Saya kira sedang ada liputan khusus tentang video Youtube Ahok di Sindo, makanya saya sampai tergoda untuk membeli harian ini di lapak koran. Tapi ternyata saya malah menemukan hal yang lebih menarik. Sindo menampilkan wawancara khusus wakil Gubernur DKI Jakarta seputar sensasi video Youtube-nya di halaman yang berbeda (hal.15). Agak janggal, padahal tema yang diangkat sama-sama soal heboh video Ahok di Youtube.
Di kolom Megapolitan (hal.15), Sindo mengangkat soal pandangan negatif berbagai pihak tentang gaya memimpin Ahok. Di sana Ahok menjelaskan bahwa niat awalnya memposting video tersebut ke Youtube murni dilandasi niat menyampaikan transparansi kinerja Pemda. “Ini kan uang masyarakat bukan uang kita, sehingga masyarakat berhak untuk tahu. Walaupun banyak yang bilang pencitraan,” terang Ahok.
Pertanyaan berikutnya adalah tentang perubahan karakter yang dirasakan masyarakat pada saat kampanye dibandingkan dengan kini setelah menjabat sebagai wakil gubernur DKI. Ahok menjawab dirinya tidak berubah sama sekali, orang-orang dekatnya yang menjadi saksi: 4 kali beliau menjabat sebagai pejabat daerah, namun karakternya tetap sama seperti sekarang. Mungkin karena baru sekarang melihat langsung caranya memimpin, makanya masyarakat kaget sosoknya sedikit berbeda dengan Ahok yang murah senyum saat kampanye.
Munculnya pertanyaan (dan kekagetan?) masyarakat terhadap sosok Ahok adalah sebuah pertanda yang harus diperhatikan oleh wakil Jokowi ini. Mungkin memang seperti inilah sosok Ahok yang sebenarnya, mungkin memang harapan besar akan sosok (wakil) pemimpin idaman telah sedikit mengaburkan pandangan masyarakat terhadap karakter asli Ahok. Ketegasan Ahok pada dasarnya adalah hal yang baik, namun sebaik apapun suatu hal jika dipersepsikan secara salah oleh masyarakat maka akan menjadi tidak baik.
Kritik itu yang disampaikan oleh Amalia Maulana dalam tulisannya “Mana Lanjutan Gebrakanmu, Ahok?” Brand Consultant & Pakar Etnografi ini menyebut video Youtube Ahok sebagai gebrakan yang bagus, namun sayang karena tidak ada lanjutannya maka aksi tersebut terkesan hanya sensasi sesaat saja. Amalia Maulana menjelaskan bahwa di era media sosial saat ini, audience sangat memperhatikan kontinuitas content. Ibarat sinetron, penonton akan merasa ditinggalkan jika ternyata hanya tayang 1-2 episode saja.
Mungkin alasan Ahok (dan Pemda DKI?) tidak menggarap fenomena ini secara optimal adalah karena niat awalnya hanya transparansi kerja saja kepada masyarakat. Namun melihat perkembangan yang ada, seharusnya Ahok dan Pemda DKI tidak menutup mata dengan opini yang muncul dan bergulir di ranah publik. Ahok mungkin berorientasi pada hasil dan tidak mempedulikan apa kata orang. Namun dirinya harus sadar bahwa sebagai pemimpin, sosoknya mulai jadi magnet berita sekarang. Jika dibiarkan, opini bisa bergerak (diarahkan?) berujung negatif. Saat ini indikasi itu sudah muncul, anggapan ‘Ahok Setengah Preman’ sudah kepalang banyak disebut masyarakat.
Julukan itu sebenarnya bisa bermakna positif. Ahok bisa mengeluarkan pernyataan ‘jika ingin merubah Jakarta, maka dibutuhkan ketegasan’ misalnya. Masyarakat akan menilai sikap Ahok yang ‘galak’ di ruang rapat sebagai keharusan. Atau pihak Pemda DKI bisa merilis berita-berita positif yang terkait dengan rapat tersebut: gara-gara Ahok anggaran jadi hemat 25%, atau pejabat eselon yang hadir di ruang rapat bersykur ditegur Ahok sehingga jadi lebih produktif, atau apapun. Intinya adalah, tanpa di-maintain secara tepat, ‘Ahok Setengah Preman’ selamanya akan menjadi julukan negatif.
Jaman telah berubah, begitu pun dengan konsep marketing dan komunikasi. Setiap individu telah menjadi brand, dan bentuk promosi kini tidak melulu lewat iklan. Sebelumnya saya pernah menulis tentang “Penulis Buku Lapindo yang Menghilang Demi Promosi Buku yang kurang-lebih berkaitan dengan kasus Ahok sekarang. Atau studi kasus sebuah brand (promosi lewat video youtube) yang berujung kecaman publik juga bisa dijadikan acuan pentingnya strategi komunikasi yang menyeluruh bagi Ahok.
Saat ini “omongan orang” jauh lebih efektif ketimbang iklan. Ahok sebagai brand yang dipercaya masyarakat sebagai ‘pemimpin yang berkhasiat memperbaiki Jakarta’ harus memikirkan strategi komunikasi yang terintegrasi dan cepat tanggap terhadap reaksi publik.
Jika Ahok (atau siapapun) menganggap remeh opini publik di era social media saat ini, siap-siap saja citranya jatuh dan tidak dipercaya lagi. Membangun image jauh lebih susah ketimbang menjatuhkannya. Ahok sudah memiliki image yang baik dan itu harus dipertahankan agar jangan sampai hancur (apalagi karena hal sepele). Tentunya Ahok tidak mau kan kalau citranya jadi jelek seperti beberapa pejabat Demokrat yang suka cari sensasi & kontroversi?