Di tahun 1998, pasca reformasi, di pesantren, rutinitas sarapan gorengan menjadi teman pagiku yg paling setia. seharga duaratus rupiah perbiji, tentu terjangkau. Namun, alam reformasi tidak lantas semua hal menjadi teratasi. Suara "tritura" bukan sebuah do'a yg terijabah, makbul, dan melegakan semua harapan. Meskipun ia berupa tuntutan dasar, perjuangan yg mengorbankan segala daya, namun krisis dan harga-harga melambung tinggi masih tidak terelakkan. Menu gorengan seharga Rp200,- masih saja menjadi barang yg mencekik. Yang namanya anak pesantren, tentu banyak cara keluar dari problem itu.
Dengan apa?
Semua hal menjadi mudah jika kembali ke zaman batu, megalitikum. Berburu? Tentu tidak memungkinkan. Aktifitas pesantren padat, mengaji, sekolah, setor hafalan, lain lagi dengan cucian yg mulai menggunung. Bercocok tanam? Juga tidak memungkinkan. Alasannya tetap sama. Mengaji, sekolah, setor hafalan, dan cucian yg menumpuk. Aktifitas super padat. Jadi, yg paling memungkinkan adalah, datang ke ladang petani sekitar. Pura-pura beli hasil pertanian mereka. Kemudian mereka dengan ikhlas memberikannya beberapa hasil pertaniannya cuma-cuma. Anak santri banyak barokahnya. (Hehe).
Dari sana, momok krisis, harga-harga melambung tinggi, reformasi masih repot nasi, tetap perutku juga bisa terisi. Penuh malah. Bukan dengan gorengan, cukup dibakar. Ya, minimal bisa disebut matang, dimakan tidak membuat sakit perut.