Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Kutip Mengutip : Respon Kasus Anggito Abimanyu...

18 Februari 2014   06:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:43 93 1
Halo, saya seorang penulis dan pengajar yang pernah tersangkut kasus serupa tapi tak sama dengan pak Anggito. Suatu saat saya pernah menulis di sebuah koran lokal, dimuat 3x edisi cetak, dan seminggu sesudahnya ada yang menghina - hina saya dengan mengatakan saya seorang plagiator. Bukti - bukti yang dia berikan sungguh meyakinkan, bahwa data - data yang saya berikan semuanya mengutip pendapat orang lain. Hal ini bahkan sampai membuat saya keringat dingin ketakutan. Dalam diri saya merenung dan mencoba membaca secara seksama lagi tulisan saya. Luar biasa. Apa yang dituduhkan memang benar adanya, karena tulisan saya memang benar mirip dengan tulisan orang lain. Hahaha...ironi bukan?

Tapi maaf...waktu itu saya menulis dengan penuh kesadaran, bahwa itu memang saya kutip tanpa menyebutkan penulis aslinya, dengan alasan bahwa data - data dari si penulis asli juga tidak menyebutkan sumber dari data yang dia peroleh karena data tersebut bukanlah sebuah kesimpulan ilmiah, hanya berupa data kuantitatif semata.

Sekarang pertanyaan saya : Si penulis aslinya mengutip darimana data - data yang saya kutip itu ? Benarkah itu data kumpulannya sendiri ? Ataukah dia juga mengutip dari orang lain, yang juga mungkin mengutip data dari orang lain yang bisa jadi mengutip dari data orang lain juga,yang sedikit mengutip orang lain, yang.... (silahkan teruskan sendiri...) .......... ?

Etika menulis memang mengharuskan kita untuk selalu menyebutkan sumber data dari keterangan yang kita tulis (teknis - teknis penulisan bisa kita baca di berbagai buku - buku tentang metode penelitian). Saya jadi teringat kalimat menyegarkan jiwa yang disampaikan pembimbing tesis saya waktu kuliah S2 dulu :

"Apapun yang anda pikirkan, se-spesifik apapun itu, 99% sudah pasti pernah dipikirkan orang lain, ditulis, bahkan dikutip berkali - kali oleh orang lain. Buka saja google, search apa yang anda pikirkan, sekejap akan muncul hasil pikiran anda tersebut, itu pun belum memikirkan soal bahasa yang ada ribuan di dunia ini. Tulisan anda bisa jadi sudah pernah ditulis oleh orang lain di belahan dunia lain dengan bahasa yang berbeda, bisa jadi pada zaman yang berbeda pula. Tugas kita adalah bagaimana menyampaikan ciri khas kita sendiri. Menyampaikan gagasan atau ide, yang kemungkinan sudah pernah disampaikan orang lain, adalah perkara yang tidak mudah, karena Anda terlebih dahulu harus menemukan jati diri dan ciri khas Anda, barulah Anda bisa layak untuk menulis"

Perkara Anggito Abimanyu memang cukup mengagetkan saya, namun kemudian membuat saya merenungkan kembali, betapa harapan masyarakat terhadap tokoh - tokoh yang ada di negeri ini sangat besar untuk dapat menemukan inovasi yang baru dan benar - benar hebat. Saya katakan : meskipun itu bisa dilakukan, tapi sangat sulit. Inovasi baru dalam menulis, apalagi tulisan yang memaparkan data - data kuantitatif, harus ditulis secara ilmiah (bukan karya sastra), harus dilakukan lewat penelusuran akademik yang memakan waktu yang tidak sedikit. Ingin inovasi baru yang benar - benar baru ? Saya bertaruh, kita tidak akan mungkin bisa melakukannya hanya dalam sehari dua hari, seminggu dua minggu, sebulan dua bulan, bahkan setahun dua tahun sekalipun.

Ini bukan tulisan untuk membela Anggito Abimanyu. Beliau mungkin salah, mungkin juga benar - benar kesalahan teknis seperti pengakuannya. Tapi ingat, kita juga yang pernah bahkan sering menulis, apakah sudah benar - benar memiliki "sense of authentication" (saya pinjam kata - kata dari salah seorang ilmuwan dari Stanford University, search saja di google) yang benar - benar sempurna ? Benarkah kita selalu memiliki keaslian sendiri yang dapat dipertanggungjawabkan setiap kali menulis ?

Saya mengajak semuanya untuk introspeksi diri. Lihatlah, kita tidak lebih istimewa dari Anggito Abimanyu. Marilah semua ketika memiliki kemauan untuk menulis, milikilah kerendahan hati yang tinggi, bahwa keistimewaan itu tidak bisa didapat dengan mudah, karena kehebatan sebuah penemuan bukanlah pada kehebatan dari temuan itu, tapi pada kerendahan hati dari penemunya. Milikilah filosofi padi.

Ini tulisan pertama saya di kompasiana. Sekian.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun