gedung Gereja St. Ignatius Magelang Sabtu pagi itu (13 April 2013) lebih banyak diisi dengan obrolan ringan dan sesekali bersenandung tentang nyanyian lama. Pada tahun – tahun awal di bangku SD itu kereta api masih sering melintas membelah kota Magelang. Sesekali masih terdengar suara peluit kereta melengking persis saat melintas didepan sekolah. Dari balik jeruji pagar besi yang cukup tinggi dan berbalut batang dedaunan bouganvile biasanya anak-anak berjejer menonton. Ditrotoar yang berada diantara pagar sekolah dan rel kereta banyak para pedagang menjajakan makanan dan aneka mainan sederhana. Dari arum manis, gulali, es lilin, aneka mainan seperti yoyo, gasingan atau tivi-tivian dari kardus yang diberi cermin untuk melihat gambar dari potongan-potongan film positif. Atau terkadang ada penjual kacang bogor yang dipikul dengan 2 tenggok muka belakang, juga binatang kecil menyerupai keong yang sering disebut pong-pongan.
Hanya dalam waktu kurang dari 48 jam sejak Jum’at malam itu kita telah mampu meruntuhkan dinding-dinding keangkuhan diri yang kita bangun sendiri-sendiri selama lebih 40 tahun. Memang sulit aku percaya jika semua yang terjadi selama dua malam dua hari itu justru tercipta dari pemikiran sederhana anak – anak esde. Merentas segala perbedaan yang ada ! Dan hanya kamu dan aku tanpa predikat apapun. Jauh diujung sana, lewat ‘handphone’ yang mengundang sore itu, dengan suara yang lepas : ‘ Aku pamit, terima kasih untuk segalanya ……. ‘. Dan kita mesti relakan kenyataan ini.
Magelang, Akhir April 2013.