Detroit yang dulu dikenal sebagai pusat industri otomotif Amerika Serikat (AS) menyatakan diri bangkrut pada 18 Juli 2013. Kondisi tersebut disebabkan ketidakmampuan pemerintah kota untuk survive di tengah resesi global AS yang berkepanjangan sehingga cenderung mengambil kebijakan pengelolaan anggaran yang salah. Selain dampak ekonomi, kebangkrutan Kota Detroit juga membawa dampak sosial antara lain runtuhnya tatanan sosial dan meningkatnya angka kriminalitas.
Belajar dari hal tersebut, perlu diwaspadai potensi kebangkrutan pada Pemerintah Daerah di Indonesia, karena meskipun tidak berada masa resesi ekonomi, beberapa daerah di Indonesia sangat berpotensi mengalami kebangkrutan akibat tidak profesionalnya dalam mengelola keuangan daerah, seperti :
Utang atau Pinjaman
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyatakan bahwa lebih dari 80% Pemerintah Daerah di Indonesia memiliki utang. Pada tahun 2008 dan 2009, terdapat 365 Kabupaten/Kota dan 26 Provinsi yang memiliki utang, dimana Provinsi Jawa Timur memiliki utang terbesar (Rp. 448,6 miliar pada 2008). Sedangkan untuk Kabupaten/Kota dengan utang terbesar adalah Kutai Katanegara (Rp. 604,1 miliar). Pada tahun 2012 terdapat beberapa daerah yang melakukan pinjaman melampaui prosentase pinjaman yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.07/2011. Sebagai akibat dominannya daerah melakukan pinjaman, prosentase pengeluaran pembiayaan Kabupaten untuk pembayaran pokok utang Tahun Anggaran (TA) 2013 telah mencapai 34%. Sedangkan prosentase pengeluaran pembiayaan kota untuk pembayaran pokok hutang TA 2013 telah mencapai 28%.
Defisit Anggaran
Data APBD se-Indonesia menunjukkan adanya kecenderungan daerah untuk merencanakan anggaran defisit dalam APBD-nya. Pada TA 2012, dari 491 Kabupaten/Kota terdapat 447 Kabupaten/Kota dengan anggaran defisit, lebih banyak dibanding tahun 2011 yaitu 438 Kabupaten/Kota. Sedangkan Kabupaten/Kota yang menganggarkan surplus pada TA 2012 sebanyak 68 daerah, dan sebanyak 9 daerah mempunyai APBD yang bernilai sama atau berimbang.
Belanja Pegawai yang terlalu besar
Berdasarkan data Dirjen Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan tahun 2011, terdapat 124 daerah yang belanja pegawainya menghabiskan lebih dari 60% alokasi APBD. Dari 124 daerah tersebut, 16 diantaranya menggunakan 70% APBD untuk membayar gaji pegawai, bahkan Kabupaten Lumajang menggunakan 83% anggarannya untuk belanja pegawai.
Korupsi
Berdasarkan data Kemendagri, dalam kurun waktu 2004-2011 tercatat 158 Kepala Daerah di Indonesia yang terdiri dari Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi tersangka dugaan tindak pidana korupsi. Angka tersebut memiliki kecenderungan meningkat dimana pada 2012 sejumlah 173 Kepala Daerah dan pada 2013 sejumlah 290 Kepala Daerah dari jumlah tersebut sebanyak 251 orang (86,2%) menjadi terdakwa.
Pengelolaan anggaran daerah yang tidak profesional juga dapat membawa beberapa potensi ancaman, antara lain :
- Sempitnya ruang fiskal akibat terbatasnya penerimaan daerah baik berupa transfer dari pusat maupun PAD yang memaksa daerah selalu menyusun anggaran defisit.
- Anggaran Belanja Daerah yang disusun berdasarkan kepentingan politik Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dan DPRD cenderung menyimpang dari Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) agar lebih mudah dikorupsi.
- Realisasi APBD yang selalu defisit berkepanjangan akan mendorong daerah melakukan pinjaman dan/atau menerbitkan Surat Utang, sehingga membuat daerah rentan terhadap kebangkrutan. Sementara realisasi APBD yang mengakibatkan SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) akan membuka peluang bagi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dan DPRD berkolusi dalam penentuan penggunaan SILPA.