Waktu: Maret 2019
Di penghujung bulan Maret lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengadakan debat calon presiden putaran yang  keempat. Perdebatan pada periode kali ini mencakup tema ideologi, pemerintahan, pertahanan dan keamanan serta hubungan internasional. Penempatan hubungan internasional di bagian akhir tema bukan berarti memposisikan isu ini sebagai bagian yang tidak signifikan. Pada kenyataanya, hubungan internasional ini sangat berkaitan erat dengan masalah ideologi, pemerintahan, pertahanan dan keamanan. Komunikasi yang terjadi antar negara diwarnai implementasi oleh ideologi masing-masing pihak. Bahkan kualitas hubungan internasional tersebut sangat ditentukan oleh peran ideologi suatu negara dan posisi pemerintah dalam mengambil kebijakan luar negeri.
Sedangkan aspek pertahanan dan keamanan juga bagian yang tak terpisahkan dari kajian hubungan internasional. Sebagaimana yang sudah didefinisikan oleh Walter Lipmann (1944), keamanan adalah kemampuan sebuah negara dalam melindungi nilai-nilai luhur yang dimilikinya, Arnold Wolfers (1952) juga menjelaskan bahwa masing-masing negara memiliki ekspektasi yang berbeda terhadap keamanan. Namun sangat disayangkan kedua capres tersebut juga belum mampu merangkum semua isu yang saling berangkaian tersebut dalam kesatuan argumen yang solid.
Secara garis besar debat capres ini terbagi dalam tiga sesi, yaitu penyampaian visi dan misi, tanggapan atas pertanyaan dari moderator dan debat terbuka. Berkaitan dengan isu hubungan internasional, Prabowo Subianto, capres nomor urut 02, mengutarakan niatnya untuk menjadikan Indonesia yang aktif menjalin hubungan baik dengan semua negara serta membela kepentingan rakyat.
Joko Widodo, capres nomor urut 01, muncul dengan gambaran kondisi dunia internasional dimana hubungan multilateral melemah dan proteksionisme semakin menguat dan Indonesia diharapkan mampu menjalankan politik bebas aktif. Pernyataan dari capres 02 dirasa masih terlalu umum tanpa dilengkapi penjelasan mengenai bentuk tindakan nyata dalam melindungi kepentingan rakyat.
Begitu juga dengan capres 01 yang muncul dengan pemahaman masalah di level global tetapi tidak diikuti dengan penjabaran solusi untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Visi dan misi yang seharusnya menjadi gagasan utama dan penentu arah argumen dalam perdebatan tidak terlihat berfungsi sebagaimana mestinya.
Minus Strategi dan Pemahaman Status Quo
Dari segi pemahaman konsep hubungan internasional, Jokowi dan Prabowo memiliki keunggulan dan kelemahan di beberapa sisi yang berbeda. Dalam penyampaian argumen, kubu petahana menyentuh isu-isu yang berkenaan dengan kondisi dunia internasional di saat sekarang, seperti proses penyelesaian konflik di beberapa negara.
Namun Jokowi cenderung mengemukakan laporan dari hal-hal yang telah dikerjakan pemerintahnya tanpa penjelasan arah politik luar negeri Indonesia di masa depan. Sedangkan kubu oposisi memberikan solusi dan bersikap kritis terhadap pemerintah, khususnya mengenai masalah pertahanan dan keamanan, tetapi kurang tepat dalam menanggapi pertanyaan maupun masalah spesifik yang dibahas dalam perdebatan.
Dalam beberapa sesi debat, capres nomor urut 01 dan 02 berfokus pada diskusi tentang kekuatan pertahanan dan keamanan Indonesia, khususnya di bidang militer. Melihat dari sudut pandang hubungan internasional, adu pendapat dan fakta tersebut masih berada di tatanan isu keamanan tradisional.
Padahal di era modern sekarang, keamanan tidak hanya tentang kemampuan militer tetapi sudah mengarah ke berbagai aspek lain seperti keamanan siber. Salah satu kasus besar yang terjadi di dunia maya dan mempengaruhi komunitas internasional adalah intervensi pihak Rusia dalam pemilihan presiden Amerika Serikat di tahun 2016. Melalui medium internet, para peretas ini mampu mengguncang konstelasi politik domestik negara adidaya tersebut.
Dapat disimpulkan dari debat ini, kedua capres belum mampu mengidentifikasi secara penuh bentuk ancaman nyata dari dunia internasional dan kurang cakap dalam membangun strategi politik luar negeri Indonesia untuk lima tahun mendatang. Hal ini juga terlihat dari tidak adanya pembahasan isu-isu penting, seperti konflik di Laut Tiongkok Selatan dan peranan Indonesia untuk meningkatkan kekuatan multilateralisme di ASEAN.