Lelaki diseberang meja itu dulu pernah ku kenal. Sibuk dengan rekan kerjanya yang sepertinya sudah lama duduk dimeja itu. Tempat umum yang biasa dijadikan tempat bersantai sambil menikmati menu jajanan. Aku sadari kehadirannya saat dia menatap kearah wajahku. Sepertinya dia sangat menyadari kehadiran diriku. entah mengapa aku enggan tuk memberi respon apapun. aku acuhkan kehadirannya dan tatapan matanya. aku berlaku seolah-olah tak mengenalnya, meski aku sadari dia ingin sekali aku menangkap sorotnya. dia......mantan calon untukku. hasil rekayasa teman-teman delapan tahun yang lalu.
masih ingat saat awal kami saling dikenalkan. kami saling berjabat tangan dan menyebutkan nama kami masing-masing. lucu…..karena kami sesungguhnya sudah saling kenal dan teman-teman tahu itu. kami sering bertemu bila saat meeting atau presentasi anggaran tahunan. Sesi perkenalan itu kami lakukan atas dasar keinginan teman-teman yang menginginkan kami untuk lebih akrab. Teman-teman menganggap bahwa kami pasangan yang cocok untuk disandingkan. Namun aku justru menolak kehadirannya untuk ada dihatiku.
Sejak perkenalan itu justru membuat aku semakin menjauh darinya. Meski teman-teman telah berusaha menyatukan hati kami. Dengan berbagai cara mereka merencanakan pertemuan-pertemuan selanjutnya. Aku selalu menolak itu semua. Namun teman-teman gigih sekali. Demi menghargai teman, aku sanggupi pertemuan selanjutnya. Mereka berpesta dan seperti menikmati ketidak nyamananku. Setiap kali aku berusaha menyudahinya. Teman-teman justru melarang aku untuk balik kanan. Aku semakin tidak nyaman. Dan aku mulai menunjukkan ketidak sukaanku terhadap ini semua. Aku marah dan meninggalkan pesta itu dengan perasaan pedih seperti dipermainkan. Dengan mudahnya aku menangis sambil berlari. Mereka tak pernah menghargai perasaanku. Mereka hanya memanfaatkan kebaikan lelaki itu.
Laki-laki bujang yang lumayan mapan. Hanya terpaut 9 tahun lebih tua dariku. Yang memang sangat mendambakan aku untuk menjadi pasangan hidupnya. Tak ada yang salah dengan lelaki itu. aku menghindarinya hanya ketidaksukaanku terhadap teman-teman yang berlebihan dalam menyikapi kehidupan pribadi kami. Aku hanya tak ingin terlihat ada sesuatu yang memanfaatkan hal ini.
Aku duduk ditemani elvi…agak sedikit risih saat dia terus menatapku. Bahkan beberapa rekannya ikut melihat kearah dimana aku dan kawanku duduk. Aku semakin risih dan ingin buru-buru meninggalkan tempat ini. namun elvi masih saja asyik menikmati tempat ini. Sehingga aku juga enggan untuk mengajaknya buru-buru pergi. Aku takut lelaki itu menyapaku dan membuat aku sulit untuk menjelaskan apapun kepadanya. Namun hal ini tak mungkin aku biarkan, karena terlihat dia mulai yakin untuk menyapaku. Buru-buru aku angkat tubuhku dari kursi panas yang sangat membuatku gelisah. Aku berjalan melintas persis depan mejanya tanpa sedikitpun menoleh kearahnya, karena hanya itulah satu-satunya jalan menuju keluar.
“Maafkan aku……..hanya tak ingin mengenang masa lalu yang memang tak sempat kita jalani.” Hatiku berbisik lirih sambil tetap melangkah jauh.(LCL)