Kamis 5 Januari 2012 menjadi hari yang bersejarah bagi pertahanan Amerika Serikat (AS). Setelah pada akhir Desember menarik seluruh pasukannya dari Iraq, AS melakukan langkah drastis lain dalam kebijakan pertahanannya: memangkas pengeluaran militer. Hal ini sebenarnya wajar bagi sebuah negara yang tengah dilanda krisis ekonomi. Namun akan lain ceritanya bila negara yang dimaksud adalah Amerika Serikat.
(artikel berita: kompas.com)
Amerika Serikat selama beberapa dekade telah memperlihatkan postur pertahanan yang sangat superior. Postur pertahanan seperti ini hanya mungkin bila didukung oleh performa ekonomi yang luar biasa. Namun, masa-masa kejayaan ekonomi AS tampaknya sudah berlalu. Sejak kebangkitan Jepang sebagai kekuatan ekonomi besar dunia, AS mendapat tantangan serius. Kapitalisme ekonomi dan globalisasi yang semula digembar-gemborkan AS kini memberikan dampak negatifnya: ekonomi AS tidak lagi kompetitif.
Kenyataan ini diperparah oleh kebijakan perang besar melawan terorisme yang diluncurkan oleh rezim neokonservatif Bush Jr. Kebijakan perang ini telah menguras perbendaharaan negara. Perang Afghanistan dan Iraq memberikan pukulan telak bagi perekonomian AS. Pajak rakyat yang bisa digunakan untuk memberikan kesejahteraan malah dihabiskan untuk mengobarkan perang di luar negeri.
Rakyat telah muak dengan perang dan kini fokus kepada ekonomi. Obama bertaruh sangat besar dengan membuang sedikit “kesombongan hegemon” AS dengan merampingkan postur militer AS dengan cara mengurangi anggaran militer. Kebijakan ini di satu sisi realistis mengingat AS harus ekstra hati-hati dalam pengeluaran di tengah resesi ekonomi. Namun di satu sisi sangat absurd mengingat tensi konflik tengah meningkat di tengah ancaman kekuatan Cina dan Iran, juga instabilitas Korea Utara. Tidak heran jika kemudian “para munafik Partai Republik” menyerang kebijakan perampingan anggaran militer ini sebagai kecerobohan Obama.
Namun, semua keputusan kembali kepada keputusan kongres AS apakah akan mendukung rencana pengetatan anggaran militer ini atau malah menolak dan mendukung status quo hegemoni AS. Satu hal yang pasti, doktrin manifest of destiny AS sedang dalam ujian besar. Di tengah memanasnya politik domestik AS menjelang pemilu presiden akhir tahun ini, setumpuk masalah besar menunggu untuk dipecahkan dengan kepala dingin.
AMERICAN!