Tapi aku bukan rumah sakitmu. Kamu memang sudah sembuh tapi aku yang justru menjadi kambuh.
Namun apakah pantas aku menyebutnya kehilangan? Jika memilikimu saja tidak pernah. Atau setidaknya kamu kumiliki dari pengakuanku, sedang kamu menganggapnya antah-berantah. Dan bodohnya, iya bodoh, aku tabah.
Barangkali karena menunggumu adalah kesia-siaan yang baru pertama kutemui lalu kutekuni. Menunggu tanpa kabar dengan pikiran yang sering kurang ajar, yang sesungguhnya sedang kubuat senjata bumerang bersamaan untuk diriku sendiri.