Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Artikel Utama

Cara Orang Desa Mengatasi Teror Kompor Gas

8 Juli 2010   13:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:00 517 0
[caption id="attachment_188784" align="alignleft" width="300" caption="Tipikal sopo (rumah kecil) di perladangan di wilayah Simalungun. Sopo yang ada di sini terletak di Simarbangsi tak jauh dari Danau Toba - yang nampak di kejauhan adalah perkampungan penduduk di bawah Gunung Simarjarunjung sebelah timur danau. (Foto oleh: LTS) "][/caption] Masih dalam perjalanan ke ladang kami di Sipiu-piu, tak jauh dari Danau Toba di wilayah Simalungun, adek saya memberitahukan bahwa tetangga kami di ladang masak pakai kompor gas bertabung 3kg. Ah yang benarlah kau? Di ladang pakai kompor gas segala? Begitu tanya saya bercampur kaget kepada adek saya. Waktu itu berita meledaknya kompor gas di berbagai tempat di Indonesia masih belum sebanyak seperti belakangan ini, masih satu-dua kasus yang masyakarat di desa saya bisa ketahui lewat televisi. Sebagian penduduk di desa saya memperoleh kompor gas bersama tabungnya dengan membayar sekitar seraturan ribu rupiah. Murah meriah kan. Orang miskin pun tahu kalau harga seratusan ribu itu termasuk murah. Meladangkan Kompor Gas Bertabung 3KG Mereka yang menerima kompor dan tabung gas subsidi pemerintah di kampung saya memilih berkompor gas di ladang mereka ketimbang di rumah. Di ladang, biasanya masing-masing anggota masyarakat di sana mempunyai apa yang biasa kami sebut sopo, sejenis rumah kecil tempat berlindung saat hujan, terik atau bahkan sebagian, pada masa-masa panen, menginap di sopo. Kami biasa memasak makan siang kami di sopo, perlengkapan memasak tersedia di sana. Jadi fungsinya hampir sama dengan rumah. Sekitar sopo biasanya lempang, jadi kalau kompor gas bertabung 3kg itu meledak, resikonya jauh lebih kecil daripada kalau meledak di rumah yang sebagian berbatasan langsung dengan tetangga. Harta benda di ladang di dalam sopo juga relatif sederhana saja, terdiri dari perlengkapan memasak di siang hari dan peralatan-peralatan bekerja serta hasil panen kalau kebetulan sudah panen. Kalau kompor meledak di rumah, banyak harta berharga bagi yang empunya. Di rumah, para pemilik kompor yang meladangkan kompir gas bertabung 3kg itu tetap memilih mempergunakan kayu bakar untuk memasak. Masih untung sebab penduduk desa masih relatif mudah memperoleh kayu bakar untuk memasak dari sekitar mereka. Sebagian ada yang masih mempergunakan kompor minyak tanah walau harga minyak tanah di sana sudah Rp.10.000 per liter, itupun jarang ada. Percaya atau tidak, rasa nasi dan masakan lainnya yang dimasak di atas kayu bakar jauh lebih enak daripada masakan yang dimasak di atas kompor minyak tanah atau kompor gas. Belakangan, akibat isu global warming dan perambahan hutan yang tiada henti, memasak mempergunakan kayu bakar seolah-olah adalah dosa, hehe. Padahal, masyarakat desa sejak dahulu kala sudah memasak mempergunakan kayu bakar. Di kampung saya, orang biasanya mengambil kayu-kayu yang sudah kering untuk memasak, tidak merambah hutan sama sekali. Wong yang diperlukan juga per rumah tangga nggak banyak-banyak amat. Yang merambah hutan itu kan para pemilik perkebunan seperti kelapa sawit ratusan bahkan ribuan ha itu. Kalau warga masyarakat pada umumnya di desa-desa, ambil seperlunya saja dari sekitar mereka. Sudah ribuan tahun begitu dan cukup. Menjadi tidak cukup lagi hutan dan lahan hijau untuk kepentingan bersama karena kerakusan sebagian kecil yang menerabasi hutan alam begitu saja demi keuntungan material semata. Pemerintah boleh menjelaskan alasan-alasan yang masuk akal mengapa gas terutama gas bertabung 3kg meledak di beberapa tempat di negeri ini. Semua alasan pemerintah bisa saja masuk akal tetapi masuk akalnya ini hanyalah terutama untuk pemerintah bukan untuk masyarakat. Apa yang benar pun dari perkataan pemerintah sudah menjadi keraguan bagi masyarakat. Masyarakat di desa saya masih punya pilihan karena mereka warga desa yang masih bisa memperoleh kayu bakar di sekitar mereka untuk memasak dan meladangkan kompor gas bertabung 3kg itu di ladang. Tak semua penerima subsidi kompor gas dan tabung 3kg punya pilihan macam itu. Di Pematang Siantar, ibukota kabupaten, sekali atau dua kali dalam seminggu masih ada antrian membeli minyak tanah, per liter Rp. 5.000. Lucunya, di dekat Pajak Horas di kota ini, setiap hari ada yang menjual minyak tanah dengan harga Rp.7.000. Siapa ini dan bagaimana bisa begini, belum ngertilah. Di warung-warung, harga minyak tanah menjadi Rp. 10.000 bahkan lebih. Masyarakat tetap beli walau mahal karena masih ada. Kalau tidak ada, mereka akan cari kayu bakar walau harganya lebih mahal dari minyak tanah. Beberapa ibu-ibu dengan siapa saya mengobrol saat antri minyak tanah bilang bahwa lebih baik mereka beli minyak tanah walau sangat mahal daripada jantung mereka berdebar-debar mempergunakan kompor gas apalagi yang bertabung 3kg itu. Walau ada penjelasan bahwa kompor gas itu aman kalau cara memakainya benar dan barangnya bagus, mereka sulit percaya. Masyarakat lama kelamaan akan beralih mempergunakan kompor gas apalagi yang bertabung 3kg itu kalau dalam satu atau dua tahun ke depan, tak ada lagi kejadian orang meninggal karena ledakan kompor gas. Kalau pemerintah nekad menghentikan penjualan minyak tanah, saya kira yang akan muncul adalah penjualan kayu bakar. Harga jantung berdebar-debar itu mahal; orang lebih rela mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar untuk beli minyak tanah dan kayu bakar daripada memasak dibayang-bayangi teror ledakan yang mematikan.***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun