Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Supermom is Dead

18 November 2011   21:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:29 145 0
..”bahkan pahlawan pun mempunyai batasan” (tokoh Jack –Arnold Schwarzenegger— dalam film The Last Action Hero)

Judul ini benar-benar terinspirasi oleh nama grup musik asal Bali, Superman Is Dead (SID). Judul yang saya pakai, karena bagi saya, keinginan untuk menjadi supermom sudah mati. Ia saya kubur jauh dalam palung keinginan yang paling dalam. Padahal, dulu –bahkan ketika menikah saja belum pengin- saya berpikir, “wah keren ya kalau bisa jadi supermom.”

Supermom. Bagi perempuan bekerja, ia adalah sosok ideal yang bisa menyeimbangkan antara karir dan peran domestik rumah tangga. Bagi ibu rumah tangga, ia adalah sosok impian yang bisa mengerjakan tugas ke-iburumahtangga-nya dengan sempurna. Apalagi bagi ibu rumah tangga (seperti saya), menjadi supermom seolah pembuktian bahwa “bener kan, jadi ibu rumah tangga itu bukan profesi yang remeh… banyak banget lho kerjaan yang harus dihandle”. Juga untuk membuktikan bahwa “dengan pengorbanan menjadi ibu rumah tangga maka kondisi rumah dan anak-anak harus lebih oke daripada keluarga perempuan karir.”

Tapiiii… pasca melahirkan bayi laki-laki saya, Ale, saya justru mendapatkan pesan kontradiktif dari seorang sahabat. “Jangan berusaha menjadi supermom. Kalau memang tidak mampu menangani semua seorang diri, jangan malu meminta bantuan,” kurang lebih demikianlah sarannya.

Ow w… hidiw..saya kan pengen jadi supermooooom…

Tapi, semakin hari, saya justru membuktikan kebenaran saran sahabat saya. Terobsesi menjadi supermom justru rentan depresi. Itu dibuktikan oleh riset, yang jika saya menjadi responden-nya, maka penelitian pada saya akan memperkuat hasil tersebut. (Maaaf, saya lupa baca di mana, lupa juga keyword-nya, jadi tidak bisa mencantumkan tautan di sini)

Saya pernah bekerja (formal) tapi belum pernah menjadi ibu-bekerja (formal) –saya baru hamil setelah resign. Suatu hari, saya berbalas komentar dengan seorang teman yang menyebut dirinya “half mom” karena dia bekerja (mbaaak Y… itu pasti karena naluri keibuanmu sangat kuaaat). Sesuatu yang membuat saya mengamini bahwa umumnya perempuan bekerja memang menanggung beban ganda (bahkan sebaik apapun si suami mau berbagi peran, naluri ibu adalah alami dan tak bisa dibohongi).

Sebaliknya, seorang perempuan yang jadi ibu rumah tangga bisa jadi menanggung bebab eksistensi. Berbagai faktor yang membuat dia tidak bisa menjalani kerja formal menyebabkan tuntutan pada diri untuk sempurna sebagai ratu rumah tangga.

Obsesi dibarengi kemampuan yang sepadan memang akan memberikan hasil yang memuaskan. Namun, tidak selalu demikian kan? Tuntutanperan, ditambah keunikan sistem hormonal perempuan membuat depresi jadi lebih mudah menyerang.

Pada saya “nasihat untuk tidak menjadi supermom” sangat terasa efek positifnya. Meski tetap berusaha untuk melakukan peran sebisa mungkin, saya merasa lebih santai. Rasa-rasanya saya tidak pernah mengalami depresi berat atau stress berkepanjangan. Kalau sekali waktu mellow-yellow, itu saya pahami sebagai siklus yang biasa. Hidup tanpamellow-yellow, barangkali akan seperti kopi tanpa sensasi rasa pahit atau teh tanpa kejutan rasa sepat.

For me, supermom is dead. Bahkan, dalam dunia fantasi sekalipun, tak ada jagoan yang benar-benar "superb". Superman selalu tak berdaya oleh batu krypton. Dan Spiderman pernah kehilangan kekuatan karena jumawa. Dalam dunia nyata, saya menyematkan lencana “supermom” pada emakbukan karena dia “superb” tapi karena dia mampu membesarkan saya dalam segala keterbatasannya.

*emak…. Luv u

*Mb Y… terinspirasi RT-mu niii :)

*Jeng N … terima kasih sarannya… helpfull

LSD (www.lisdhakerjadirumah.com / www.bisabanget.biz)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun