Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Pendidikan Karakter dalam Saloka

15 Oktober 2019   04:51 Diperbarui: 15 Oktober 2019   04:57 39 1
Wejangan orang tua, dalam tata bahasa Madura (baik bahasa sehari-hari atau materi lokal di sekolah) dikenal dengan istilah saloka. Saloka sendiri pada sebenarnya diambil dari istilah bahasa dan sastra Jawa, yang maknanya adalah ungkapan orang tua (bisa tokoh) yang memiliki makna kiasan dan mengandung perumpamaan pada subyek yang dikiaskan.

Terminologi ini hampir sama dengan parebhasan (pribahasa). Hanya saja pribahasa (dalam terminologi Bahasa Madura) lebih dekat pada menyamakan perilaku hewan, keadaan suatu benda, atau pola perilaku tertentu dengan perilaku positif atau negatif manusia. Sementara istilah saloka lebih pada wejangan (petotor becce' /bhabhurughan) orang tua.

Ada dua okara (kalimat) saloka yang kiranya dapat kita ambil sebagai nilai tambah atas pendidikan karakter. Keduanya merupakan okara yang tidak asing di telinga orang Madura. Pertama, "Abhantal sadhat, apajung Allah, asapo' iman."

Semasa penulis kecil dulu, betapa orang tua saban malam menjelang penulis tidur berulang-ulang melafalkan kalimat tersebut. Seraya menyuruh agar penulis menirukannya sekalipun penulis sendiri kala itu tidak memahami kandungannya.

Kalimat "Abhantal syadhat, apajung Allah asapo' iman." memiliki nilai-nilai spiritual yang tinggi. Abhantal syadhat (berbantal syahadat) bermakna dua kalimat syahadatain sebagai jiwa keislaman agar terus dibawa dan dijadikan teman sampai pada menutup mata untuk selamanya. Apajung Allah (berpayung Allah) memiliki artian agar Allah-lah sebagai pelindung. Bukan harta, jabatan, pangkat, dan hal profan lainnya. Sedangkan asapo' iman (berselimut iman) bermakna, imanlah yang harus menyelimuti sekujur tubuh kita. Dengan berselimutkan iman, manusia akan kebal godaan, hinaan, ancaman dan seterusnya.

Kedua, yaitu "Abhantal omba', asapo' angin." kalimat saloka yang kedua ini hampir mirip dengan yang pertama dari segi permulaan kata, sekaligus suku katanya. Bedanya hanya berada di akhir kata.

Jika pada saloka yang pertama mengarah pada makna spiritual, hubungan hamba dengan Tuhannya. Namun berbeda dengan saloka yang kedua ini. Ia memiliki makna yang berkaitan erat dengan jiwa manusiawi sebagai makhluk sosial yang lazimnya tidak lepas dari kebutuhan hidup. Abhantal omba', asapo' angin (berbantal ombak dan berselimut angin) bermakna semangat bekerja keras tanpa menyerah sekalipun harus menerjang ombak dan badai.

Dua saloka tersebut memiliki dua dimensi yang saling berkaitan, yaitu dimensi langit, yang berarti hubungan vertikal hamba dengan Tuhannya. Hal tersebut merupakan wujud dari bahasa Al-Quran, wama khalaqtu al jinna wa al insa illa liya'budun (tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembahKu) yang diistilahkan oleh orang Madura dengan satu ungkapan saloka, "Manossa coma dharma." (manusia hanyalah hamba Tuhan).

Yang terakhir adalah dimensi bumi, hubungan mendatar manusia dengan sesamanya termasuk juga dengan lingkungannya. Ini merupakan perwujudan dari hablun mina al nas (hubungan antar manusia) yang kemudian orang Madura menyebutnya dengan pribahasa, "Ajjha' senga' dhaddi kopeng" (jangan menjadi seperti telinga). Sebab, kedua telinga tak pernah saling menolong.

Berdasar pada wejangan orang tua (saloka) yang berkembang tersebut, jelas menjadi titik tumpu akan pembentukan karakter insan Madura. Ia adalah modal yang kiranya layak untuk dikembangkan sebagai manivestasi lokal untuk pendidikan nasional. Sekolah secara formal sebagai pelaksana pembentukan karakter, jelas tentu memiliki tanggung jawab besar akan tugas mulia ini. Materi ajar Bahasa Madura perlu untuk ditarik dan diketengahkan guna untuk sebagai nilai tambah proses pembentukan karakter peserta didik.

Selain itu, memang Madura memiliki kultur yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur spiritual yang barangkali memiliki domain yang pantas untuk dijadikan sebagai acuan. Madura memiliki kultur yang sangat kental dengan nilai-nilai keislaman. Hampir mayoritas penduduk pribumi Madura beragama Islam.

Mudah kita temui di Madura orang-orang sarungan berlalu-lalang, bukti masyarakat Madura adalah masyarakat pesantren. Sama mudahnya kita jumpai di setiap sudut rumah penduduk Madura memiliki langghar (surau kecil) yang digunakan sebagai tempat beribadah. Juga sebagai masyarakat religius, orang Madura sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan (tatakrama).

Namun, bukan rahasia jika Pulau Garam ini juga memiliki kultur "keras". Terma keras ini sebenarnya memiliki dua pengertian yang saling betautan. Pertama, berwatak keras. Dalam artian karakteristik masyarakat Madura memiliki jiwa dan kepribadian yang keras, meski tidak bisa kita anggap seratus persen.

Kedua, keras dalam berusaha. Tak jarang kita temukan orang-orang Madura sukses di kota-kota besar, dalam negeri maupun di manca negara. Kedua karakter "keras" ini menjadi latar belakang akan betapa orang Madura memiliki pendirian yang kokoh, pantang menyerah, teguh, dan tentu pula sikap berani yang melekat dalam setiap mengambil keputusan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun