"Enggak, ada apa-apa, Ma? Aku cuma seneng aja. Ternyata dugaanku benar, kalau Mama itu bohong tentang pacar aku." Bella tersenyum, sebentar. Wajahnya berubah dingin menatap ibunya yang duduk di ruang makan. Mata itu seolah minta pengakuan dari wanita di hadapannya.
"Enggak, mama enggak bohong sama kamu. Pacar kamu itu enggak bakal balik lagi, Bel, enggak akan!" Bulir-bulir air jatuh dari bibir mata.
"Udahlah, Ma. Bella punya buktinya, kok," bantahnya. Dia lempar botol ke pangkuan ibunya, "Bella mau ke kamar. Capek ngomong sama Mama!"
Dia tidak peduli panggilan ibunya. Melengos kaya bajaj di jalan raya.
Sarah bungkam, merenungi nasib putrinya, membolak-balikkan botol bening dengan tutup coklat muda di tangannya.
Andai kejadian itu tidak pernah terjadi. Mungkin, Bella takkan mengenalnya, bahkan dia pasti tidak akan kehilangan kebahagiaan seperti saat ini.
****
Tiga hari berlalu. Bella tampak semakin ceria. Mata yang dulu sembab kini tak ada lagi. Tinggallah simpul tersulam di wajah.
Namun, tawa itu menoreh luka di hati Sarah. Mengundang cibiran para tetangga yang begitu menohok.
Sore itu, tepatnya pukul tiga, Bella keluar rumah dengan setangkai mawar merah di tangannya. Berjalan sedikit melompat, layaknya anak kecil menari, menuju danau di perbatasan desa.
"Awas minggir ..., ada orang gila mau lewat ...!" seru bocah laki-laki dari atas pohon jambu air di pinggir jalan.
Seperti bensin menyambar percikan korek api. Tawa pecah dari mulut-mulut anak kecil, tapi tangan mereka tetap lincah memungut jambu di bawah pohon. Hasil petikan temannya.
Jambu-jambu kecil dan merah, satu per satu dimasukkan ke dalam baju. Sampai perut mungil itu terlihat buncit. Sinar matanya memancar, tawa, dan gurau bersahutan.
"Kak Bella gila ..., Kak Bella gila, hahahhah lariii ...!" Lalu mereka berhamburan.
Ada yang sembunyi di balik gapura, terlihat anak balita dengan wajah kebingungan digendong gadis mungil berusia sekitar sembilan tahun, berdiri di balik pagar, dan dua dari mereka tetap diam di sana, menggenggam jambu yang sudah tergigit.
Bella semakin mendekat, senyumnya tetap manis. Baju merah-muda berpadu rok payung sebatas lutut, buat dia terlihat lincah.
Tak ada sedikit pun rasa marah atau malu dengan cibiran itu. Seolah tidak ada suara apapun yang mampir di telinganya. Langkahnya penuh percaya diri melewati tiga anak tadi.
Para orang tua--tetangga--pun saling berbisik, melempar pandang ke arah Bella. Bibir mereka komat-kamit.
Keakraban penduduk desa memang lebih kental dibandingkan kota. Waktu sore selalu mereka gunakan untuk bersantai dengan para tetangga di depan rumah. Menyaksikan anak-anak mereka bermain dan kadang membuat gosip, yang katanya makin digosok makin sip.
"Anak kaya gitu, kok, dibiarin keliaran!"
*****
Mendengar ketukan pintu dari ruang tamu, Sarah segera meletakkan singkong, tanpa mencuci tangan, menyambar serbet sekenanya di atas meja, dia bergegas ke depan untuk membukakan pintu.
"Eh, Nak Pras. Tante udah ngira, kamu pasti datang. Maaf, tante belum cuci tangan," ujar Sarah disertai tawa saat tamu itu mengalaminya, "mari masuk, Nak."
Pras tersenyum kaku.
Ah, tante Sarah tidak pernah berubah. Dari dulu tetap ramah dan menebar tawa.
Dia masuk, duduk di sofa hitam, serasi dengan lemari hias dan pintu-pintu bercat cokelat tua. Sebuah guci selutut orang dewasa lengkap dengan bunga mawar beraneka warna, berdiri di sisi sofa, dekat lemari hias. Perpaduan yang indah.
Wanita paruh baya itu tampak begitu bahagia. Sorot matanya tak lepas dari wajah pria yang sedang mengamati pernak pernik ruangan. Seolah menyampaikan harapan yang selama ini dia inginkan dan menjadi sebuah pinta di tiap sujudnya.
"Tente, Bella mana? Kangen, nih, sama senyum manja dan kejahilan dia," tanya Pras, jarinya menunjuk foto yang tergantung di tembok.
Lamunan Sarah buyar. Mendadak gagu mau menjawab. Berkali-kali dia menelan ludah dan menarik napas panjang.
"Bella .... Kamu jangan kaget, ya, Nak."
Pras mengerutkan dahi. Merangkul pundak wanita paruh baya itu, mengajaknya duduk. Tawa tadi sekejap sirna.