[caption id="attachment_172207" align="alignleft" width="300" caption="Pemandangan ke arah Danau Toba dari Simarjarunjung, Urung Panei. (Doc. pribadi) "][/caption] Baiklah, ayo ke kampung saya, begitu saya bilang pada seorang teman yang kebetulan sudah puluhan tahun tinggal di Inggris. Setuju. Lalu bertiga, kami pun berangkat ke Simarbangsi, ke perladangan penduduk di kampung saya. Perladangan berlembah-lembah dan berbukit-bukit, tanahnya relatif gersang. Kalau musim kemarau, uuh, susah, tanah langsung kering kerontang kecuali dekat sedikit lembah yang berawa-rawa yang dulu, dulu-kali, menjadi sawah. Di sedikit lembah itu, kalau jalan di pea-pea, kami bilang pea-pea untuk lembah berawa-rawa, harus hati-hati biar nggak lusut. Lusut artinya apa ya? Susah kali pun menemukan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia untuk lusut. Pokoknya ginilah: lusut itu berarti kalau kita berjalan di atas tanah berawa-rawa terus kita kecebur dalam lumpur sampai pinggang. Saya lihat kerbau kami di pea-pea itu. Ampun, kasihan amat. Kerbau kan berat. Dia jalan pas di bagian yang lembek. Nah, susah kali kerbau itu berjalan karena semua bagian kaki sampai ke perutnya masuk dalam lumpur. [caption id="attachment_172208" align="alignright" width="300" caption="Pamandangan ke arah Danau Toba dari Sipiu-piu, dekat Simarbangsi. (Doc. pribadi)"][/caption] Tak jauh dari perladangan kami dekat pea-pea yang sedikit itu di mana terdapat mata air yang syukurlah masih berjalan sampai sekarang walau pohon-pohon pinus di atasnya sudah habis, terdapat pemandangan ke arah Danau Toba yang amat indah. Amat indah. Saya saja, walau sudah berkali-kali pergi ke tempat itu, nggak habis-habisnya mengagumi betapa indah tempat itu; betapa menyenangkan dan mengagumkan memandang ke bawah sana, ke arah Danau Toba. Pusuk Buhit di kejauhan nampak dengan jelas demikian juga Pulau Samosir, pulau di mana saya melewatkan masa kanak-kanak saya, antara lain menjadi gembala kerbau pulang sekolah. "What a waste!" kata teman saya mengomentari betapa sia-sia pemandangan yang sangat indah dari Sipiu-piu. Sipiu-piu itu adalah nama perladangan, bertetangga dengan Simarbangsi, ladang kami di Kec. Purba, Simalungun. Saya dengar dari Botou saya (sapaan untuk saudara laki-laki dalam masyarakat Simalungun), camat kami di Kec. Purba sedang memulai membangun jalan raya dari perkampungan di tepi Danau Toba di bawah sana naik ke Sipiu-piu lalu ke Simarbangsi terus tembus ke jalan besar beraspal hitam yang juga merupakan rute pariwisata dari Brastagi (Tanah Karo) menuju Parapat (Danau Toba) melalui kampung saya Urung Panei. Wah, itu kabar baik. Kalau bisa naik mobil dari Sipiu-piu ke Tepi Danau Toba ke bawah sana dengan jalan melenggak-lenggok di tepi bukit yang curam itu, alangkah menyenangkan. Nggak usah dulu mobil, naik sepeda motor saja sudah oke banget. Kalau bisa naik sepeda motor, berarti saya sudah bisa bawa sepeda angin (alias lereng) saya ke tepi Danau Toba dari ladang kami Simarbangsi. Betapa menyenangkan naik sepeda di rute itu. Ke Danau Toba dari ladang kami. [caption id="attachment_172209" align="alignleft" width="300" caption="Perkampungan di tepi Danau Toba dekat Sipiu-piu, tak jauh dari perladangan kami di Simarbangsi. (Doc. pribadi)"][/caption] Kampung adalah surga, paradise? Hehe! Di Medan tiga hari saja sudah lemas saya karena harus menghirup polusi udara yang uuuh, benar-benar tidak menyenangkan. Belum lagi panasnya pun minta ampun. Kendaraan padat, kota menjadi hutan gedung. Polusi suara juga cukup tinggi di perkotaan. Jangan-jangan, hihi, segala macam polusi termasuk polusi suara telah turut membuat orang-orang kota justru kurang beradab? Kebas nurani gitu? Hehe, bercande...! ***
KEMBALI KE ARTIKEL