Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story Artikel Utama

30 Hari Backpackeran dari Malaysia Hingga Vietnam – Bagian II

3 April 2014   16:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:08 683 5

Backpackeran bagian I

Perjalanan dengan feri dari Nathon Pier ke Donsak Pier memakan waktu sekitar 1.5 jam.  Merasa rugi karena membeli tiket feri lagi, maka saya berusaha menggunakan tiket feri + bis di tangan untuk mendapatkan bis yang benar.  Perjalanan dengan bis dari Donsak Pier ke Surat Thani juga memakan waktu selama 1.5 jam.

Para penumpang yang bersama saya sejak dari Donsak Pier sudah turun di berbagai tempat sesuai dengan instruksi dari kondektur bis dan berganti dengan penumpang baru.  Saya satu-satunya penumpang yang masih bertahan sejak dari berangkat hingga …. bis bergerak menuju ke luar kota … petunjuknya Hat Yai.  Saya diam saja, komunikasi dalam bahasa Inggris susah, kondektur hanya mengerti beberapa patah kata saja yang standar.  Dalam hati, kalau sampai terbawa sampai ke Hat Yai juga tidak apa-apa toh tujuan akhirnya sama yaitu Bangkok.

You …” sambil menunjuk kepada saya, kondektur menyuruh saya turun.

Train station?” tanya saya.  Kondektur cuma mengacungkan telunjuknya menunjuk kearah lurus.

Dimana saya?  Semua tulisan dalam huruf Thailand yang meliuk-liuk seperti cacing.  Tapi saya yakin saja untuk mengikuti telunjuk sang kondektur.  Ternyata benar tinggal luruuuuuusssss saja mentok 15 menit kemudian saya melihat stasiun kereta api.  Kereta ke Bangkok berangkat pukul 18:35, tetapi tiket kelas dua yang duduk habis yang tersisa hanya kelas tiga yang tempat duduknya kata penjual tiket di loket “Very … very … hard”.  Mau tak mau saya membeli tiket kelas dua sleepers train, kelas tiganya juga habis.  Harganya cukup mahal buat kantong backpacker yaitu 698 Baht (yang di atas, kalau di bawah 768 Baht).

Dengan pertimbangan perjalanan ini akan berlangsung semalaman, saya memilih sleepers yang di atas saja.  Ternyata naik ke ranjang yang di atas ini susah begitu juga turunnya karena tangganya terbuat dari stainless steel dan tegak lurus dilengkapi dengan saya memakai kaos kaki.   Demi menghemat 100 Baht, saya merelakan diri kepuntir, terayun-ayun di tangga dan diketawai penumpang lainnya.

Kereta tiba di Bangkok sekitar pukul 6.30 pagi.  Setelah ngopi dan nyamil di warung seberang stasiun, saya check in di hostel dekat situ.  Bangkok hanya sebagai kota transit sebelum melanjutkan perjalanan ke perbatasan Kamboja keesokan harinya.  Seharian ini saya kelilingan Bangkok dengan bis umum, taxi air, dan BTS (Bangkok Mass Transit System).

Tempat yang saya kunjungi yang umum-umum seperti kebanyakan wisatawan lainnya yaitu Wat Pho, Wat Arun, Wat Saket dan MBK, mall-nya orang Indonesia sampai-sampai pedagangnya bisa “berbicara” bahasa Indonesia sangking banyaknya orang Indonesia yang belanja di sana.  “Berbicara” disini dalam arti urusan tawar menawar saja … itung-itungan angka.

Tak lupa saya mampir ke Jim Thompson House.  Namanya identik dengan sutera Thailand.  Jim Thompson seorang veteran perang Amerika yang kemudian jatuh cinta dengan Thailand.   Beliaulah yang mengangkat sutera yang tadinya kasar dan kurang bagus menjadi halus dan terkenal.  Pada tanggal 26 Maret 1967 beliau berjalan-jalan di Tanah Rata, Cameron Highlands dan tidak pernah diketemukan kembali hingga saat ini.

Saya jadi teringat cerita Ibu Toen, pemilik warung di food court Tanah Rata.  Nasi goreng dan teh tariknya enak, selama ini saya belum pernah suka teh tarik, tapi buatan Ibu Toen saya doyan banget.  Kami berbincang-bincang banyak hal, hingga warungnya hampir tutup.  Termasuk beliau menceritakan bahwa Gunung Brinchang itu angker, banyak orang kulit putih, dan Jepang yang hilang ketika masuk ke Gunung Brinchang.  Ada yang tak diketemukan hingga saat ini atau diketemukan telah menjadi jenasah, atau ‘berpusing-pusing di tempat, no way out’.  Diduga Jim Thompson hilang di Gunung Brinchang, tidak ada yang tahu persis lokasinya.

Malam itu saya bermimpi berada di puncak Gunung Brinchang dan menyaksikan matahari terbit menyirami kebun teh dengan sinarnya yang keemasan … terbangun karena dikejutkan alarm pukul 4 pagi.

Perjalanan ke Aranyaprathet dengan kereta api kelas ekonomi bagi saya cukup unik.  Saya perhatikan semua orang suka bila jendela dibuka lebar-lebar, angin dan debu saling berebut menampar para penumpang.  Bagi mereka yang sudah pengalaman dengan jalur ini, mengeluarkan kain / selimut lalu digunakan untuk menutup kepala hingga ke perutnya.  Pengalaman saya cukup dengan menarik jendela kayu hingga tiga perempat bagian ke atas, tidak kena angin langsung dari samping dan tidak dapat melihat pemandangan.

Tiba di Aranyaprathet pukul 12:30 dengan perut keroncongan karena belum terisi apa pun sejak berangkat.  Setelah makan di warung sebelah stasiun, saya naik tuktuk ke perbatasan untuk proses keluar dari Thailand, lalu jalan kaki ke Poipet, di perbatasan Kamboja.

Kedua perbatasan di sini seperti kampung, saya diikuti seseorang yang mau mengantar ke kantor imigrasi Thailand, sok yakin saya katakan bahwa saya sudah tahu.  Keluar dari Thailand, orang itu sudah ada di sana dan memberitahu untuk masuk ke kantor imigrasi Kamboja.  Banyak makelar-makelar seperti itu yang lalu lalang Thailand – Kamboja dan sebaliknya, seakan-akan itu bukan daerah perbatasan negara, entah apakah mereka punya passport untuk itu.

Kantor imigrasi Kamboja hanya bangunan jelek dan panas, sangat berbeda dengan kantor imigrasi Thailand yang besar dan menggunakan ac.  Karena banyaknya wisatawan yang antri untuk masuk Kamboja, proses imigrasi ini memakan waktu 1.5 jam.  Kalau mau cepat dengan membayar 250 baht dalam waktu 10 menit bisa segera keluar dari bedeng itu.  Ketika jalan kaki menuju ke terminal bis bayangan yang lokasinya di sebelah kantor imigrasi, terdapat hotel-hotel yang sangat megah di kiri kanan.  Saya pikir orang kaya mana yang mau tinggal di hotel mewah di daerah seperti ini.  Ternyata itu adalah kasino karena Thailand melarang adanya kasino, jadi mereka yang mau berjudi tinggal melangkahkan kaki ke Poipet atau Golden Triangle.

Di terminal bayangan ini beberapa bis sudah menunggu untuk mengangkut penumpang ke terminal bis Poipet secara free.  Iya lho, free, nggak bayar sepeser pun.  Hebat, mana ada di Indonesia jasa angkutan free macam gitu?  Sedangkan di terminal bis Poipet juga tersedia money changer yang ratenya tentu saja jelek, meski pun demikian saya tukarkan uang Ringgit Malaysia yang ujungnya sobek dan ditolak di mana-mana tetapi diterima di sini, minimal saya punya uang receh berbentuk Riel untuk beli minuman dan tips.  Bis yang seharusnya berangkat ke Siem Reap pukul 3 sore baru berangkat pukul 4.45 itu pun setelah seorang penumpang ‘bule’ marah-marah.

Pukul 22:00 bis baru tiba di terminal bis Siem Reap, terlambat 3 jam dari jadwal semula.  Sopir tuktuk sangat agresif menawarkan jasanya termasuk membawa keliling Angkor Wat keesokan harinya, biar pun saya sudah katakana bahwa saya sudah memesan mobil melalui internet, dengan beraninya dia mengatakan untuk dibatalkan saja dan menggunakan jasanya.  Ternyata bukan Cuma sopir tuktuk yang agresif, staff hostel tempat saya menginap juga sama saja.  Ketika saya minta tolong untuk menelepon ke sopir yang telah saya pesan, dengan sengaja dia memutar nomer yang salah.  Nggak kalah nakalnya, saya merebut handphonenya dan memencet nomer telepon yang benar.

Kamboja, bagi saya ini negara yang tidak jelas.  Mata uang yang laku adalah US$, semua harga menggunakan US$, kalau ada kembalian yang diberikan Riel.  Yang dijual oleh Kamboja hanyalah wisata di Siem Reap dan Pnom Penh saja, sampai-sampai saya berpikir negara ini hanya punya dua kota saja.  Sudah gitu karena harga dalam US$ tentunya ini wisata yang termahal bagi saya di negara-negara Asean.   Tiket masuk ke Angkor Wat saja untuk satu hari dan Kuhlen Mountain, masing-masing US$ 20,-, sedangkan tiket ke Beng Mealea US$ 5,-.

Makan minimal US$ 5,- belum termasuk minum.  Ketika malam jalan-jalan di Pub Street, saya tak segan-segan ngintip dulu harga-harga menu makanan dan minuman yang disediakan di depan restoran demi mencari yang murah … backpacker gitu lhoooo …

Kalau makanan mahal, kaos dan suvenir termasuk murah carinya di Old Market, yang penting berani nawar di bawah 50%, kalau tidak boleh paling-paling penjualnya buang muka.  Nggak apa-apa muka saya tebal, toh nggak ketemu lagi dalam waktu dekat.

Cukup dua malam saja di Siem Reap yang aujubilah mahalnya.  Malam ketiganya saya menggunakan sleeper bus menuju ke Pnom Penh.  Posisi tempat tidur di dalam bisnya dua berdampingan di kiri dan satu di kanan, dua lapis atas dan bawah. Semua penumpang masuk bis harus melepas sepatu, membungkusnya dalam kantong plastik dan membawa ke tempat tidur masing-masing.  Bis ini menggunakan wifi … keren banget.  Saya cuma bisa bermimpi kapan Indonesia punya bis macam gini … jalanan rusak dan berdebu lewat … tak terasa karena saya tertidur pulas.

Bersambung

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun