Setelah masa tenang seusai kampanye, dilanjutkan dengan Pemilu 9 Juli, ternyata suhu politik tidak menurun. Sebenarnya saya merasa risih untuk menulis lagi tentang pemilu, harusnya ini adalah masa tenang, terlebih sehari sebelum pencoblosan (8 Juli) Israel kembali menyayat rasa kemanusiaan dengan membombardir wilayah Gaza dan membunuh warga sipil dan anak-anak. Namun saya juga merasa tulisan ini penting sebab suhu politik terkini semakin rawan akan konflik. Pelaku kepentingan Pilpres seakan menemukan gelanggang baru untuk berperang: Quick Count.
Sebanyak 11 lembaga survey merilis datanya, 7 diantaranya menunjukkan kemenangan Jokowi-JK, 4 lainnya merilis kemenangan Prabowo-Hatta. Perayaan kemenangan pun sontak digelar, kubu Jokowi mengambil tempat di tugu Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, sementara Prabowo bersama Hatta Rajasa, Aburizal Bakrie dan rekan koalisi lainnya melakukan sujud syukur usai konferensi pers kemenangan di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Masyarakat bingung, apa yang terjadi, siapa yang menang?. Masing-masing mengklaim menang berdasarkan data Quick Count, meski tak lama setelah itu Prabowo menyatakan tidak sepenuhnya percaya dengan hasil perhitungan cepat tersebut.
Meski begitu, apa yang disuguhkan oleh elit politik berdampak serius untuk kestabilan politik Indonesia kedepan. Ini adalah permainan tokoh elit politik yang terbilang nekat. Apa jadinya jika masing-masing pendukung sudah meluapkan kegembiraan, sebagian katanya sudah menggunduli rambut, sebagian lagi menyembelih kambing. Pada kondisi keyakinan seperti itu, massa gampang terprovokasi jika pengumuman resmi KPU nantinya tidak seperti keyakinan mereka.
Kenekatan elit politik ini juga ternyata disahuti oleh media TV mainstream. TVOne dan sejumlah televisi dalam naungan MNC group merilis 4 hasil Quick Count yang memenangkan Prabowo-Hatta, sementara MetroTV dan televisi lainnya merilis hasil 7 lembaga survey yang memenangkan Jokowi-JK. Ini juga keputusan nekat mengingat salah satu kubu pasti melakukan kebohongan, seperti yang dinyatakan oleh Jodhi Yudono seniman sekaligus jurnals senior dalam catatannya di Kompas.com. Dampaknya, jika terbukti salah, kredibilitas media akan dipertanyakan. Dan bagi media, kredibilitas adalah segalanya. Sebuah media besar tidak ingin mempertaruhkan semua kredibilitasnya karena uang atau kepentingan. Sejumlah uang tidak sebanding jika media tersebut hilang kepercayaan dan ditinggalkan pembaca atau penontonnya.
Fungsi Quick Count
Quick Count sebenarnya merupakan alat pembanding dan juga sebagai kontrol bagi pelaksana Pemilu (KPU). Ada dua bentuk survey yang dijadikan alat pembanding yakni Quick Count dan Exit Poll. Quick Count merupakan hasil hitung cepat dari berbagai sample TPS yang disebar di wilayah-wilayah suara strategis, sementara Exit Poll adalah hasil wawancara kepada pemilih sesaat setelah dia memilih. Karenanya para pengamat lebih percaya dengan Quick Count daripada Exit Poll karena lebih didasarkan pada data statistik yang kuat dari pada pendapat hasil wawancara yang rawan bias.
Dari sejarahnya metode ini pertama kali dikenalkan pada pemilu di Filipina tahun 1986, ketika Marcos bertarung melawan tokoh oposisi Cory Aquino. Kemudian disempurnakan dengan data statistik pada pemilu di Chili 1988. Hasil hitung cepat di Filipina memenangkan Cory Aquino, sementara hasil resmi pemilu justru memenangkan rezim diktator Marcos. Inilah awal gerakan people power yang menggulingkan Marcos.
Begitu pula Pemilu di Ukraina November 2004 antara Viktor Yanukovych calon incumbent melawan Victor Yushchenko, saat pengumuman resmi menyatakan kemenangan bagi Viktor Yanukovych, hasil Exit Poll malah menunjukkan sebaliknya, dan Quick Count juga menunjukkan bukti-bukti pelanggaran pemilu. Hal ini menuai reaksi keras masyarakat dan akhirnya pemilu diselenggarakan kembali dengan kemenangan Yushchenko.
Dari pengalaman tersebut, perlu diperjelas apakah 11 lembaga survey Pilpres kali ini semuanya menggunakan metode Quick Count atau ada yang menggunakan Exit Poll. Kepastian ini harus dipertegas, sebab kredibilitas lembaga survey akan dipertaruhkan. Dengan kata lain masyarakat bisa jadi tidak akan percaya dengan hasil survey, jika hal itu terjadi, tidak ada lagi data pembanding yang akan mengontrol dan meminimlisir kecurangan penyelenggara pemilu (KPU). Lembaga survey yang nakal sudah seharusnya diberi sanksi tegas, karena dapat mencederai proses demokrasi. Olehnya kehadiran lembaga seperti Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) yang bisa mengaudit memberi sanksi lembaga survey saat ini menjadi sangat penting.
Sejauh ini saya belum mendapatkan informasi dimana terdapat data Quick Count berbeda satu sama lain, yang saya dapatkan Quick Count dan Exit Poll sebagai alat kontrol terhadap data resmi KPU. Namun jika di Indonesia hasil survey ini berbeda satu sama lain, ini adalah keajaiban.
Apa jadinya jika rezim Marcos di Filipina juga menyewa lembaga survey? Mungkin akan ia lakukan jika pertarungannya di Indonesia.
___
Palu, 11 Juli 2014/13 Ramadhan 1435H
Gambar ilustrasi: askingsmarterquestions.com