Judul Buku: Excuse-Moi. Penulis: Margareta Astaman. Penerbit: Kompas. Tebal: 138hlm. Harga: Rp. 35.000,-. ISBN: 978-979-709-545-1. Cetakan: pertama, Januari 2011
Bagaimana rasanya menjadi minoritas di tengah mayoritas? Bagaimana pula menghadapi aral melintang dalam kehidupan minoritas yang serba diper’kecil’? Nah Margarita Astaman berbagi pengalamannya dalam buku ini.
Suku-agama-ras dan antar golongan merupakan bahan obrolan tabu dan sensitif. Diperlukan tekad matang untuk bahkan hanya bercerita mengenai hal-hal tersebut. Namun dengan penuh kesadaran dan tak kalah penting-keberanian, Margarita Astaman atau yang kerap disapa Margie bercerita dengan piawai kehidupannya sebagai keturunan Tionghoa di Jakarta dan Singapura tempatnya berkuliah.
Buku ke-4 karangan wanita muda berdarah Cina-Betawi-Jawa dapat disimpulkan sebuah curahan hati seorang minoritas. Ia bercerita tentang asal muasalnya dan bagaimana menjadi keturunan Tionghoa di Indonesia dan dampaknya saat bersekolah di Singapura. Kumpulan tulisan pengarang muda lulusan Jurnalisme Nanyang Technological University Singapura ini menyeruakkan persoalan-persoalan yang mungkin tak pernah hinggap dalam pikiran sebagian masyarakat.
Kisah-kisah di dalam buku ini berawal dari kebingungannya menjadi ras yang ‘berbeda’ sehingga mendapatkan berbagai perlakuan diskriminatif di beberapa tempat. Dapat kita simak misalnya dalam judul ‘Mereka Bilang Saya Cina (Emang!)’, Margie bertutur tentang kisah tragis yang hanya terjadi pada keluarga Cina saat tragedy ’98 pecah. Bingung adalah hal paling awal yang dialami Margie karena jelas-jelas ia Indonesia namun terpinggirkan. Diskriminasi ini selain menimbulkan kebingungan juga mencuatkan sifat kritisnya. Ia mulai mempertanyakan segala sesuatunya, mulai dari stereotype berakar tentang ras, yang kini sudah menjadi fenomena gunung es – tidak tampak namun kapan saja bisa pecah membawa bergulung-gulung arus deras di dalamnya.
Pengalaman Margie seputar diskriminasi terangkum apik dalam buku yang terbit Januari lalu dan memberikan banyak pemikiran baru bagi pembacanya. Yang paling miris dan membuat kita berdecak prihatin dapat disimak dalam tulisannya bertajuk ‘Diskriminasi Mimpi’. Mimpi seorang anak kecil ber-etnis minoritas pun ternyata sangat terbatas. Ini juga yang akhirnya membuat keturunan Tionghoa di Indonesia terbatas lahan kerja dan cita-cita karena sejak awal sudah dibatasi bahkan dalam bermimpi. Juga Margie menjabarkan keadaan pernikahan tidak bahagia bila pasangan berasal dari ras yang berbeda/multirasial. Keadaan seperti itu dapat kita baca dalam ‘Nikah Duka’ dan ‘Durhaka Anonymous’ yang berkisah tentang hubungan backstreet beda ras.
Buku setebal 138 halaman ini bisa dikata sebuah buku yang berani dan sangat kritis bersuara tentang hal tabu dan takut dikuak dalam kehidupan masyarakat. Gaya bertuturnya yang khas dan ringan menjadi nilai utama buku terbitan Kompas ini, selain tentu kemampuan menulisnya yang patut diacungi jempol. Buku besampul cerah ini sangat cocok untuk generasi muda apalagi dalam memunculkan sifat kritis serta kesadaran sosial mereka yang belakangan seakan tak ada.