Di rumah, Noya tampak sedih memandangi pintu. Berharap ada yang mengetuk pintu, dan setelah dibuka ternyata Akil.
"Noya, tidur. Hari sudah malam," kata ibu Noya saat melihat Noya masih begadang di ruang tamu.
"Aku mau menunggu Akil, Ibu!"
"Akil tidak mungkin datang malam-malam begini. Paman Elang akan kesusahan jika terbang di malam hari. Begitu pula dengan Akil, angin malam itu sangat dingin," kata ayah Noya yang berusaha memberi penjelasan kepada Noya.
"Akil di mana sekarang, Ibu?" tanya Noya kemudian.
"Mungkin di sana sedang hujan. Sehingga Paman Elang tidak bisa melanjutkan perjalanan pulang," jawab ayah Noya yang hanya menebak-nebak saja.
"Lalu Akil tidur di mana?" tanya Noya kembali.
"Saudara atau kerabat Paman Elang sangat banyak. Mungkin Paman Elang dan Akil menginap di salah satu rumah kerabatnya," jawab ibi Noya yang berusaha membuat Noya lebih tenang.
"Tapi itu cuma mungkin. Aku belum mau tidur jika Akil belum datang," rengek Noya dengan tangisnya.
"Ya sudah! Kamu boleh tidur di ruang tamu. Ambil bantal dan selimutmu. Jika ada yang mengetuk pintu, panggil ayah atau ibu supaya membukakan kunci pintu," kata ayah Noya yang mengizinkan Noya untuk tetap tidur di ruang tamu.
Sementara keluarga Akil yang mengetahui jika ada kebakaran di lahan jati, merasa cemas akan keadaan Akil yang belum diketahui hingga saat ini.
"Ayah, bagaimana Akil sekarang ya? Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia bertemu dengan keluarga baik? Bagaimana dia makan? Bagaimana dia tidur dan berteduh dari panas dan hujan?" kata ibu Akil dengan menangis sedih.
"Akil pasti baik-baik saja. Kita berdoa yang terbaik untuk Akil. Berfikir positif untuk Akil dan tetap berusaha mencari Akil. Percayalah, usaha akan membuahkan hasil," kata ayah Akil yang berusaha menenangkan ibu Akil.
Malam ini semua merasa cemas. Dan Akil pun merasa bersalah atas kebohongannya.
"Andai aku jujur saat pertama kali melihat ayah dan ibu waktu itu," kata Akil dengan pelan dan penuh penyesalan.
Mueza dan kedua anak kambing tersebut akan membuat api unggun. Dan mereka telah berhasil mengumpulkan kayu bakar yang cukup.
"Hey, kalian mau apa?" tanya Akil ketika melihat Mueza dan kedua anak kambing tersebut sedang merapikan kayu bakar yang diperolehnya.
"Membuat api unggun. Supaya terang dan lebih hangat," jawab salah satu anak kambing tersebut.
"Jangan!" larang Akil dengan suara keras.
"Kenapa tidak boleh, Akil?" tanya Mueza dengan penasaran.
"Aku takut jika terjadi kebakaran. Ini musim kemarau. Banyak ranting kecil kering dan daun daun kering di sekitar sini," kata Akil yang takut jika sampai terjadi kebakaran.
"Aku akan menjaganya," kata Mueza.
"Tapi aku tetap takut!" kata Akil dengan suara yang lebih keras.
"Akil, jangan penakut gitu!" sahut salah satu anak kambing.
"Iya, penakut amat sih!" timpal anak kambing yang satunya lagi.
Mueza hanya diam, tidak membela Akil yang nampak kesal dan juga tidak membela dua anak kambing usianya nampak lebih muda dari Mueza dan Akil.
"Letakkan, Mueza. Tinggalkan kayu-kayu itu. Di langit rembulan bersinar terang. Dan itu sudah cukup menerangi kita!" lanjut Akil dengan suara yang tetap keras.
Mueza lalu meletakkan dan meninggalkan kayu-kayu yang sempat dikumpulkannya tadi. Namun, tetap diam dan tidak berani berkata apapun.
"Akil penakut! Akil bukan anak pemberani!" kata dua anak kambing tersebut yang saling bersahutan.
Mueza menoleh ke arah burung merpati putih. Berharap lekas bangun dan bisa meredakan perdebatan. Sedangkan Akil dan dua anak kambing tersebut tetap beradu mulut, membenarkan pendapat masing-masing.
Mueza yang ketakutan lalu membangunkan burung merpati putih, dan berharap merpati putih bisa melerai Akil dan dua anak kambing.
"Bibi, Bibi Merpati. Tolong bangun. Akil sedang beratem. Ayo Bibi!" kata Mueza pelan sambil menarik-narik kaki burung merpati putih yang baru saja memejamkan mata.
"Ada apa, Mueza?"
"Akil dan dua anak kambing berantem. Lihatlah, Bibi!"
"Akil, ada apa?" tanya merpati putih sambil mendekati Akil.
"Bibi, mereka hendak membuat api unggun. Tetapi aku tidak setuju. Aku takut jika nanti terjadi kebakaran. Dan di langit rembulan juga bersinar terang," kata Akil mencoba menjelaskan kepada merpati putih.
"Anak-anak, kita tidak perlu menyalakan api unggun ya! Itu sangat berbahaya karena banyak benda yang mudah terbakar hari ini. Dan lihatlah! Benar kata Akil, jika malam ini rembulan bersinar terang," kata merpati putih sambil menggandeng kedua anak kambing untuk berkumpul kembali di bawah pohon randu.
Kemudian Akil mengikuti dari belakang, dengan muka yang murung dan nampak tidak semangat. Mueza pun menyodorkan air minum kepada Akil, dan Akil pun menerimanya dengan santun.
Beberapa menit setelah mereka berkumpul di bawah pohon randu, Pak Elang datang dengan muka yang nampak lelah.
Akil lalu menyambutnya dengan senyum sumringah. Kemudian menyuguhkan makanan dan minuman yang telah disiapkan dari tadi.
"Paman Elang, silahkan makan dan minum. Kami sudah makan tadi. Maaf ya Paman, kami mendahului Paman," kata Akil dengan santun.
"Terimakasih,Akil. Kamu memang anak yang baik," jawab Pak Elang yang langsung memakan suguhan yang telah disuguhkan oleh Akil.
Bersambung...
Ditulis oleh Lina WH