Latah revisi ,takut disadap gambaran kegamangan menghadapi gelombang demokrasi. Asap di Riau seolah tak penting, disuarakan, toh tak semua anggota dewan ngurusin capim KPK, bahkan ada pulak anggota DPR RI lebih penting nyinyir soal Esemka. Yang lain pada cuek dengan kursi empuk kekuasaan, ini semacam catatan saya pada kelas menengah yang terperangkap pada kendaraan para oligark. Kelas menengah di Eropa mengambil posisinya sebagai penyeimbang bagi kekuasaan. Kelas yang hadir membawa demokratisasi. Kelas menengah di Indonesia justru bagian dari oligarki
Demokrasi selalu menghasilkan vis a vis. Menuai hantaman, hingga jembatan  kemerdekaan belum selesai juga. Jalan tol sudah, Infrastruktur lainya juga sudah terbenahi. Ini bagian dari kerja pemerintahan agar kemerdekaan sejati diperoleh. Namun liku jalan melewati jembatan itu teramat banyak. Pemerintah juga berhadapan dengan legislator yang belum tentu berpihak secara politik. Malah justru membuat situasi agar eksekutif tunduk pada legislatif
Jefri Winters, pengamat politik AS untuk Indonesia pernah menyatakan  meskipun selama ini Indonesia cukup dikenal sebagai negara demokrasi, bahkan di beberapa hal lebih demokratis dibandingkan AS, namun ironisnya gelar negara terkorup masih sempat disandangnya. Bukti demokrasi Indonesia misalnya dalam sistem pemilu presiden dilakukan secara langsung. Selain itu jumlah partai politik lebih banyak dibandingkan AS. Oligarki menurutnya lebih banyak berbasis pada uang dan kekayaan serta dimiliki oleh sejumlah elit.
Oligarki tumbuh subur ketika, pengikut oligark, ikut menikmati meskipun hanya remah-remah saja. Pengikut ini diam, bahkan ketika berada dalam kekuasaan dengan para oligark cenderung membela. Maklum, para pengikut oligarki hidup dari rembesan pundi-pundi patronnya. Oligarki memelihara "pasukan", sebagai bentuk hegemoni. Pengikut oligarki saya sebut " kelas pekerja" yang bersifat longgar. Keberadaan hanya sisi pragmatis. Oligark membangun sistem patronase yang memerlukan simbosis mutualisme. Dalam perspektif sosiologi ada resiprositas rasional di dalamnya. Ada keuntungan material didapatkan di dalam hubungan itu
Kelas menengah Indonesia justru banyak menjadi bagian Oligark yang membekukan daya kritis. Dulu mereka adalah aktifis yang  getol menyuarakan kaum marginal. Ada semacam pergeseran nasib, sehingga saat mereka berada dalam jejaring kekuasaan malah menjadi tumpul. Mereka sekedar sebagi "konsultan" kekuasaan. Dan lahirlah para konsultan dengan perspektif kekuasaan bukan lagi persepektif akar rumput (grass root). Ini juga bagian-bagian yang lahir dari cara kerja politik para oligarki.