Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

Uang Bisa "Membeli" Kebahagiaan

15 November 2011   00:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:40 351 1

Saya akan sepakat kok kalau Anda bilang : uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Tapi,saya juga percayakalau uang bisa “membeli” kebahagiaan.

Ihhh…gimana sih? Nggak jelas gitu…

Hehehe, saya pakai tanda kutip loh ya… Di kalimat pertama saya menulis : uang bisa membeli kebahagiaan. Sedangkan di kalimat kedua (dan judul) : uang bisa “membeli” kebahagiaan.

Yang mau saya katakan adalah : secara langsung, uang memang tidak bisa membeli kebahagiaan. Dan memang banyak bukti kalau seorang yang kaya raya belum tentu bahagia. Jangan-jangan, karena kekayaannya yang melimpah ruah, seseorang justru diliputi khawatir sepanjang hari. Khawatir dirampok, khawatir dibunuh, khawatir ketahuan (kalau mendapatkan hartanya dengan tak jujur). Kalau selalu khawatir, kan nggak bahagia.

Tapi,saya yakin Anda akan sepakat jika memiliki uang bisa berarti kemampuan untuk meningkatkan kualitas hidup. Dengan punya uang, kalau lapar bisa makan bergizi, kalau jenuh bisa rekreasi, kalau sakitbisa berobat,kalau tetangga/saudara kekurangan bisa membantu… Sedih bangetkan kalau semisal anak/orangtua kita sakit keras (ohh jangan deh) dan kita nggak bisa membawanya ke rumah sakit karena nggak ada duit? Masih mending kalau ditanggung perusahaan. Mau pakai Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM)? Banyak lho rumah sakit yang menolak SKTMkarena anggaran seret (huohuoo.. menunggu jaminan kesehatan dari pemerintah sih seperti menunggu Godot :D). Atau jangan pakai ilustrasi yang ngeri-ngeri deh… pasti rasanya sudah sediiih pakai banget ketika mau pagi-pagi mau belanja sayur nggak ada uang sehingga mesti ngutang (ilustrasi khas emak-emak heuheu).

Meski tidak menjamin, saya rasa, dalam kondisi “tercukupi” seharusnya jadi lebih mudah untuk bahagia. Artinya, seberapapun signifikansinya, ada korelasi antara memiliki uang dengan kebahagiaan. Kalau sudah cukup dan tetap tidak bahagia, harus ada yang dicek niih dari kondisi kejiwaan kita. Yups, sudah pasti ini debatable. Toh, bisa saja kualitas kebahagiaan seorang buruh miskin justru lebih oke dibandingkan kebahagiaan seorang konglomerat. Tapi, untuk memiliki kualitas kebahagiaan seperti si buruh miskin, tentu butuh kepribadian yang luar biasa. Kepribadian yang mungkin hanya dimiliki segelintir orang.

Saya tergelitik menulis ini gara-gara sebuah komentar dalam thread tentang MLM di dunia maya. Salah satu opini menyatakan kurang lebih bahwa MLM-ers adalah orang-orang rakus yang mati-matian mengejar uang. Terbukti, dalam setiap promosinya MLM selalu mengedepankan pencapaian materi.

Hmmh…kalau soal ini sih rasa-rasanya nggak harus di MLM ya?? Di setiap jenis pekerjaan, kita kan nggak tahu motivasi seseorang. Saya pribadi sempat merasa kontradiksi. Di satu sisi, saya bergabung ke sebuah jenis pekerjaan yang memang bagaimanapun promonya banyak menonjolkan pencapaian materi (namanya juga promo...apalagi, dunia kita kan dunia yang sangat mengejar materiil). Sebaliknya, hari demi hari saya terus berusaha mengembangkan “rasa cukup.” Perasaan yang bila berhasil saya kembangkan akan menghasilkan “rasa kaya”.

Jadi, meski di sistem ini memungkinkan untuk mendapatkan penghasilan dan bonus yang “wah”, saya –dengan risiko terlihat sok saleh— bahkan harus lebih berjuang untuk menjaga diri agar tidak terobsesi.Hal yang melegakan adalah bahwa di sini tidak mungkin bagi saya untuk sendirian mencapai hasil. Sebuah keberhasilan hanya bisa dicapai jika mampu mendorong jaringan untuk berhasil.

Kalaupun ada orang lain yang punya target utama kekayaan, apa haknya saya menghakimi? Saya pun belum tentu bisa menjaga diri. Toh ini halal, jelas terhormat daripada korupsi. Siapa tahu dia ingin sekali membiayai orangtuanya naik haji? Atau melanjutkan sekolah keluar negeri tanpa membebani keluarga? Atau membayar hutang ratusan juta akibat kegagalan usaha? Berprasangka positif terasa lebih melegakan daripada melulu negatif

Saya masih terharu membaca sharing founder dBC-Network (salah satu jaringan distributor Oriflame) Dini Shanti yang terbaru. Secara pribadi dia menganggap pencapaian luar biasanya adalah hal yang sepadan dengan usahanya. Pencapaian yang tidak terlalu mengusik sisi emosi. Tapi, ketika melihat orang-orang di jaringannya ikut berhasil, dan merasa kehidupannya diubahkan, Dini Shantijadi emosional. Menangis haru.. padahal dia sudah berjanji tak ingin menangis.

Well, apapun ceritanya, uang memang tidak bisa membeli kebahagiaan. Tapi uang bisa “membeli” kebahagiaan.  Barangkali, hidup yang kita hidupi saat ini sudah terasa cukup. Tapi, untuk menghidupi sekitar kita, tidak pernah ada kata cukup. Hidup yang menjadi berkat, tentu menjadi hidup yang sangat indah.

LSD (www.bisabanget.biz)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun