Serangan terhadap kantor majalah Charlie Hebdo di Perancis telah menewaskan 12 orang. Apakah Putin melakukannya? Sayangnya tidak. Tindakan seperti ini bukanlah gaya agresi Rusia, melainkan mirip dengan komando jihad. Dan atas kekacauan ini, siapa pihak yang akhirnya diuntungkan?
Perencanaan untuk menyerang Charlie Hebdo telah dipersiapkan dengan matang, terbukti dengan digunakannya Kalashnikov, roket peluncur, balaclavas (penutup kepala/ topeng), amunisi, rompi, sepatu tentara, dan Citroen hitam. Dari semua persiapan ini, yang paling mematikan adalah dukungan logistik yang sempurna. Lalu ada yang menyatakan bahwa mereka (penyerang) menggunakan bahasa Perancis dengan sempurna, namun sebagian menyatakan tidak.
Kita mulai dari Bahasa Perancis. Yang terpenting adalah, mereka bisa mengatakan kalimat ajaib, yaitu, “Kami adalah Al-Qaeda.” Lebih baik lagi jika mereka mengatakan pada masyarakat di jalanan seperti, “Kami adalah Al-Qaeda Yaman.” Dalam terminologi teror Amerika Serikat, akan dibangun argumen bahwa kelompok Al-Qaeda in Arabian Peninsula (AQAP) telah menargetkan editor majalah Charlie Hebdo sebagai target, dengan tuduhan menghina Nabi Muhammad. Dan untuk memastikan bahwa mereka adalah kelompok teroris Al-Qaeda, maka para pembunuh cukup dengan meneriakkan “Allahu Akbar, kami telah membunuh Charlie Hebdo, kami telah membela Nabi.” Apakah kasus lantas ditutup?
Nah, hanya butuh beberapa jam bagi polisi Prancis untuk mengidentifikasi pelaku penyerangan. Wajarkah ini? Yang ditetapkan sebagai tersangka adalah Said dan Cherif Kouachi, dua bersaudara berdarah Perancis-Aljazair. Lalu pengemudi Citroen hitam, Hamyd Mourad, 18 tahun, yang menyerahkan diri. Mereka semua mengenakan balaclavas. Saat ini, Kouachi bersaudara belum ditangkap, namun tampaknya pihak kepolisian telah mengetahui benar siapa mereka. Alasannya, kartu ID Kouachi tertinggal di Citroen hitam.
Lalu biografi Kouchi dipublikasi. Ia bersama enam orang lainnya, pernah dijatuhi hukuman pada tahun 2008 atas kasus terorisme. Namun saya perjelas lagi, ada lusinan pemuda Perancis telah menimba ilmu dari madrasah ‘terorisme’ pimpinan gembong Al-Qaeda Irak, Abu Musab al-Zarqawi, yang juga merupakan Bapak Spiritual bagi teroris ISIS.
Selanjutnya, narasi pun disiapkan untuk dikonsumsi publik. Kuncinya: kepolisian Perancis menduga kasus ini merupakan aksi terorisme ala jihadis Islam. Menurut mereka, teror ini kemungkinan dilakukan oleh para jihadis yang telah kembali dari Suriah, dan jihadis ini menerima perintah untuk melakukan penyerangan. Di sisi lain, dibangun argumen bahwa ada penjahat idiot yang melakukan serangan namun berpura-pura menyerupai Al-Qaeda.
Jika menggunakan argumen pertama, maka hal ini menunjukkan satu hal, yaitu: blowback (arus balik). Ya, bisa saja mereka adalah tentara bayaran ISIS yang dilatih oleh NATO (jangan lupa, Perancis juga anggota NATO) di Turki atau Yordania. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa penyerangan ini adalah operasi bendera palsu. Bisa saja penyerang tersebut adalah mantan atau anggota pasukan khusus Perancis.
Citra Islam akan Terus Diperburuk
Bisa ditebak, penjaja Islamofascism sudah siap sedia dalam hitungan hari atau minggu bahkan tahun, untuk mendeskreditkan Islam. Mereka melupakan bahwa jutaan orang di Pakistan dan Irak terus menerus merasakan sakit karena mereka adalah korban atas gerakan jihad. Apalagi, secara langsung maupun tidak, sampai hari ini Barat adalah pihak yang paling diuntungkan selama beberapa dekade atas kekacauan di Timur Tengah. Coba pikirkan jerit tangis rakyat Pakistan, Yaman, Suriah, Irak, ataupun Libya. Pikirkan bagaiamana kondisi di Kota Sadr sepuluh kali lebih buruk daripada Paris.
Apakah kebijakan Presiden Perancis Francois Hollande bisa dikategorikan luar biasa barbar ketika mengirim, mendukung, dan menyuplai teroris yang berada di Suriah dan Irak? Perancis merupakan negara di garis depan yang mensponsori terorisme, dan baginya, membantai rakyat di Aleppo dan Tripoli adalah hal yang baik, asal jangan lakukan hal tersebut di Paris.
Jadi kini, serangan di jantung Eropa adalah sebuah arus balik. Pertanyaannya, apakah jaringan intelejen Barat yang begitu canggih tidak menyadari adanya arus balik terorisme, dan tidak berdaya untuk mencegahnya? Mengapa harus mengkambinghitamkan Kouachi bersaudara?
Tentu saja jaringan anti-terorisme Barat yang begitu mahir telah menyadari terjadinya arus balik dari bandara. Namun sepertinya, keberadaan tentara bayaran turunan Al-Qaeda ataupun ISIS, sengaja dijadikan sebagai sebuah ancaman yang mengganggu kebebasan kita.
Pembunuhan Terhadap Charlie, Cui Bono?
Lembaga thinktank AS terlibat dalam menyediakan dan mengeksploitasi jihadis ke dalam ruang geopolitik, dan semua ini telah menjadikan Barat berlarut-larut terlibat dalam perang di negara-negara Muslim. Ini adalah hal yang konyol. Sejak tahun 70-an, mereka membudidayakan jihadis untuk melawan Uni Sovyet. Mereka menggunakan kekuatan dari ummat Islam yang berhasil diperalat. Mereka bersekutu dengan Taliban, dan di lain pihak, terus berusaha memecah Sunni-Syiah. Lalu, dengan tewasnya para kartunis Charlie, siapa yang diuntungkan? Hanya mereka yang memiliki agenda untuk memperburuk citra Islam yang melakukannya.
Jangan lupa, serangan ini berlangsung hanya beberapa hari setelah Perancis mengakui negara Palestina. Parlemen Perancis, hari Selasa (2/12/2014), melalui pemungutan suara yang tidak mengikat, menyatakan dukungan atas pengakuan terhadap negara Palestina. Di lain sisi, beberapa hari yang lalu, Presiden Perancis Francois Hollande menyatakan bahwa sanksi ekonomi yang dikenakan terhadap Rusia atas krisis Ukraina harus dicabut.
Langkah yang ditempuh Perancis ini, telah memicu kepanikan bagi pihak tertentu, dan mereka akan melakukan apapun yang bisa dilakukan untuk mengeksploitasi kondisi keamanan Perancis pasca serangan terhadap Charlie, baik itu dengan melakukan serangan arus balik, ataupun operasi bendera palsu.
Pemerintahan Obama telah memobilisasi Dewan Keamanan PBB. FBI pun membantu investigasi dan penyelidikan di Perancis. Serangan ini bukanlah tentang agama, melainkan semata-mata kepentingan geopolitik. (LiputanIslam.com)
—
*Pepe Escobar adalah seorang jurnalis, penulis buku Empire of Chaos.