Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Mencintamu adalah Hal yang Terindah

8 Desember 2018   06:59 Diperbarui: 14 Agustus 2020   23:28 234 3
Ketika aku membereskan tas ransel besar milik suamiku yang berisi pakaian kerja yang tentunya sudah kotor karena sejak seminggu lalu harus menjalankan tugas jaga di kediaman komandan. Tak sengaja aku menemukan  sebuah buku kecil yang nampaknya sudah tidak lagi baru. Lalu, aku pun membuka tanpa ragu. Aku melihat, ada namaku yang diukir di halaman depan buku mungil itu. Aku semakin penasaran, dan lembar demi lembar aku baca.

ISTRIKU...
Jika nanti rasa cintamu telah bersemi untukku
maka, ambillah sebagian jiwaku untukmu
dan sebagian lagi untuk Khalik ku...

Sudah hampir tiga bulan aku menikahimu
Namun, aku tak merasakan cintamu
Aku mencintaimu lebih dari mencintai diriku sendiri
Aku mencintaimu lebih dari ketika pertama kali aku melihatmu, lalu aku melamarmu

Apakah karena cintamu belum bersemi?
Ataukah cintamu tak akan pernah bersemi untukku?

Hidup bersamamu adalah impianku
Menjadi imammu adalah tujuanku
Hingga aku berani mendatangi orang tuamu lalu langsung melamarmu

Apakah aku salah, yang langsung menikahimu tanpa memberimu kesempatan untuk menjajaki aku terlebih dahulu?

Aku terluka jika sampai melihat air matamu
Aku selalu berdoa untuk kebahagiaan dan kedamaian hati untukmu

Maaf, jika aku belum bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku
Tapi, aku akan tetap berusaha menjadi imammu dan
Aku akan tetap menjagamu dan menjadikanmu pendamping hidupku...



Ya Allah, aku merasa haru. Aku menikah bukan karena paksaan. Dan aku menerima lamarannya sebelum dia datang kepada orang tuaku. Aku tidak pernah berpacaran. Tidak pernah berduaan sebelum menikah. Tapi bukan berarti aku tidak mencintai suamiku. Aku hanya masih merasa asing. Tidak pernah berpacaran ataupun mengenal sebelumnya. Dan setelah menikah pun aku sudah ditinggal demi tugasnya.

Aku merasa seperti wanita lajang. Yang tinggal sendirian dan tetap bekerja ketika suami meninggalkan aku demi tugas. Kadang seminggu atau dua minggu, baru ketemu kembali. Aku tahu bagaimana pekerjaan suamiku. Aku paham dan aku harus ikhlas menerimanya. Tapi kenapa aku belum bisa bebas lepas dan terbuka kepada suamiku? Padahal, suamiku sudah menyerahkan segalanya untukku. Gaji sepenuhnya untukku dan tidak ada yang dirahasiakan dariku.

Lalu, aku buka lagi buku kecil itu. Tidak ada tulisan apapun lagi. Hanya dua lembar saja yang terisi goresan tinta. Namun, dua lembar tersebut sudah sangat membuatku terharu, dan merenung dosaku.

Kemudian, aku ambil semua baju kerjanya yang telah kotor tersebut untuk aku rendam terlebih dahulu sebelum aku cuci. Dan nampaknya suamiku memperhatikan aku. Aku tahu, tetapi aku pura-pura tidak tahu.

"Bunda, kenapa direndam di ember? Tidak dicuci di mesin cuci saja?" tanya suamiku dengan suara khasnya, berat tetapi lembut.

"Tidak! Nanti cepat rusak dan warnanya juga akan pudar. Aku cuci tangan saja," kataku dengan cepat.

"Tidak capek memang?"

"Tidak."

"Lalu, apa gunanya mesin cuci?" tanya suamiku kemudian.

"Untuk mencuci yang besar seperti sprei atau pakaian harian saja. Aku mau manjain pakaian kerja, supaya awet dan warna gak pudar," jawabku sambil melempar senyum.

"Baiklah! Biar nanti aku bantu."

"Tidak perlu, Ayah. Ini tugasku."

"Tapi ini kewajibanku yang tidak boleh memberatkanmu."

"Aku tidak merasa keberatan."

Lalu, aku pun meninggalkan ember besar yang aku gunakan untuk merendam pakaian suamiku. Kemudian, mengajaknya ke ruang makan. Mengambilkannya makan dan juga menyiapkan air putih.

Aku melihat tatapan mata yang teduh darinya. Sungguh, aku telah telah jatuh cinta kepadanya. Tapi aku masih merasa keki. Suamiku orang yang masih asing bagiku, walaupun dia telah sah memilikiku seutuhnya.

Aku sangat kagum kepada suamiku yang selalu mengucapkan terimakasih setelah aku selesai mengerjakan sesuatu untuknya.

"Bunda, bulan depan Ayah pindah tugas di Ibu Kota. Tapi, tugas tetaplah tugas. Jika tidak bisa pulang setiap hari seperti profesi lainnya, maafkan Ayah ya! Karena itu sudah komitmen Ayah. Tetapi kita harus bersyukur karena bisa sering bertemu dan mungkin tidak akan lama untuk sering meninggalkanmu."

"Ayah, aku tahu, aku paham dan aku mengerti. Karena itu juga pilihanku. Jika aku tidak mau, sudah dari dulu aku menolak lamaranmu karena profesimu," jawabku dengan senyum.

"Kamu tidak keberatan?"

"Tentu tidak!"

Lalu aku pun mengambilkan air minum untuk suamiku. Aku tidak tahu apakah suamiku benar-benar haus atau hanya sekedar untuk menghargaiku saja. Ah, biarlah. Yang penting suamiku adalah segalanya untukku. Karena aku sudah bisa mencintainya dengan segenap rasaku. Sungguh, suamiku adalah orang yang paling tanggungjawab dan mencintaiku seutuhnya. Aku tidak salah jika kini aku benar-benar jatuh cinta kepada suamiku.

Lalu, suamiku memelukku dari belakang ketika aku sedang duduk santai di meja makan itu. Getaran cinta, sangat terasa mengalir.

"Bunda, ini adalah hitam putihnya pernikahan. Tak cukup dua warna jika tidak mau dibilang buta warna. Kita perlu perbanyak warna supaya semua terasa indah," kata suamiku yang masih tetap memeluk tubuhku.


SELESAI...


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun