Saya merasa sangat beruntung karena diberi kesempatan (oleh yang Maha Kuasa melalui klien saya hihihi…) untuk bisa terlibat dalam sebuah sesi Upacara Minum Teh Tradisional di sebuah pusat kebudayaan di Kyoto Jepang. Dari pertama melangkahkan kaki masuk kedalam ruangan yang benar-benar berdesain ruangan Jepang tradional hati saya sudah berdebar. Bertahun yang lalu saya pernah mengikuti upacara minum teh ala Jepang di Jakarta, itu saja sudah menarik sekali, tapi tentunya ini akan berbeda. Dan setiap hendak mengalami sesuatu yang baru, saya seringnya tegang sendiri.
Seorang wanita Jepang separuh baya yang mengenakan kimono cantik berwarna pastel menyambut kami dan mempersilahkan rombongan kami duduk diatas tatami berwarna jerami, mengelilingi karpet gelap. Ibu tersebut memperkenalkan dirinya, beliau bernama Hidashi, dan karena beliau adalah guru, kami memanggilnya Sensei. Sebenarnya terdapat beberapa aliran upacara minum teh di Jepang, dan yang akan kami ikuti hari ini adalah Upacara Minum Teh dari aliran Urasenke. Inti dari sesi yang kami ikuti ini adalah belajar tentang “Tea Manner”. Mengetahui bahwa tamunya dari Indonesia tidak biasa duduk melipat kaki terlalu lama, Sensei mempersilahkan kami untuk duduk senyaman mungkin saja. Jujur, saya agak tegang karena takut “manner” saya salah dan saya dianggap tidak sopan karena semua terasa begitu formal.
Lalu dua orang wanita muda Jepang, satu berkimono hitam dan satu lagi berkimono abu-abu masuk melalui pintu geser di depan kami. Mereka membawakan kue yang berbentuk seperti buah plum besar berwarna kuning yang diletakkan dihadapan kami. Sensei menerangkan itu adalah kue manis bernama Okashi. Sensei meminta saat wanita tersebut meletakkan piring Okashi di depan kami masing-masing dan menunduk, maka kami harus membalas memberikan hormat dengan menundukkan badan juga.
Setelah di depan kami masing-masing tersaji kue, Sensei mempersilahkan untuk memakannya, tidak menggunakan sumpit, tapi seperti tusukan bambu. Kue tersebut seperti terbuat dari kacang-kacangan dan manis sekali. Terlalu manis untuk saya, tapi harus dihabiskan sebagai rasa hormat.
Setelah selesai memakan Okashi, wanita berkimono hitam bersiap-siap untuk menyajikan teh dan kita semua yang diruangan harus memberikan hormat sebelum dia memulai upacara dan menyajikan teh. Wanita tersebut membawa kain yang seperti saputangan tebal terbuat dari sutra yang disebut Fukusa. Sensei mengatakan dengan demikian tamu sebenarnya sudah dapat langsung mengetahui siapakah yang bertugas menyiapkan teh dalam ruangan.
Dihadapan wanita tersebut terdapat beberapa perlengkapan, yang saya ingat terdapat 1 tungku hitam besar, 1 mangkuk disebut Chawan dan 1 wadah berisi bubuk matcha (salah satu jenis teh) yang disebut Natsume, juga ada beberapa peralatan yang sederhana lainnya, salah satunya adalah “kocokan” teh yang terbuat dari bambu yang mekar disebut Chasen, lalu sendok kayu yang panjang pipih untuk mengambil bubuk teh disebut Chasaku dan sendok air yang juga terbuat dari bambu.
Pertama, wanita itu membersihkan beberapa peralatan tertentu dengan Fukusa. Semua dilakukan dengan sangat hati-hati dan teliti. Tidak ada sama sekali tanda-tanda keterburu-buruan. Saya dan tamu lain memperhatikan dengan seksama. Lalu wanita itu membersihkan Chasen dengan mengocokkannya pada air panas yang dia tuangkan ke Chawan. Diikuti dengan mulai membuat teh, dengan pelan menyendokkan Matcha yang dalam bentuk teh bubuk ke dalam Chawan, dan mulai menyeduhnya lalu menyajikannya. Bayangkan, ada 10 orang dalam ruangan itu dan setiap mangkuk teh disuguhkan dengan cara yang sama. dan setiap penyuguhan kita harus berterima kasih pada yang menyuguhkan, juga pada yang membuat.
Meminum teh pun tidak bisa sembarangan langsung seruput. Mangkuk teh yang disajikan diletakkan dengan sangat hati-hati, bagaimana bisa tahu? Karena yang menyajikan harus memastikan bahwa motif terbaik dari mangkuk teh tersebut harus menghadap ke arah tamu. Wow. Karena itu adalah sisi yang paling baik, maka tidak sopan pula bagi tamu untuk meminum langsung dari sisi tersebut. Maka runut tata cara meminum teh yang sudah disajikan adalah:
1.Menunduk member hormat dahulu setelah teh disajikan dihadapan kita
2.Mengambil mangkuk teh dengan tangan kanan dan meletakkannya di telapak tangan kiri
3.Memutar mangkuk teh searah jarum jam sebanyak 3 kali
4.Lalu minumnya bisa sedikit-sedikit atau langsung dihabiskan
5.Putar kembali cawan 3 kali searah jarum jam lalu meletakkannya kembali
Teh Jepang ada beberapa macam, yang disajikan saat itu adalah jenis Matcha, yang rasanya tidak manis dan teksturnya agak kental. Bagi penggemar teh amatir seperti saya, terutama yang berupa seperti teh hijau, saya sangat menyukainya. Aroma tumbuhan yang kuat dan rasa sepet yang menyenangkan cukup untuk memancing saya minum berkali-kali sebenarnya. Tapi saya malu dong menyodorkan mangkuk saya untuk diisi ulang terus-terusan.
Sensei menjelaskan sekali lagi bahwa untuk upacara minum teh, juga dibedakan dari musimnya, dan yang baru saja kami lakukan adalah upacara minum teh musim semi. Ini juga bekaitan erat dengan mangkuk yang kami gunakan, motifnya disesuaikan dengan musim, biasanya bunga-bunga yang mekar di musim semi.
Kembali lagi ketika mangkuk diambil dari kami, kami harus memberi hormat dan mengucapkan Arigato Gozamisu. Dan ketika seluruh upacara berakhir dimana penyedia teh telah membersihkan perlengkapannya dan bersiap pergi membawa perlengkapannya, seluruh tamu harus membungkuk memberikan penghormatan sebelum ia menghilang dibalik pintu geser.
Seluruh prosesi memakan waktu sejam lebih sedikit, karena memang Sensei banyak menerangkan lalu harus diterjemahkan lagi, juga karena disajikan pada 10 orang. Ada rasa yang aneh dihati saya setelah semua selesai, seperti lega dan seperti terlalu penuh dengan pengetahuan baru tentang upacara minum teh ala Jepang ini. Lebih dari sekedar minum teh, seremonial ini mengajarkan banyak hal terutama apa yang membuat Jepang menjadi negara yang hebat.
Penghormatan. Bahwa setiap orang saling menghormati peran orang lain. Orang yang melayani bahkan mendapatkan penghormatan lebih banyak daripada yang dilayani. Mengucapkan terima kasih menjadi suatu budaya yang sangat kuat di jepang. Itu sebabnya mereka bisa membungkuk lama sambil mengucapkan terima kasih. Coba di Indonesia, perhatikan, bilang terima kasih sama mbak-mbak yang meletakkan piring makanan kita saja kadang kita ogah kemudian lupa. Budaya itu bisa kuat dan bertahan lama apabila kita tahu bagaimana memberikan penghormatan pada siapa saja. Dan untuk dapat menghormati orang lain kita harus memiliki kerendahan hati ekstra.
Ketelitian. Seluruh upacara itu dilakukan dengan sangat teliti. Tidak terlihat sedikitpun ekspresi bosan diwajah setiap wanita Jepang yang terlibat dalam upacara tersebut. Semua dilakukan dengan tidak terburu-buru, padahal kalau dipikir-pikir sudah berapa ratus kali mereka melakukan ini. Tapi mereka melakukan seperti sebuah tarian yang mereka sukai, mereka terlihat menikmati. Bayangkan kalau mereka tahu motif mana yang dipakai dan sisi mana dari mangkuk yang harus diletakkan ke arah tamu, luar biasa. Budaya ribuan tahun terus dilakukan dengan cara yang sama.
Setelah sesi selesai Sensei dan wanita yang membuatkan teh tersebut dengan senang hati berfoto dengan rombongan saya. Suatu hari nanti saya berharap bisa mencoba menjadi yang menyuguhkan teh. Suatu hari nanti kalau ada kesempatan.
Arigato Goziamasu sudah membaca tulisan ini, minum teh bareng yuukkssss! :)