Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Belajar dari Teman Istimewa

31 Desember 2011   16:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:31 111 1

Bismillahirrahmanirrahim

Aku menjabat tangannya ketika secara tidak sengaja aku duduk di sebelahnya. Awalnya aku kira ia sama seperti aku dan yang lainnya, mahasiswa normal yang punya “fasilitas” fisik yang lengkap.

***

Dalam ruangan yang masih asing bagiku dan bagi teman-teman lainnya, aku duduk tak jauh darinya. Mungkin karena malu-malu, jadi aku belum berani menegurnya saat itu. Hingga ketika aku memerhatikan gerak-geriknya (kebiasaanku memerhatikan orang di sekitarku), ada satu hal yang berberbeda darinya. Ketika yang lain tertawa melihat tingkah laku senior yang lucu, dia hanya diam. Lalu, ketika yang lain sibuk mengangkat tangan tinggi-tinggi, dia hanya diam. Oh iya, selama hampir seperempat acara berlangsung, dia tidak pernah menengokkan kepalanya ke samping atau ke belakang.

Karena penasaran, aku memposisikan tempat dudukku agar lebih dekat dengannya. Diam-diam aku memerhatikan fisiknya. Dan…, subhanallah, matanya terpejam. Satu yang ada di pikiranku, teman baruku ini seorang disorder netra (cacat mata atau tunanetra).

Setelah mengetahui kondisi teman baruku ini, aku tidak langsung menyapanya. Entahlah, kebiasaan burukku; pemalunya parah banget!

Singkat cerita, aku menepuk pundaknya, dan memegang lengannya seperti yang seharusnya kita lakukan pada seorang disorder netra. Erika, begitu ia menyebut namanya sambil menjabat tanganku.

***

Jujur saja, ketika pertama kali menjabat tangannya dan melihat dia tersenyum, dengan sekuat tenaga aku menahan airmata. Umm, mungkin karena aku melankolis kronis, sedikit-sedikit nangis, makanya aku berusaha agar suaraku tidak terdengar bergetar di telinganya.

Sebenarnya, bukan karena aku iba hingga aku ingin menangis saat menjabat tangannya, melainkan karena kekuatannya untuk dapat berada di antara kami yang seluruhnya “sempurna”.

Erika, teman baruku sesama mahasiswa pendidikan khusus yang telah memberikan banyak pelajaran meskipun kami baru kenal beberapa  hari. Di awal perkenalan, aku menyediakan diri untuk mengantarkan dia kemana saja hingga waktunya pulang. Ini aku lakukan dengan niat agar dia tidak merasa dibedakan dengan yang lainnya. Dan ternyata, kampus kami sangat menghargai mahasiswa disorder yang bagian kecil dari kami.

Pertama kali mengenal Erika aku sangat malu pada diri sendiri. Betapa kufurnya aku yang sering mengadu dan merengek menuntut ini itu pada Allah dan merasa menjadi orang paling “kekurangan” di dunia ini. Padahal, jika saat ini aku bergelut dengan dunia khusus yang berisi orang-orang seperti Erika. Dan dahsyatnya, mereka yang disorder justru memiliki semangat hidup yang jauh lebih tinggi dari orang-orang yang “sempurna” seperti kita.

Aku salut dengan Erika. Di tengah keterbatasannya ia masih punya semangat untuk melanjutkan studinya ke tingkat perguruan tinggi, meskipun ia tak akan pernah bisa melihat seperti apa megahnya kampus yang ia tempati sekarang, seperti apa wajah teman-teman seperjuangannya saat ini.

Pada kesempatan berbincang yang kedua kalinya, aku baru tahu kalau Erika butuh waktu empat tahun agar bisa di terima universitas ini sebagai mahasiswa. Subhanallah! Perjuangan dahsyat yang jauh di atas perjuangan secuilku saat ini.

Di tengah ceritanya, Erika berkata bahwa ia sempat menyerah dan menganggap bahwa dia tak layak untuk melanjutkan studinya. Di akhir perbincangan Erika mengatakan, “Lama-lama gue mikir juga, ngapain gue sedih. Biar pun gue gagal tiga kali, gue berusaha ngeyakinin diri gue, Lis. Setahun selanjutnya gue shalat istikhara, banyak minta sama Allah, kalau memang gue diizinin ngelanjutin sekolah, semoga Allah ngasih yang terbaik bagi-Nya buat gue. Tapi kalau memang Allah gak ngizinin gue ngelanjutin sekolah gue, gue Cuma minta supaya gue diberi keikhlasan untuk ngejalanin ketentuan-Nya yang selanjutnya.”

Ah! Aku menahan napas selama dia mengucapkan kalimat-kalimat terakhir itu. Dan saat menghela napas, lagi-lagi aku harus menahan airmata. Tak menyangka bahwa sekuat itu Erika menjalankan apa yang sudah dititahkah Allah padanya. Sejak mengenal Erika, aku selalu berpikir berulang kali untuk mengucapkan keluhan-keluhan yang ingin aku keluarkan dari mulutku. Sebelum sempat mengeluh, berulang kali aku mengingat banyak teman istimewa lainnya yang tetap tegar dengan segala ketentuan Allah yang tak pernah mereka harapkan.

Dari Erika, teman istimewaku, aku belajar bagaimana seharusnya kita berjuang. Bahwa keterbatasan bukanlah pembatas kita untuk bergerak dan meraih apa yang kita inginkan. Jika Erika yang disorder netra saja bisa menembus batas keterbatasannya, mengapa kita yang “sempurna”, yang tak memiliki keterbatasan secara fisik mau berdiam diri dan membatasi diri?

Teringat pesan Mas Sakti Wibowo akan teori menembus batasnya. Kurang lebih beginilah beliau berkata di kelas novel di kost-annya;

“Kita sering membatasi diri untuk mencapai sesuatu, hingga kita tak punya upaya untuk mencapai lebih dari yang kita inginkan. Pegang teori menembus batas yang saya percayai. Kita harus menembus batas keterbatasan kita. Insya Allah, kita bisa berhasil di mana saja!”

Akhir catatan, selamat menembus batas yang kalian punya, Kawan. Jangan sekali-kali membatasi diri hingga membuat kita lebih berketerbatasan dari mereka yang memiliki keterbatasan, seperti teman-teman istimewaku. Wallahu a’lam.

-Fatul-

Ditulis pada 15 Ramadhan 1432 H

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun