[caption id="attachment_199131" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Bukan rahasia lagi jika dokter-dokter kita dimanjakan dengan berbagai fasilitas dari produsen obat. Mulai dari bonus tahunan, seminar / wisata ke luar negeri, mobil, sampai rumah, menjadi tanda terima kasih karena dokter meresepkan produk mereka. Hal ini tentu saja punya andil dalam mendongkrak harga obat di Negara kita. Teman saya yang seorang apoteker sekaligus pemilik apotek pernah bercerita bahwa dia sering kali mendapati dokter meresepkan beberapa obat yang kegunaannya sama. "Saya berusaha menjelaskan kepada si pasien bahwa obat yang pertama fungsinya sama saja dengan yang ke dua, tapi pasien tentu saja lebih percaya kepada resep dari sang dokter," katanya. "Bayangkan saja jika si pasien mengkonsumsi obat yang dosisnya menjadi dua kali lebih banyak , tiga kali sehari, selama tiga sampai empat hari , tambahnya menjelaskan. "Saya saja yang apoteker dan punya apotek kalau hanya sakit kepala atau flu tidak pernah minum obat, cukup minum air putih hangat lalu tidur ataupun minum vitamin'' ... Tapi tentu saja tidak semua dokter seperti itu. Beberapa waktu yang lalu saya mendatangi seorang internis , kebetulan dokter tempat saya konsultasi sebelumnya sedang keluar kota pada saat itu. Seperti biasa sebelum memeriksa pasien sang dokter akan membuka percakapan. ‘'Keluhannya apa bu? ‘' Ini dok, saya kena ISK, kata saya sambil menyodorkan hasil lab urin. Setelah membaca hasil lab tersebut , saya kemudian diperiksa dengan seksama. Saya menjelaskan bahwa beberapa bulan terakhir rutin periksa darah dan urin karena sempat di diagnosa terkena
syndrome nefrotik yang kemudian diubah menjadi ISK. ‘'Saya minta resepnya dok, saya kok nggak sembuh-sembuh ISK nya ? Tanya saya. ‘' Dengan hasil lab seperti ini, apa yang harus saya resepkan? dokter balik bertanya. " Tapi kan beberapa diantara hasil lab itu di atas normal ? tanya saya lagi. Saya kemudian terlibat diskusi panjang lebar dengan sang dokter sambil menceritakan riwayat penyakit saya dari awal, semua obat yang saya konsumsi dan pemeriksaan lab apa saja yang telah saya lakukan. Tidak banyak dokter yang bisa diajak diskusi, karena pada umumnya dokter tidak senang menghadapi pasien yang cerewet, atau mungkin karena dianggap pasien yang sok tahu. "Jadi saran dokter ke saya apa ?, Saya harus ke dokter spesialis apa, atau periksa lab apa? "Saya sarankan Ibu ke dokter jiwa saja", katanya sambil tersenyum. " Haa ??? " Rasa takut ibu yang berlebihan itu yang harus diobati. Kalau ibu seperti ini terus, ibu akan jadi sasaran empuk dokter - dokter yang senang memberi obat dan juga sasaran empuk bagi laboratorium swasta, obat-obat yang ibu sebut tadi mahal kan, begitu juga dengan cek darahnya? Rasanya masih ingin bertanya lebih banyak lagi pada sang dokter, tapi sadar di luar masih ada beberapa residen yang menunggu giliran, saya segera pamitan sambil bertanya, "Berapa dok? " Oh, ibu tidak perlu bayar,'' " Tapi saya kan sudah diperiksa dan menyita banyak waktunya dok, saya jadi tidak enak nih ! " Saya senang bisa membagi ilmu dengan ibu, cukup hilangkan pikiran bahwa ibu sakit, insya Allah ibu akan baik-baik saja". Sambil mengucapkan terima kasih saya membatin, ‘'Kalau saja satu dari lima dokter bisa seperti ini......''
KEMBALI KE ARTIKEL