Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Fabel - Persahabatan Akil dan Noya [Bagian 24]

13 Februari 2019   14:51 Diperbarui: 13 Februari 2019   15:17 41 6
Bagian 1 - Bagian 2 - Bagian 3 - Bagian 4 - Bagian 5 - Bagian 6 - Bagian 7 - Bagian 8 - Bagian 9 - Bagian 10 - Bagian 11 - Bagian 12 - Bagian 13 - Bagian 14 - Bagian 15 - Bagian 16 - Bagian 17 - Bagian 18 - Bagian 19 - Bagian 20 - Bagian 21 - Bagian 22 - Bagian 23

"Akil, Akil, Akil! Ibu kangen, Nak!" teriak Ibu Akil sambil berlari menuju Akil.

Sementara Ayah Akil hanya berlari tanpa memanggil Akil. Akil tidak bisa berkata apapun. Air matanya terus mengalir. Demikian juga Ibu Akil, terus menangis sambil berlari menuju Akil.

"Akil, Ibu kangen kamu!" kata Ibu Akil sambil memeluk erat tubuh Akil.

Akil membalas pelukan ibunya dengan air mata yang terus mengalir. Ayah Akil pun demikian, namun tanpa tangisan.

"Akil, kamu baik-baik saja?" tanya Ayah Akil sambil mengangkat tubuh Akil setelah keluarga itu saling berpelukan melepas kangen.

"Aku baik-baik saja, Ayah!" jawab Akil dengan mata sembab.

"Kamu membuat Ayah dan Ibu khawatir, Akil. Ayah dan Ibu mencarimu ke mana-mana. Teman-teman dan tetangga pun demikian," kata Ibu Akil dengan lembut sambil memeluk Akil.

"Ibu kangen ya?" tanya Akil dengan polosnya.

"Tentu kangen, Akil!"

"Kenapa kangen?" tanya Akil kembali.

"Karena Akil anak Ibu," jawab Ibu Akil dengan senyum manisnya.

"Ayah kangen juga?" tanya Akil kemudian kepada Ayahnya.

"Tentu saja kangen. Akil kan anak Ayah. Jagoan Ayah," jawab Ayah Akil sambil menggendong Akil kembali.

Mueza terharu menyaksikan pertemuan Akil dan keluarganya. Sedangkan Mueza sebenarnya sudah kangen orang tuanya, tetapi Pak Elang belum juga datang. Mueza ingin menangis, tetapi ditahan karena malu.

"Ayah, Ibu kemarilah. Ini teman-teman baruku. Mereka korban kebakaran lahan jati. Aku memberikan pertolongan pertama kepada mereka setelah mereka diselamatkan oleh Paman Elang," kata Akil sambil menggandeng tangan Ayah dan Ibunya.

"Benarkah?" tanya Ibu Akil yang merasa bangga dengan Akil.

"Benar, Ibu!"

"Anak Ibu memang hebat!" puji Ibu Akil kepada Akil, namun sebenarnya Ibu Akil masih penasaran dengan Paman Elang yang dimaksud Akil.

"Selamat datang, Bibi. Aku Mueza, teman baru Akil," kata Mueza memperkenalkan diri.

"Aku Kino. Dan ini saudara kembarku Keno," kata salah satu anak kambing tersebut yang ikut memperkenalkan diri.

"Tadi kita sudah mengobrol ya Bibi Kelinci, tetapi belum sempat memperkenalkan diri," sahut anak kambing yang satunya lagi.

"Iya Kino, Keno! Terimakasih ya, karena kalian aku bisa bertemu dengan Akil," kata Ibu Akil dengan lembut sambil memegang tangan Kino dan Keno.

"Paman juga sangat berterima kasih kepada kalian," kata Ayah Akil kemudian.

"Akil, kita impas ya! Kemarin kamu sudah menolongku. Hari ini aku sudah menolong orang tuamu untuk menemukanmu," kata Keno yang merasa hutang Budi kepada Akil.

"Terima kasih, Keno. Tetapi kata Ibu, kalau berbuat baik itu jangan pernah diungkit," jawab Akil dengan polosnya.

"Kamu menganggap aku berhutang budi kepadamu tidak, Akil?" tanya Kino dengan polos.

"Tidak! Aku ikhlas melakukan itu. Karena Ibuku yang mengajariku ikhlas."

Ayah dan ibu Akil hanya tersenyum menyaksikan obrolan mereka, anak kecil yang masih polos.

"Tapi kenapa Ibumu tidak mengajarimu untuk menghafal alamat rumahmu, Akil?" lanjut Keno dengan rasa penasaran.

"Aku tidak tahu. Ibu, kenapa tidak memberitahu alamat kita?" Akil pun balik bertanya kepada ibunya.

Ibu Akil nampak bingung. Dan sadar akan kesalahan yang selama ini tidak mengajari Akil menghafal alamat tinggalnya.

"Maafkan Ibu, Akil! Ibu lupa, lain kali Ibu akan selalu mengajarimu menghafal alamat tinggal kita," jawab Ibu Akil kemudian.

"Baik, Ibu."

Mereka lalu makan bersama, sekedar menghilangkan sedikit rasa lapar dan haus. Sambil menunggu Pak Elang datang, Akil pun bercerita bagaimana selama ini Akil menjalani hari-harinya. Akil menceritakan keluarga Noya yang telah menolongnya. Dan juga cerita tentang Pak Elang yang selama ini selalu terbang untuk mencari orang tuanya. Bahkan menggendong Akil untuk mencari rumah tinggalnya sendiri.

"Maafkan Ibu, Akil. Ibu tidak memberitahu alamat tinggal kita. Sehingga kamu dan yang menolongmu kesusahan mencari. Tapi jangan membenci hal ini, karena ini akan menjadi kenangan dan pengalaman hidupmu," kata Ibu Akil yang merasa bersalah kepada Akil.

"Tidak mengapa, Ibu. Aku jadi ketemu Noya. Aku kangen Noya. Nanti Noya kita bawa pulang saja, Ibu!" kata Akil dengan polosnya.

Ayah dan Ibu Akil hanya tertawa kecil mendengarnya. Mereka menganggap hal tersebut adalah gurauan. Tetapi bagi Akil, itu hal yang sebenarnya diinginkannya.

Tiba-tiba Mueza menangis keras, tanpa ada sebab. Ibu Akil mendekatinya. Sedangkan Akil masih manja dalam pangkuan Ayah Akil.

"Mueza, kamu kenapa?" tanya Ibu Akil dengan lembut.

"Aku kangen Ayah dan Ibu. Mereka pasti juga sedang kebingungan mencariku. Paman Elang juga sangat lama. Paman Elang janji mau mengantarkan aku pulang. Tapi kenapa Paman Elang belum datang," jawab Mueza sambil menangis.

"Paman Elang sebentar lagi datang kok!" kata Akil kemudian.

"Kamu tahu di mana kamu tinggal?" tanya Ibu Akil.

"Tahu, Bibi. Tapi lumayan jauh dari sini," jawab Mueza masih dengan tangisnya.

"Aku juga kangen Ayah dan Ibu," sahut Kino dan Keno bergantian sambil menangis.

Ibu Akil lalu mencoba menenangkan Mueza, Kino dan Keno yang menangis bersama. Sedangkan Akil tidak mau turun dari pangkuan Ayahnya. Sehingga Ayah Akil tidak bisa membantu menenangkan ketiga anak tersebut.

"Percayalah, Paman Elang akan segera datang mengantarkan kalian pulang. Ayo kita berteduh di sana. Matahari mulai panas. Sinar ultraviolet itu tidak bagus untuk kulit kita! Ayo anak-anak pintar! Sambil menunggu Paman Elang, kita menyanyi bersama ya," bujuk Ibu Akil.

"Ayo kita menyanyi. Ibuku pandai menyanyi loh, ayo kalian. Aku juga kangen bernyanyi bersama Ibu!" ajak Akil yang kemudian diikuti oleh Mueza, Kino dan Keno.



Bersambung... 



Ditulis oleh Lina WH

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun