Mohon tunggu...
KOMENTAR
Hukum

Ancaman bagi Warga Jakarta, Kualitas Udara Terburuk di Dunia

28 Juni 2022   16:42 Diperbarui: 28 Juni 2022   16:49 470 0

Partikel-partikel polusi sudah merasuk dalam setiap tarikan napas yang diambil oleh setiap warga Jakarta. Pada Senin pagi (20/06/2022), Jakarta kembali melanjutkan posisinya sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia melanjutkan tren yang terjadi sejak Rabu (15/06/2022) (Tempo, 2022). Melansir dari data resmi IQAir Jakarta, indeks kualitas udara Jakarta per pukul 07.36 WIB, Senin (20/06/2022) berada di angka 192. Hal ini ditandai dengan warna merah yang artinya kualitas udara Jakarta tidaklah sehat atau “unhealthy” (detiknews, 2022). Buruknya kualitas udara Jakarta ditandai juga dengan konsentrasi Polusi Utama (Main Pollutant) yang tertera pada IQAir menunjukkan PM2.5, yaitu 27,4 kali di atas nilai pedoman kualitas udara tahunan Badan Kesehatan Dunia (WHO) (Tempo, 2022). Secara lebih rinci, konsentrasi PM2.5 ini berada di angka 136,9 gram per meter kubik (IQAir Jakarta,2022).

Apa itu PM2,5 dan Bahaya dari Dampak yang Ditimbulkan?
PM2,5 mengindikasikan betapa bahayanya udara di Jakarta saat ini. Lantas, apakah arti dari PM2,5? PM (Particulate Matter) atau Partikulat Atmosfer merupakan nama untuk debu halus atau partikel cair yang tersuspensi di udara yang kita hirup (Awair, 2019). PM2,5 merupakan polutan atau debu yang sangat halus berukuran 2,5 mikrometer atau kurang setara dengan 30 kali lebih kecil dari sehelai rambut manusia (Awair, 2019). Saking kecil dan halusnya, PM2,5 dapat menembus masker yang dipakai (Greenpeace Indonesia, 2017).
PM2,5 dapat ditemukan pada aktivitas luar ruangan misalnya polusi asap kendaraan bermotor, seperti mobil dan truk. Selain itu, dapat ditemukan dari cerobong asap pabrik, hasil pembakaran kayu, minyak, batu bara, atau asap kebakaran hutan maupun padang rumput. Pada aktivitas di dalam ruangan, PM2,5 dapat ditemukan pada asap rokok, asap memasak seperti menggoreng dan membakar, asap lilin atau minyak lampu yang terbakar, serta asap perapian (New York Department of Health, 2018).
Perlu diingat dengan ukuran PM2,5 yang sangat halus dan dapat ditemukan di mana saja, PM2,5 mudah terhirup dan berpotensi menyebar jauh ke dalam saluran pernapasan manusia (Tirto, 2017). Jakarta sebagai kota metropolitan yang sangat sibuk dan dipenuhi aktivitas penyebab PM2,5 meningkat, mengindikasikan udara di Jakarta sudah sangat tidak aman untuk dihirup. Aktivitas sehari-hari masyarakat dengan keadaan udara Jakarta yang berpolusi tinggi sudah sangat terganggu. Masyarakat disarankan untuk tidak melakukan banyak aktivitas luar ruangan, menggunakan masker, dan menutup jendela untuk mengurangi masuknya partikel polutan ke dalam rumah.
Dari sisi kesehatan, menghirup udara yang mengandung PM2,5 memberikan efek jangka pendek berupa sesak nafas, nyeri tenggorokan, asma, iritasi mata, maupun flu (Awaludin dan Cornelis, 2020). Sedangkan, dampak jangka panjangnya, yaitu penurunan fungsi organ-organ hingga menimbulkan penyakit seperti jantung, kanker paru-paru, bronkitis, hingga kematian dini karena komplikasi (Katadata, 2021). Bahaya polusi Jakarta juga diperkuat dengan laporan dari AQLI pada Selasa (14/06/2022) yang menyatakan bahwa warga Jakarta diperkirakan dapat kehilangan harapan hidup 3-4 tahun akibat polusi udara tinggi (Tempo, 2022). Dampak pada kesehatan ini juga semakin tinggi dirasakan pada kelompok rentan, seperti anak-anak, ibu hamil, orang tua, dan orang sakit.

Penyebab Buruknya Udara Jakarta
Menurut pernyataan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Jakarta menempati posisi pertama sebagai kota paling berpolusi di dunia. Hal ini disebabkan oleh berbagai aspek seperti banyaknya sumber emisi yang berasal dari transportasi, residensial, maupun dari kawasan industri yang dekat dengan Jakarta (Tempo, 2022). Selain itu, pola angin yang bergerak dari suatu lokasi ke lokasi lain menjadi faktor yang membawa sumber emisi sehingga terjadi peningkatan konsentrasi PM2,5 (Tempo, 2022). Faktor lainnya adalah tingginya kelembaban udara yang menyebabkan peningkatan proses adsorpsi atau perubahan wujud dari gas menjadi partikel (Republika, 2022).
Namun, jauh sebelum pernyataan BMKG akhir-akhir ini, Jakarta sudah memiliki masalah menahun terkait polusi udara yang sangat parah. Terdapat beberapa sektor dominan yang menjadi penyebab polusi udara di Jakarta, yaitu sektor transportasi yang menempati 50% dan sektor pembangkit listrik yang menempati 30%, dan banyaknya sampah yang tidak dikelola dengan baik, juga industri (Bloomberg Philanthropies, 2019). Selain itu, Jakarta yang dikelilingi PLTU batu bara menyebabkan gas emisi yang terbawa angin terutama saat musim penghujan semakin memperparah polusi di Jakarta (Bella, 2021).

Bagaimana Upaya Pemerintah DKI Jakarta Selama Ini?
Pemerintah Jakarta  selama ini telah melakukan berbagai upaya yang dapat mengurangi tingkat polusi di Jakarta, seperti pengujian gas emisi yang diatur dalam  Peraturan Gubernur Nomor 66 Tahun 2020 tentang Uji Emisi Kendaraan Bermotor. Pengujian gas emisi ini merupakan salah satu upaya yang baik dalam mengurangi polusi udara yang tinggi dan sulit  dikendalikan mengingat banyaknya penggunaan kendaraan pribadi. Akan tetapi, menurut hasil penelitian, masih banyak warga Jakarta yang belum mengetahui tentang peraturan uji emisi gas buang kendaraan sehingga upaya ini menjadi tidak efektif (Elizabeth dan Melvin, 2021). Hal ini karena pemerintah belum melaksanakan uji emisi secara masif dan serentak di seluruh Jakarta. Hal ini juga menunjukkan konsistensi dan komitmen pemerintah Jakarta yang belum selaras.
Upaya lain adalah menambah ruang terbuka hijau sebagaimana dijelaskan oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria. Beliau mengatakan bahwa saat ini, pemerintah DKI Jakarta terus menambah ruang terbuka hijau, dimulai dari menyiapkan sarana, prasarana, dan sumber daya manusia (Kompas, 2022). Selain ruang terbuka hijau, pemerintah Jakarta juga mengalokasikan banyak anggaran untuk pembenahan transportasi umum di Jakarta, seperti penggantian bus TransJakarta yang berpolusi tinggi karena sudah tua di Badan Pengadaan Barang dan Jasa (BPBJ) (Kompas, 2019). Serta mewajibkan seluruh pihak yang menyelenggarakan acara di Jakarta untuk mengganti penggunaan mesin diesel dengan baterai dari PT PLN (Kompas, 2019).

Di mana Hak Warga untuk Mendapat Udara Sehat?
Upaya yang dilakukan pemerintah Jakarta dalam menangani polusi udara nyatanya tak membuat kualitas udara di Jakarta membaik. Terbukti bahwa Jakarta mencapai peringkat satu sebagai kota berkualitas udara terburuk di dunia. Hal ini pun menimbulkan keresahan dan tanda tanya besar terkait hak warga untuk mendapat udara sehat. Sudah bertahun-tahun warga Jakarta tidak dapat menghirup udara yang bersih dan sehat. Padahal dalam UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) ditegaskan bahwa hak mendapat lingkungan hidup yang dan sehat merupakan bagian dari hak asasi manusia. Hal ini juga dipertegas dengan Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut UU No.32/2009.
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa pemerintah sebagai otoritas yang memiliki tanggung jawab, wajib melaksanakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bagi warganya (Padjajaran Law Review, 2020). Pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang sehat dan bersih, di mana salah satunya adalah terkait polusi udara merupakan upaya dalam menjamin pemenuhan dan perlindungan terhadap hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Dalam dunia internasional, Indonesia pun sudah meratifikasi Kesepakatan Paris yang salah satu isinya berkomitmen mengurangi gas emisi hingga 29% pada tahun 2030. Jakarta secara spesifik juga berkomitmen mengurangi 30% emisi pada tahun 2030, sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah 2018-2022 (BPD Jakarta, 2021).
Namun, nyatanya pemerintah Jakarta masih menjalankan banyak program yang justru memperparah polusi, salah satunya pembangunan 6 ruas tol yang sudah masuk ke dalam Proyek Strategi Nasional 2016 (Tempo, 2018). Pembangunan 6 ruas tol akan meningkatkan penggunaan transportasi pribadi, mengganggu jalur transportasi umum yang sudah membantu mengurangi polusi seperti, TransJakarta, dan kereta api Duri-Tangerang (Tempo, 2018). Hal ini menunjukkan ketidakjelasan komitmen dan pertentangan pemerintah pusat maupun daerah dalam menjalankan agenda perubahan iklim serta mengurangi polusi udara Jakarta.
Bentuk lain dari kelalaian dan ketidakseriusan pemerintah adalah setelah 12 tahun, Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara yang akhirnya direvisi menjadi PP Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun, dalam PP yang baru ternyata ditemukan bahwa parameter lingkungan dan udara sehat masih tidak memenuhi standar WHO (Bella, 2021). Salah satunya, pada parameter PM2,5, WHO menyebutkan rata-rata selama 24 jam adalah sebesar 15μg/m3, sedangkan PP No. 22/2021 menyatakan sebesar 55μg/m3. Memenuhi standar WHO pun belum tentu menjamin perlindungan lingkungan hidup, apalagi parameter tersebut masih jauh dari standar yang ditetapkan.

Bagaimana Respon dan Tindakan Warga Jakarta?
Melihat ketidakjelasan komitmen pemerintah serta upaya-upaya yang tidak efektif, 32 warga Jakarta dalam Koalisi Ibu Kota melayangkan gugatan mengenai polusi udara pada 4 Juli 2019 setelah menempuh komunikasi dan cara-cara yang dikirimkan kepada pemerintah yang tak kunjung ditanggapi (WALHI, 2019). Gugatan tersebut dinyatakan menang berdasarkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 16 September 2021 (Kompas, 2021). Pihak-pihak tergugat yang terdiri dari Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur Jakarta, Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Banten dinyatakan telah melawan hukum dan menghukum para tergugat untuk menjalankan 9 poin putusan hakim (Bella, 2020).
Kemenangan gugatan ini meningkatkan kesadaran masyarakat dan pemerintah terhadap bahayanya udara Jakarta saat ini. Akan tetapi, walaupun telah memenangkan gugatan, nyatanya upaya pemerintah belum terlaksana secara efektif. Hal ini karena pemerintah Jakarta belum secara konkret dan serius menangani polusi Jakarta. Pemerintah dari wilayah sekitar Jakarta yang turut andil menyumbang banyak gas emisi pun tidak berkontribusi melakukan upaya yang serius. Di sisi lain, masyarakat Jakarta sendiri juga masih banyak yang tidak peduli bahkan bersikap acuh terhadap program pemerintah maupun aksi-aksi sosial dalam mengurangi polusi Jakarta. Beberapa contoh tindakan masyarakat tersebut adalah penggunaan kendaraan pribadi yang masih tinggi, merokok sembarangan, membuang maupun mengelola sampah dengan tidak benar, dan lain-lain.

Kesimpulan
Permasalahan polusi Jakarta bukanlah masalah yang baru muncul belakangan ini. Hal ini sudah terjadi selama bertahun-tahun dan tak kunjung membaik karena upaya-upaya yang dilakukan belum efektif. Diharapkan, berita mengenai Jakarta sebagai kota paling berpolusi di dunia dapat meningkatkan kesadaran pemerintah untuk lebih serius, berkomitmen, dan secara aktif menanggulangi polusi Jakarta sebagai bentuk perwujudan hak asasi manusia. Masyarakat Jakarta juga perlu mendukung, mengkritisi, dan turut aktif dalam setiap program yang dijalankan karena perubahan serta perbaikan pada hakikatnya dimulai dari setiap individu.
Dengan demikian, saat seluruh lapisan masyarakat bersungguh-sungguh dan berkomitmen untuk mengatasi polusi udara bersama, maka Jakarta dapat menjadi kota yang nyaman dan sehat untuk ditinggali. Jangan sampai segala dampak buruk kesehatan yang berpotensi mengancam harapan hidup warga Jakarta terus menerus menghantui.


Oleh: Ethelind Quinn
Staf Biro Jurnalistik

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun