Itu belum apa-apanya dengan narasi yang tercurah dari hati, yang membiru pilu oada suvenir potret romansa. Antara aku dan dia yang terpaksa berpisah karena keyakinan yang berlawanan
Kala itu fajar timur mengangkasa permai di sudut kota. Mempertemukan kita pertama kali yang entah mengapa membuat aku langsung menaruh hati pada pandangan pertama. Tapi kemudian apa yang menjadi kejujuran hati sempat ku tahan sebisa mungkin. Agar tak meluap menjadi palung samudera, perihal bukan karena aku anti toleransi beragama. Tapi karena sebuah kesadaran yang menampar diri untuk tak melangkah lebih maju. Terkait Rosario yang ku kenakan bangga di dada, tak searah dengan dirimu yang bersolek jilbab ungu untuk menjadi sepasang insan yang mencintai.
Saban hari yang berlalu epik. Rupanya tak bisa diajak kompromi untuk melemahkan perasaan tersebut. Perihal semenjak pertemuan pertama yang terus berlanjut ke pertemuan berikutnya dalam dunia akademik. Dia semakin menjadi topik utama dalam pikiran sadar maupun tak sadar ku. dan benar adanya, perasaan akan sangat menyakitkan jika dipaksakan untuk dipendam. Sebab entah mengapa melihat dia bercengkrama mesra dengan pria lain selalu membuatku terkena sengatan petir kecemburuan nan menggelegar.
Hingga akhirnya dengan kegugupan yang berdasarkan ketidak tahanan degup hati. Aku memberanikan diri mengutarakan peerasaan asmara yang telah menganggu pikiran sehari-hari. Kepada dirinya yang bernama Srikandi aku mengucapkan
"kita sudah cukup kenal Aisyah, dan jujur aku menaruh hati tentangmu. Bukan, bukan karena kecantikanmu di balik kerudung ungumu itu. Perasaan cintaku kepadamu aku yakini ini dari Papa yang menuntunku",
"maaf Aisyah, aku telah membuatmu kaget. Tapi aku tetap akan menunggu jawaban darimu sampai kapanpun itu"
Pukul 7 pagi 11 Februari, aku masih berdiri gelisah menunggu jawaban dari dia yang dijanjikan. Hari ini dan sungguh dari balik kegelisahan tersebut terselip akar egois yang tak mau meenerima kata tolak, seperti jemuran yang sama sekali tak menginginkan guyuran hujan menyapa bumi. Detik yang melangkah dalam durasi yang perlahan menunggu jawaban dari dia, akhirnya berhasil meresapi oase kebahagiaan yang membuat aku ingin menghentikan waktu. Agar bisa mengabdikannya secara lama. Perihal dengan awalan bismilah, kau merangkulku dan membenamkan kepalamu tepat di tengah-tengah dadaku sambil berbisik.
"Gedeon, Aku juga mencintaimu atas nama Rasulullah. Aku percaya Allah akan mempermudahkan hubungan kita, karena kita ini salah satu wujud Toleran."
Dan sungguh tak ada majas yang paling indah untuk mengilustrasikan kebahagian hati yang menerima jawaban yang teramat syahdu dari bibirmu tersebut. Yang sekaligus sebagai bukti valid bahwa cinta dapat menyatukan segala ragam perbedaaan. Beribu purnama nenemani pergantian musim. Hari-hari yang ku lalui bersama-mu teramat indah dibukukan dalam sebuah antologi cinta.
Perihal segala pertengkaran yang kadang menjadi bumbu dalam sebuah hubungan. Tak sekalipun mampir dalam hubungan kita, sebab dari caramu menemaniku sehari-hari selalu mengajarkan aku untuk tak meledak-ledak dalam sikap yang super temperamen. Dengan lantunan ayat suci Al-Qur'an dan jujur
Aku yang mulanya selalu terbawa emosi dalam menanggapi sesuatu. Di buat tak berkutik yang menjadi kalem. Ketika mendengar segala ceramah yang kau lontarkan berdasarkan hadits yang jau yakini sesuai dengan agamamu
"Aisyah, merah mata ini masih sembab dengan kenangan." Aku yang biasa hidup keras memanja padanya kekasihku.
Hari-hari kita bersama. Yang mana waktu itu dia bernotabene sebagai Muslimah dan dengan aku yang beriman Nasrani. Tak pernah sekalipun mempedulikan omongan-omongan murahan yang menguji kekuatan hubungan kita. Bahkan dengan segala kelembutan hatimu, kau tak sedikitpun memaksakan aku mengikuti keyakinanmu tersebut. Agar bisa menjadi satu masa depan yang cerah untuk sampai ke pelaminan.
"Aisyah, bagiku kau adalah titipan Malaikat yang terpapar dalam Alkitabku". Gerutuku saat selain dia selalu menceritakan indahnya Islami.
Kau juga menuntunku untuk tak melupakan hari mingguku untuk beribadah dan menghayati segala kotbah dari pastor gereja. Segala suara telah membisu mengigit bibirku dengan halaman ratapan yang menganga. Tatkala ada beberapa momen yang sangat mengharu birukan. Dalam berinteraksi di tanah Pancasilais yang mana sempat beberapa kali kita berjalan bersama, menghabiskan waktu dengan sungguhan lalapan di pinggiran jalanan senja. Seraya berdoa dengan ucapan syukur yang tak seragam, Yaitu: Tanda Salib dariku bersanding ayat-ayat Bismilah darinya. Itu selalu menjadi awalan kita untuk menyantap hidangan yang terpapar. Tanpa mempedulikan tatapan-tatapan aneh dari beribu mata yang mengelilingi meja makan kita berdua.
Durasi-durasi yang teramat indah kini harus terjerumus dalam situasi genting. Perihal bak sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan terjatuh juga. Yang menggambarkan hubungan kita akhirnya diketahui oleh kedua orang tua kita. Dan mulanya kita menganggap itu serba biasa, sebab sebelum di ketahui kita telah saling berkunjung menjalankan segala silahturahmi. Baik hari Idul Fitri maupun Desember Natal.
Namun semuanya yang kita pikirkan tak semudah membalikkan telapak tangan. Ketegasan dari orang tuanya berserta dengan orang tua ku amat keras menanggapi hubungan yang kita jalani. Bahkan mereka akhirnya melayangkan pilihan yang bukan main.
"Jika kau ingin terus bersama satu di antara kalian harus mengugurkan iman yang melekat sejak lahir"
Semenjak itu kita berpisah karena Keyakinan Agama telah mengalahkan semua. Tak terasapun sudah beberapa tahun kita berpisah. Dan aku sampai sekarang masih mengingat kejadian yang menyayat tersebut. Kala itu tekanan-tekanan yang datang bertubi-tubi, perlahan melebarkan jurang pemisah yang teramat dalam. Sehingga canda tawa bersama seakan hilang dari kehidupan kita yang masih menjalin hubungan.
Sampai akhirnya
Pukul 3 sore 2 September, dia yang menyempatkan diri bertamu di kediamanku. Secara berat mengutarakan keinginannya untuk mengikuti kepercayaanku, karena tak mau berpisah dariku.
"Gedeon 3 tahun lamanya kita berpisah. Selama itu pula pikiranku berputar-putar di namamu. Maka kehadiranku kali ini, izinkan aku menganut kepercayaanmu dan mari kita rencanakan kembali apa yang sempat terputus"
Dan jujur perkataan dia tersebut hampir membuatku mengiyakan kemauan tersebut. Karena atas dasar alibi yang sama. Namun setelah mencoba berpikir jernih, aku akhirnya dengan maaf menolaknya secara halus. Yang justru akhirnya membuatmu mengucapkan salam perpisahan untuk selama-lamanya.
Ketika itu, aku yang notabenenya adalah penulis puisi. Maka dengan mengenangmu atas cinta kita, kupersembahkan PUISI ini dia Seorang.