Belakangan ini, di Indonesia tengah ramai membahas wacana pemilihan kepala daerah yang dikembalikan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Wacana ini muncul berawal dari pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya pada puncak perayaan HUT Partai Golkar ke-60 di International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, pada Kamis, 12 Desember 2024.
Dalam sambutannya, ia menyarankan agar pemilihan bupati, wali kota, hingga gubernur diserahkan kepada DPRD. Menurutnya, sistem ini dapat mengurangi biaya dan lebih efisien. Dana tersebut, katanya, lebih baik digunakan untuk meningkatkan fasilitas sekolah dan menyediakan makanan bagi siswa. Ia juga mengatakan bahwa negara-negara tetangga kita, seperti Malaysia dan India, lebih efisien. "Mereka sekali memilih anggota DPRD, ya sudah, DPRD itulah yang memilih bupati, gubernur, wali kota," tutur Prabowo.
Wacana ini menuai respons pro dan kontra dari berbagai kalangan, baik tokoh, aktivis, akademisi, maupun menteri. Permasalahan ini menyoroti bahwa sistem pilkada yang berlangsung saat ini dinilai mengeluarkan biaya yang besar. Namun, apakah opsi pilkada dikembalikan ke DPRD akan menjamin biaya yang lebih kecil?
Sebelum lebih jauh membahas hal ini, perlu diketahui bahwa pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah menjadi salah satu unsur penting dalam negara demokrasi. Masyarakat menjadi subjek utama dalam menentukan pemimpin yang layak untuk dipilih.
Sumber daya yang memadai berupa dukungan finansial juga menjadi unsur penting dalam proses penyelenggaraan pesta demokrasi. Mengutip informasi dari laman pajak.go.id, dijelaskan bahwa pajak berperan sebagai penopang utama dalam menjaga keberlangsungan demokrasi, yakni dengan memberikan masyarakat akses untuk berpartisipasi dalam politik.
Sejarah Pilkada di Indonesia
Dalam sejarahnya, pemilihan kepala daerah di Indonesia mengalami pergantian sistem pada setiap masa. Pilkada secara langsung pertama kali diadakan pada tahun 2005, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Sebelumnya, kepala daerah dan wakilnya dipilih oleh DPRD.
Pada tahun 2008, calon kepala daerah dapat berasal dari perseorangan dan partai politik. Namun, pada tahun 2014, dalam sidang Paripurna DPR RI, diputuskan bahwa kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD. Kebijakan tersebut mendapat penolakan dan kritik.
Kemudian, Presiden Joko Widodo menerbitkan UU Nomor 1 Tahun 2015 yang mengatur bahwa pilkada kembali dipilih oleh rakyat dan berlaku sampai hari ini.
Namun, wacana pemilihan kepala daerah yang kembali dipilih oleh DPRD muncul setelah usulan Presiden Prabowo dalam pidatonya yang telah dijelaskan di atas.
Apa Kata Tokoh Terkait Wacana Pemilihan Kepala Daerah Tidak Langsung?
Salah satu tokoh yang menyoroti polemik wacana pemilihan kepala daerah tidak langsung adalah Neni Nur Hayati, Wakil Sekretaris I LHKP PP Muhammadiyah sekaligus Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia. Menurutnya, pemilihan kepala daerah tidak langsung bukanlah solusi, karena akar permasalahannya bukan pada proses pilkada langsung, melainkan pada proses penyelenggaraan pilkada itu sendiri. "Kita tahu bahwa dana pilkada ini berasal dari pajak rakyat, maka penting untuk memastikan bahwa dana tersebut digunakan dengan tanggung jawab, transparansi, dan akuntabilitas. Reformasi, misalnya, bisa dilakukan dengan meminimalisir pemasangan alat peraga kampanye yang membutuhkan biaya besar."
Sebelum kita beralih ke pemilihan langsung oleh rakyat, keluhan-keluhan yang disampaikan di DPRD terkait dengan mahalnya biaya per kursi sangat fantastis. Selain itu, permainan politik di dalamnya juga lebih kotor dalam proses pemilihannya, karena tidak ada transparansi dan akuntabilitas. Masyarakat tidak bisa melakukan pengawasan di situ karena itu menjadi ruang gelap dalam proses transaksional di internal partai politik dan DPRD. "Bisa jadi, pilkada tidak langsung juga membutuhkan biaya yang sangat besar dibandingkan dengan menyelenggarakan pilkada langsung."
Sebagai penutup, Neni menegaskan bahwa opsi mengembalikan pilkada tidak langsung merupakan kemunduran demokrasi, pengkhianatan terhadap rakyat, dan pengkhianatan terhadap semangat reformasi.