Petani Kopi [caption id="attachment_77066" align="alignleft" width="300" caption="Mangiring Sihaloho sedang memetik kopi; Paulina Sihaloho sedang bergaya dengan tudung-kepalanya. (Foto oleh: LTS)"][/caption] "Wah Ring, panjang umur dong orang kalau metik kopi kayak gini", kata saya pada adek saya yang paling kecil di Simarbangsi, ladang pertanian kami, dalam bahasa Simalungun. "Sudah jelas dong!" jawab adek saya dalam bahasa Simalungun. Tanpa saya sadari, saya kira pertanyaan saya macam itu pada adek saya ini tak lepas dari pengalaman sebelumnya. Saya sempat kecewa pada adek saya ini karena meninggalkan Fakultas Kedokteran di salah satu universitas negeri di Medan beberapa tahun yang lalu. Dia waktu itu lulus lewat jalur UMPTN. Bagi saya tindakannya meninggalkan fakultas yang konon bergengsi itu benar-benar sebuah tindakan yang sulit saya mengerti apalagi terima. Orang-orang begitu ingin masuk di fakultas kedokteran walaupun harus membayar ratusan juta. Ini, kok dia yang lulus test tanpa bayar untuk masuk malah meninggalkannnya? Salah satu salah kaprah pendidikan di Indonesia menurut saya adalah mengajarkan orang untuk tidak cinta pada tanah dan tumbuh-tumbuhan secara langsung; kalau bisa kerja kantoranlah atau pabrik menjadi buruh, yang penting jangan kena-kena tanah atau lumpur. Walau setiap hari harus makan makanan dari hasil pertanian: beras, sayur-mayur, buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan lainnya. Kalau bisa jangan bau-abu amis atau kena angin hujan dan apalagi badai macam nelayan. Kalau bisa langsung makan sajalah. [caption id="attachment_77071" align="alignright" width="300" caption="Kopi di ladang kami (Foto oleh:LTS)"][/caption] Dengan geli saya bertanya dalam hati: "Mana lebih baik? Menjadi seperti adek saya ini yang mengatakan bahwa berada di ladang seperti ladang kopi ini bisa bikin orang panjang umur dan senang atau menjadi seorang dokter?" Saya sempat bilang padanya, "...apalagi dokter-dokter di Indonesia ini? Sebagian mereka itu mana beres kan? Itu sebab orang-orang pergi ke Penang atau Singapura untuk berobat." Sepanjang kami memetik kopi, kami membicarakan macam-macam hal tentang matematika dan fisika. Adek saya ini dulu selalu juara kelas ketika SD dan SMP. Dia SMA di salah satu SMA Negeri di Jogjakarta. Anak paling kecil dari kami semua kakak-beradik. Saya sendiri pun dalam waktu lama terhegemoni oleh konsep yang salah dari sekolah bahwa bertani itu adalah pekerjaan yang kurang baik, hanya bagi mereka yang bodoh dan tidak punya pendidikan. [caption id="attachment_77073" align="alignleft" width="300" caption="Kopi di ladang kami (Foto oleh:LTS)"][/caption] Sekarang saya menyadari betapa konyol indoktrinasi macam itu. Banyak lulusan sarjana kita, sekitar 20% lebih menganggur karena tak punya keterampilan. Kami beruntung karena sejak kecil sudah biasa berinteraksi dengan tanah dan tumbuhan jadi tak ada masalah untuk bertani. Tentu perlu keterampilan yang bagus untuk bisa menghasilkan produk kopi sebagus seperti dalam gambar ini. Lulusan sarjana pertanian pun belum tentu bisa menghasilkan produk sebagus ini kan? Mungkin lulusan ini bisa tahu secara teoritis tetapi mempraktekkannya? Padahal kan, yang paling sulit adalah yang terakhir ini: melakukan; percuma orang tahu teorinya tapi tak becus melakukannya. Secara umum, di Simalungun, orang bisa menghasilkan produk kopi sebagus ini kualitasnya. Kata kuncinya adalah kemauan untuk bekerja dan merawat. Keterampilan bertani. [caption id="attachment_77074" align="alignright" width="225" caption="Alat penggilingan kopi di ladang. (Foto oleh: LTS)"][/caption] Lebih dari 60% generani muda Simalungun ada di perantauan. Lebih dari 50% generasi muda perantau ini bekerja menjadi buruh di pabrik-pabrik seperti di Batam dan berbagai kota lainnya. Apa enaknya menjadi buruh? Jauh lebih bermartabat mengolah tanah di kampung sendiri kalau masih ada. Petani di Sumatra beda dengan petani di Jawa. Di Sumatra, masih banyak petani yang memiliki lahan sendiri. Perkembangan yang terjadi adalah para perantau dari daerah Toba berdatangan ke Simalungun. Mereka bekerja dan menyewa tanah orang-orang Simalungun yang semakin kehilangan generasi mudanya mengolah lahan sebab sudah 90% lebih berada di rantau. Kemampuan orang-orang Toba ini terbatas sebab status mereka sebagai penyewa. Kemajuan mereka lambat tapi secara umum pasti karena mereka gigih bekerja.*** [caption id="attachment_77075" align="aligncenter" width="300" caption="Buah kopi. (Foto oleh: LTS)"][/caption] [caption id="attachment_77076" align="aligncenter" width="300" caption="Kulit kopi setelah dipisahkan buahnya. (Foto oleh: LTS)"][/caption] [caption id="attachment_77078" align="aligncenter" width="300" caption="Biji kopi setelah dipisahkan dari kulit. (Foto oleh: LTS)"][/caption] [caption id="attachment_77079" align="aligncenter" width="300" caption="Biji kopi setelah dijemur. (Foto oleh: LTS)"][/caption]
KEMBALI KE ARTIKEL