Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Artikel Utama

Pasar Tanjung yang Tak Seharum Bunga Tanjung

26 Oktober 2011   11:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:28 1328 0
[caption id="attachment_144042" align="aligncenter" width="300" caption="dari tmajember.blogspot"][/caption]

Bagi masyarakat Jember, Pasar Tanjung sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan. Sebagai pasar induk di kabupaten ini, Pasar Tanjung menjadi pusat perekonomian. Sayang, kini Pasar Tanjung tak seharum bunga tanjung. Padahal, dulu keberadaan tanaman ini yang menjadi asal muasal nama pasar tersebut.

Tahun 1966, negeri ini baru saja lepas dari masa penjajahan sekaligus tragedy berdarah yang memilukan. Meski, hingga kini masih belum benar-benar jelas, kejadian pada September 1965 itu. Keadaan Jember juga tidak jauh berbeda. Kondisi masih belum stabil, sepanjang hari, rakyat dihantui kecemasan. Mulai dari harga-harga bahan pangan yang tidak stabil, belum lagi kondisi pemerintahan yang carut-marut seiring dengan peralihan rezim dari Orde Lama ke Orde Baru.

Untuk mengetahui kondisi Negara dan informasi terkini, masyarakat Jember ketika itu harus menuju ke pasar yang dulu tidak memiliki nama. Masyarakat hanya menyebutnya Pasar Jember. Ketika itu, yang dimaksud masyarakat sebagai Jember itu adalah Pasar Tanjung sampai dengan Jl. Raya Sultan Agung lewat Jalan Diponegoro yang dahulu bernama jalan Imam Syafi’i.

Di halaman pasar yang luas itu, masyarakat berkumpul untuk mendengarkan siaran-siaran pemerintah. Karena di pasar itu, terdapat satu-satunya radio yang bisa didengarkan ramai-ramai. Di tempat itu pula, masyarakat dari berbagai kampung, bisa saling bersilahturahim.

“Tak seperti jaman sekarang, yang dibuka selama 24 jam. Jaman dahulu, Pasar Tanjung dibuka hanya pagi sampai sore hari,” terang Hasin Saprawi, salah seorang tokoh masyarakat sekaligus warga asli Jember.

Pada jaman itu, masyarakat menyebut dengan istilah waktu Ashar. Karena setelah memasuki jam 17.00, pasar tersebut dikelilingi pagar kawat berduri. Area di sekitar ditutup total, sehingga tidak ada kegiatan transaksi jual beli. Padahal, di jaman ini, pedagang tidak peduli raja siang yang berganti dengan rembulan. Mereka tetap saja melakukan transaksi jual beli. Bahkan, ketika dini hari, justru menjadi saat yang paling ramai, karena proses jual-beli antara tengkulak dengan pedagang.

Baru pada tahun 1976, ketika masa pemerintahan Bupati Abdul Hadi, kondisi pasar mengalami perombakan besar-besaran. Yang semula berlantai satu, langsung dibangun tiga lantai. Lantai satu untuk pakaian dan tekstil, serta barang elektronik, dan kebutuhan peralatan olahraga. Lantai dua diperuntukkan bagi sembilan kebutuhan pokok. Dan lantai tiga, diperuntukkan untuk mainan anak-anak, seperti komidi putar, ombak banyu, dan sejenisnya.

“Nah, nggak tahu mengapa sekarang malah tidak ada mainan seperti itu. Padahal, ide awal jaman itu, sudah bagus bisa menjadi tempat rekreasi keluarga,” sambungnya.

Untuk pemilihan nama, pada jaman itu, Jalan HOS Cokroaminoto adalah Jalan Tanjung, di tepat di barat bangunan pasar, juga terdapat pohon Tanjung. Jenis pohon dari India, Sri Lanka, dan Myanmar ini merupakan tanaman yang dapat tumbuh hingga ketinggian 5 sampai 15 meter. Memiliki daun kecil-kecil dan berbunga putih harum. Harapannya, pasar ini bisa menjadi penampung bagi para pedagang sehingga lebih tertib.

Harapan tinggal harapan, Hasin menyaksikan perkembangan Pasar Tanjung justru tidak sesuai dengan tujuan semula. Saat ini, di jalan-jalan yang mengitari Pasar Tanjung banyak digunakan pedagang untuk berjualan. Mereka tidak lagi menggunakan stand-stand yang tersedia di dalam bangunan. Kondisi ini justru menimbulkan persaingan yang tidak sehat dengan pedagang yang mendiami stand di dalam bangunan.

“Mereka merasa dagangannya distop oleh pedagang yang sudah jualan di luar. Padahal, para pengguna stand itu sudah membayar sewa dan retribusi. Kan kasihan,” katanya. Hal lain yang harusnya menjadi perhatian pemerintah adalah kondisi bangunan pasar. Berdasarkan ketentuan ketika pasar itu dibangun dulu, harusnya tahun 1996 sudah dilakukan pemugaran.

“Sekarang sudah tahun berapa, padahal, masa kekuatan bangunan itu hanya 20 tahun. Minimal dilakukan rehabilitasi, biar tidak merugikan pedagang nantinya,” tambahnya.

Hasin juga berharap agar ke depan, pemerintah lebih mengembangkan pasar-pasar yang lain. Sehingga terjadi pemerataan dan Pasar Tanjung bisa digunakan sebagai pasar modern. Tidak lagi menjadi tempat bongkar muat. “Kalau bisa Pasar Tanjung dijadikan tempat bagi PKL, sehingga tidak merusak tata ruang kota,” pungkasnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun