Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Jakarta Tak Layak (Lagi) Jadi Ibukota

4 Juli 2010   05:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:06 357 0
[caption id="attachment_185789" align="alignleft" width="160" caption="(Jakarta yang macet! Sumber: www.detiknews.com/read/2009/11/1)"][/caption] Dalam lima tahun terakhir, hanya sekali saya ke Jakarta, dua bulan yang lalu. Waktu di Jogja, seringlah saya ke Jakarta, biasanya naik kereta api. Kalau tak penting kali, ah, kalau bisa, tak usahlah saya ke Jakarta. Uh, macetnya itu lo! Berada di jalan raya dalam waktu lama karena macet benar-benar tak menyenangkan. Salutlah saya untuk puluhan juta penduduk Jakarta terutama mereka yang setiap hari harus menjadi bagian dari kemacetan atau yang menjadi korban kemacetan --- dua-duanya saya kira toh tak terpisahkan. Syukurlah ada gerakan baru, bike to work, walau jumlahnya masih sangat sedikit dibanding dengan puluhan juta penduduk Jakarta. Waktu saya ke Jakarta dua bulan yang lalu, saya tiba di bandara sore hari. Saya memilih duduk-duduk di bandara saja hingga pukul 22:00 malam. Saya mau masuk ke kota ketika keadaan tak semacet siang atau sore hari. Dalam perkiraan saya, pukul 10:00 malam taklah semacet siang atau sore di mana penduduk ibu tiri, eh, ibu kota ini sedang dalam perjalanan pulang ke rumah masing-masing. Untunglah pula di zaman sekarang kita bisa bekerja hampir di mana saja sepanjang ada jaringan internet yang bisa sambung ke laptop. Jadi sedikit melegakan; di bandara mudah menemukan area yang ada wifi-nya. Timbul tenggelam, sudah ada perbincangan bahwa Jakarta tak layak menjadi ibukota di mana terdapat pusat pemerintahan dan bisnis sekaligus. Terlalu berat bagi Jakarta yang kalau terus dibiarkan, bisa tenggelam dan ambruk karena daya tahannya yang semakin lemah. Jumlah penduduk terus bertambah dan usaha-usaha untuk memperbaiki kualitas hidup sama sekali tak seimbang dengan tantangan-tantangan yang ada. Pusat bisnis atau pemerintahan, salah satulah, mestinya berada di luar Jakarta. Indonesia ini besar. Jadi mengapa memusatkan keduanya di Jakarta saja? Lebih dari 80% perputaran uang di negara ini juga terpusat di Jakarta saja.  Ini dia salah satu biang keladi ketimpangan pembangunan di negara ini yang mengakibatkan luar Jakarta, Papua dan Sumatera serta Kalimantan dan Sulawesi terutama daerah-daerah yang masih terpencil bahkan belum bisa memiliki sarana jalan raya yang memadai. Jalan-jalan raya, kalaupun ada masih berlubang-lubang. Contoh yang ada di depan saya adalah jalan raya dari Pematang Siantar ke Pematang Raya yang adalah ibukota kabupaten. Jalan raya ini merupakan jalan-provinsi tapi sebagian ruasnya seperti kubangan kerbau. Padahal, saudara-i sebangsa dan setanah air sekalian, di Kabupaten Simalungun terdapat perkebunan yang merupakan salah satu pemberi masukan paling besar ke pusat, ke Jakarta. Wilayah ini terkenal dengan perkebunan-perkebunannya yang subur yang sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda dulu. Faktanya, bahkan jalan-provinsinya masih seperti kubangan kerbau. Apa-apaan ini? Jakarta hanya mau uang dari Kabupaten Simalungun saja? Pram bilang, salah satu yang paling merusak di Indonesia ini adalah kuatnya mental feodalisme yang saya perhatikan masih terus berlangsung sampai sekarang. Para pegawai pemerintah bahkan pemerintah lokal masih inggeh-inggih saja sama pemerintah di Jakarta, yang konon bernama pemerintah pusat itu. Dalam bahasa Pram, feodalisme ini dia sebut juga sebagai Jawanisme yang kultur feodalnya dulu konon termasuk kental. Benar tidak ya? Mari bertanya sama Pramoedya, hehe. "Iyam bagaimanalah, semua tergantung pada pemerintah pusat", begitu kata seorang pegawai pemerintah di Kab. Simalungun waktu kami bicara soal jalan-raya di kabupaten ini yang bak kubangan kerbau itu. Mental kawan ini, pikir saya dalam hati. Semua berjubel dan bertumpuk ke Jakarta; model yang sama terjadi di beberapa ibukota provinsi. Tak heran pedesaan-pedesaan kita masih terlalu banyak yang tertinggal dan terisolasi. Mental generasi muda juga adalah mental urban yang instan. Generasi muda malu tinggal di desa karena dianggap ndeso. Istilah ini saja yang umum dipakai di Jawa sudah tak ramah. Kalau kita di Jawa dan dengar kata ndeso, aduh, betapa tak menyenangkan. Padahal, ayam-kampung jauh lebih sehat dan enak daripada ayam-negeri, alias ayam dodong/oto. Bagaimana pun keadaan di Jakarta, ditahan-tahankanlah. Yang penting bisa hidup sekalipun dalam kepalsuan? Hehe...!***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun