Harimau yang menggambarkan kecenderungan Amarah adalah manifestasi api dengan simbol warna merah. Banteng yang menggambarkan nafsu Sufiah, merupakan manifestasi angin, dengan dimensi warna kuning. Kera menggambarkan watak Lawwamah atau aluamah sebagai manifestasi bumi dengan corak warna hitam. Sedangkan burung merak merupakan simbolisasi dari karkter Mutmainah, manifestasi air dengan dimensi warna putih.
Dalam tradisi kejawaan yang kita kenal, keempat unsur tersebut menemukan konteks spiritual filosofis adiluhungnya melalui konsep “Sedulur Papat, Limo Pancer”.
Sedulur Papat adalah : Marwati, semangat pengorbanan seorang ibu dengan taruhan nyawanya sendiri saat melahirkan. Kawah, yakni air ketuban yang mengawal hingga terjadi proses kelahiran. Keduanya dianggap sebagai saudara tua si si jabang bayi. Sementara plasenta (ari-ari) dan darah ibu (rahsa) yang muncul setelah proses kelahiran disebut sebagai saudara muda. Dari sinilah lantas kita menggenal istilah Kakang Kawah, Adhi Ari-ari.
Keempat Sedulur (saudara) tersebut selanjutnya berdiri pada empat penjuru mata angin, menjelma empat totem binatang, berdimensi empat warna dan dikawal oleh empat malaikat, Jibril, Isrofil, Mikail, dan Izroil (setelah masuknya Islam di Jawa, Sunan Kalijaga manambahkan hal ini [?]). Semuanya merujuk pada satu pusat, satu pancer...satu poros, Ia adalah si jabang bayi : persona manusia.
Bertolak dari saat pertama kali mengenal dunia, mampukah ia -- sang persona -- menggendalikan keempatnya demi melintasi jeram hidup dengan mengoptimalkan seluruh potensi kekuatan dari masing-masingnya, atau justru akan di"babu"kan oleh sisi hitam kehadirannya, sedang keberanian untuk memilih pun tak lepas dari citra-citra yang juga diamanatkan oleh keempatnya… tampaknya pun pengetahuan dan kemampuan mendiagnosa persoalan sangat berperan penting demi mendukung semua proses tersebut, baik dalam hal memulai mengenali sesuatu, memantapkan pandangan hingga memakzulkan sebuah pilihan..
Wallahu a’lam.