Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Persepsi

19 Desember 2012   08:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:22 441 1

Jika Anda percaya bahwa etnis tertentu lebih jago berbisnis, mungkin Anda akan langsung percaya bahwa itu benar, sebab argumen itu seolah nyata berdasar apa yang Anda lihat di mal, di ruko-ruko, maupun di televisi. Anda sudah berada dalam sebuah stereotip. Bisa jadi Anda lupa untuk menengok alasan mengapa mereka berbisnis.

Untuk mengubahnya, Anda perlu banyak mengobrol dengan komunitas etnis itu dan memahami mengapa mereka sulit berprofesi lain, misalnya menjadi pegawai negeri, menjadi polisi, menjadi anggota dewan, dan apa lagi menjadi kepala daerah. Dan memahami mengapa etnis lain memilih profesi lain menjadi tentara, guru, pegawai negeri dan sebagainya.

Berbicara tentang persepsi, saya punya suatu pengalaman pribadi yang terjadi saat saya masih sangat kecil. Pada tahun 1976 kota kelahiran saya, Singkawang, masih termasuk terpencil dan kota yang jauh dari sentuhan teknologi. Televisi masih merupakan suatu barang mewah yang wajib dikenakan pajak daerah. Seingat saya hanya beberapa orang teman saya yang di rumahnya punya televisi, itu pun berlayar hitam putih.

Pekerjaan ayah saya sebagai pedagang antar kota membuat beliau sering pergi ke ibukota, Jakarta. Sengaja saya cantumkan kata ibukota untuk menggambarkan Jakarta, karena kosa kata itulah yang sering saya dengar dari guru-guru saya di sekolah saya. Jakarta merupakan kota impian kami saat itu, seingat saya belum pernah ada teman-teman saya yang pernah berlibur ke Jakarta saat itu. Para guru kami pun tidak. Jadi begitu ingin mengatakan Jakarta, kami biasa (atau dibiasakan) menambah embel-embel ibukota!

Ayah saya sering pergi ke Jakarta untuk membeli barang-barang yang tidak ada di kota kami dan dijual di kota kami. Di situ ayah saya melihat perkembangan “ibukota”, dan setelah tabungan kami cukup, ayah saya pulang dengan sebuah televisi hitam putih. Horee….kami jadi punya televisi!

Dua tahun setelah itu ayah saya membeli televisi lagi dari Jakarta, yang ini dengan teknologi lebih canggih! televisi itu bisa diaktifkan dengan remote control. Saat kapal dari Jakarta masuk,ayah saya pergi ke pelabuhan untuk menjemput televisi tersebut untuk diberikan langsung kepada Kakek Nenek saya.

Tidak sabar rasanya menunggu dua hari lagi agar saya bisa ke rumah nenek dan melihat televisi tersebut, karena kami dididik untuk pergi mengunjungi Kakek dan Nenek kami setiap hari Minggu pagi. Nenek saya menyetelkan televisi untuk saya dan katanya televisi itu tidak terlalu bagus, karena sering mati dan hidup mendadak. Padahal itu televisi baru. Pada saat kami sedang menonton mendadak televisi itu mati, tidak lama kemudian nyala lagi. Tidak ada yang menekan tombol on/off! Begitu kejadian ini terjadi beberapa kali selama kami berada di ruangan tamu Nenek. Saya juga tidak tahu apa yang mengakibatkan televisi itu bisa mati dan hidup dengan sendirinya. Pikir saya waktu itu: “Oh, mungkin sedang mati lampu!” Hal itu sesuatu yang lumrah dan terjadi hampir setiap hari karena PLN di tempat kami memang mempunyai daya yang terbatas dan listrik sering Byaar…pet!

Kemudian dari ekor mata saya, saya melihat sepupu saya berdiri di balik gorden dengan tangan mengacungkan sebuah benda hitam. Saya melihat matanya berkilat dan cengengesan! Ternyata dia menekan On/Off dari remote tersebut. Sedang Nenek saya tidak pernah tahu benda tersebut dan fungsinya! Sepupu saya yang badung itu merasa senang bisa membuat Nenek kami bingung!

Nenek yang sudah terbiasa dengan listrik “byaaar….Pet” tersebut menganggap sering hidup dan matinya televisi tersebut adalah disebabkan oleh listrik saat itu. Dan kemungkinan kedua di persepsi Nenek saya adalah televisi yang diberikan oleh ayah saya televisi kualitas jelek!

Andai saja Nenek melihat ke belakang gorden dan menemukan bahwa televisi itu mati dan hidup karena sepupu saya yang badung itu menekan tombol on/off di remote control, Nenek akan tahu bahwa penyebabnya adalah sepupu saya!

Sama dengan kita…tanpa memperluas persepsi seringkali kita merasa sudah tahu jawaban dari suatu masalah karena kita sudah atau pernah mengalaminya. Atau kalau tidak, kita menggunakan pengalaman kita sebagai jawaban untuk kejadian yang kita alami! Dengan memperluas jarak pandang atau melihat dari sisi yang berbeda, persepsi kita akan bertambah luas, pengetahuan juga bertambah! Dengan melihat dari segi yang berbeda kita pasti juga akan dapatkan solusi yang berbeda!

Maka saya pribadi merasa akan lebih bermanfaat bila sejak dini anak telah diajarkan kebiasaan untuk membesar persepsi atau area pandang terhadap suatu hal dan membina mereka untuk lebih mencari kemungkinan bagaimana melihat suatu benda atau persoalan. Ajarkan kebiasaan kepada anak untuk bertanya:

  • Telah sejauh apa saya memandang?
  • Sudah seberapa banyak yang saya lihat?
  • Dengan cara apa lagi saya bisa melihat benda (kejadian) ini?
  • Dari sisi apa saja saya bisa melihat benda (kejadian) ini?

Demikianlah artikel ini saya buat dengan tujuan sedikit berbagi ilmu dan pengalaman pribadi serta tips kepada para guru dan orang tua. Semoga bermanfaat dalam membimbing anak (anak didik) kita menjadi manusia yang mempunyai persepsi luas.

Penulis: Ling Majaya

Email: Majaya@JadiKreatif.com

“Thinking is my lifestyle.”

PS: Penulis dengan senang hati menerima tanggapan, kritik, sanggahan dan masukan dari para pembaca karena dengan demikian terjadi proses belajar tiada henti dalam dunia pendidikan. Tugas mendidik merupakan tugas orang tua, guru, edukator dan masyarakat. Mari bangun Indonesia yang lebih baik melalui peningkatan potensi dan karakter putera-puteri kita.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun