Sudah hampir sepuluh bulan, saya mengabdikan diri di sebuah PAUD. Banyak sekali cerita, baik yang indah maupun yang bikin gregetan. Maklum, saya harus menghadapi berbagai tipe anak kecil. Apalagi PAUD tempat saya mengajar adalah PAUD gratis untuk orang-orang tak mampu. Mereka punya latar belakang yang berbeda dari kebanyakan kita. Ada yang tumbuh di lingkungan para pemulung sehingga dia terbiasa bersikap sedikit liar. Ada yang tumbuh di keluarga buta huruf hingga dia pun tak tahu bagaimana cara memegang alat tulis dengan benar. Sungguh pemandangan yang tidak biasa untuk saya.
Ada satu cerita yang ingin saya bagi. Salah satu murid saya, sebut saja namanya Adi. Saya ingat sekali, di awal-awal semester Adi ini termasuk salah satu murid yang mengundang kekhawatiran bagi saya. Bagaimana tidak? Waktu saya menyuruhnya memperkenalkan dirinya di muka kelas, sebagai sesi pertama di minggu pertama mereka bersekolah, ternyata dia memiliki kekurangan dalam berbicara. Susah sekali bagi dia untuk melafalkan sebuah kata. Misalnya saja untuk menyebut kata “satu”, diahanya bisa menyebut “atu”, “makan” diucapkan “akan”. Tidak hanya itu, saat saya menyuruh anak-anak untuk mewarnai gambar rumah, dia bahkan tidak bisa memegang crayon dengan benar. Saya rasa dia tidak pernah diajarkan bagaimana cara memegang alat tulis dengan baik oleh orang tuanya. Dan mungkin keterbatasan berbicaranya pun disebabkan karena tak seorang pun di rumahnya mengajaknya berbicara. Sejujurnya, di minggu-minggu pertama, saya merasa sedikit pesimis melihat perkembangan si Adi setahun ke depan. Saya tidak yakin, saya bisa membawa perubahan yang signifikan di dalam kemampuan motorik dan verbal nya.
Lebih gawatnya lagi, saya masih ingat benar ketika partner mengajar saya “menemukan” kekurangan lain pada diri Adi. Dia tidak dapat membedakan warna!! Apalagi warna biru dan hijau! Memang ada sekitar 2-3 anak di kelas saya yang awalnya masih kesulitan membedakan warna biru dan hijau. Entah mengapa. Saya sendiri tidak dapat menemukan jawaban kenapa hijau dan biru seakan susah sekali untuk dibedakan.
Waktu terus berlalu, empat bulan sudah kami lalui. Tertawa dan bercanda bersama anak-anak, gemas bercampur dengan rasa geli melihat tingkah polah mereka. Ada yang berkembang ke arah positif, baik dari segi akademik maupun sikap. Namun ada pula yang mulai menunjukkan sisi bandelnya, karena pengaruh dari teman di sekitar tempat tinggalnya.
Begitu pula dengan si Adi. Di awal semester dia tampak seperti anak laki-laki pemalu, yang tidak banyak bicara karena keterbatasannya dalam mengungkapkan isi hatinya. Tapi semakin ke sini, dia makin menampakkan sifat aslinya. Seperti bocah laki-laki yang lain, Adi juga sangat aktif. Tangan jahilnya pun tak pernah berhenti menggoda kawannya yang sedang berbaris di depannya. Tapi ada perkembangan positif darinya yang membuat saya begitu senang. Adi sudah bisa menulis sekarang!! Tulisannya pun tak disangka-sangka rapi. Sungguh perkembangan yang bagi saya jauh di luar dugaan.
Selain itu, dia juga termasuk anak yang cepat menangkap instruksi yang saya berikan ketika membagikan lembar kegiatan, seperti menghubungkan pohon dengan buahnya, atau menghitung jumlah kaki hewan-hewan yang ada di gambar.Dia bahkan bisa menggunting kertas sesuai garis. Tak henti-hentinya saya menyemangatinya untuk belajar berbicara. Ibu dan kakaknya pun tak luput saya ingatkan untuk aktif mengobrol dengan Adi. Biar bagaimanapun, mereka lah yang lebih lama menghabiskan waktu di rumah bersama dengannya. Seorang anak hanya akan bisa berkembang bila ada peran serta aktif dari berbagai pihak, baik dari guru di sekolah maupun kedua orang tuanya.
Kebahagiaan utama yang saya rasakan sebagai seorang guru adalah ketika siswa yang saya bimbing mampu mengembangkan semua kemampuan yang selama ini terpendam. Apalagi sejak awal saya tahu anak ini memiliki keterbatasan.