Sebagai alat komunikasi yang senantiasa digunakan manusia dalam berinteraksi dengan makhluk sosial lainnya, bahasa memiliki sifat arbitrer (Chaer, 2009). Sifat manasuka bahasa ini menjadi penting jika apa yang dimaksud oleh seseorang berbeda dari bentuk lingual yang digunakannya.Â
Dalam ilmu linguistik, ada sebuah istilah yang biasa disebut tindak tutur. Istilah ini mungkin tidak terlalu dipahami oleh semua orang, namun setiap orang pasti mempraktikannya dalam kehidupan berbahasa setiap hari.
Tindak tutur merujuk pada tuturan atau ujaran atau bentuk bahasa yang mengandung maksud atau tujuan dan mungkin saja mempengaruhi lawan bicara atau pendengarnya.Â
Tindak tutur dapat berupa bunyi, kata, frasa, kalimat, atau tuturan yang mempunyai maksud tertentu dan memiliki pengaruh terhadap lawan tutur atau pendengarnya.Â
Contoh sederhananya, dalam konteks sebuah kelas yang cukup gaduh, dengan lantang seorang Guru berujar "Ini kek di pasar yaa..." seketika kelas manjadi sunyi. Keheningan terjadi tentu karena para siswa mampu memaknai tindak tutur yang dipakai guru dalam ujarannya.Â
Sang guru tidak meneriakan perintah untuk diam, sang Guru juga tak mengajukan permohonan untuk tak bersuara namun ada makna tersirat yang sudah dipahami oleh kelompok sosial ini bahwa di balik tuturan yang diujarkan ada tindakan yang menyertai.Â
Ada tindakan permohonan untuk tenang bahkan jika dengan nada yang meninggi maka dimaknai sebagai perintah untuk tak membuat keributan. Ini adalah contoh paling sederhana bagaimana tindak tutur memainkan perannya dalam kehidupan berbahasa.
Bisa terlihat bahwa seringkali dalam peristiwa bahasa, makna yang terbangun dari sebuah argument atau sebuah ujaran bisa saja berbeda dari bentuk yang diujarkan.Â
Di sinilah uniknya bahasa. Apa yang kita ujarkan belum tentu mewakili apa yang kita pikirkan apalagi memperlihatkan secara jelas apa yang dimaksudkan lewat ujaran. Pendengar serta merta diajak untuk membangun makna dari apa yang penutur ujarkan.
Selaju dengan pesatnya perkembangan teknologi, bahasa tidak hanya digunakan dalam bentuk lingual di dunia nyata atau biasa kita sebut percakapan langsung, namun bahasa juga memainkan peran penting sebagai alat komunikasi dalam ruang virtual.Â
Dalam penggunaan di media siber, ada banyak cara penutur menyampaikan maksud dari ujarannya, ada yang disampaikan secara literal atau bermakna langsung (pertanyaan memang untuk bertanya), namun tak jarang juga yang terkesan membingkai makna ujarannya dalam pigura idiomatik.
Chaer (2007) berpendapat bahwa Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal.Â
Seumpama, secara gramatikal bentuk jual buku bermakna, yang menjual menerima uang dan yang membeli menerima buku; bentuk jual sepatu bermaknayang menjual menerima uang dan yang membeli menerima sepatu; tetapi bentuk jual muka tidaklah memiliki makna seperti konsep itu, melainkan bermakna memperagakan diri untuk menarikperhatian atau mencari keuntungan (misalnya mendapat pujian atau hadiah) jadi, makna seperti yang dimiliki bentuk jual muka itulah yang dimaksud dengan idiomatikal.Â
Singkatnya istilah idiom kita labelkan pada kata atau frasa yang memiliki makna khusus yang biasanya tidak sesuai dengan makna unsur pembentuknya. Penggunaan idiom ini juga mulai banyak kita temukan dalam tanggapan-tanggapan di berita media siber atau bahkan digunakan dalam kolom komentar di berbagai platform media sosial.
Sejalan dengan perkembangannya, fenomena berbahasa makin selaras dengan ungkapan bahwa bahasa adalah milik masyarakat pemakainya. Tidak hanya menjalankan peran sebagai alat komunikasi, bahasa juga terkadang menjelma sebagai ikon identitas atau symbol status sosial penuturnya, sekaligus menjadi media pengaktualisasian diri terkhususnya pada ranah dan register tertentu (Sumarsono, 2002).Â
Kita ambil contoh penggunaan bahasa khususnya penggunaan idiom pada komunitas jurnalis tentu saja akan berbeda dengan penggunaan bahasa pada komunitas politik apalagi komunitas remaja, ini juga dapat terjadi karena masing-masing komunitas memiliki makna konvensional yang mungkin berlaku tidak umum namun merepresentasikan penggunanya.
Penggunaan bahasa dalam berbagai ranah inipun sebenarnya tidak terlepas dari berbagai faktor. Salah satunya faktor kesantunan. Dalam berbahasa, nilai -- nilai budaya dan faktor sosial memengaruhi cara berbahasa seseorang di lingkungannya.Â
Aspek -- aspek sosial ini bisa bersifat real, nyata, melekat pada diri manusia atau bahkan tergantung kepada situasi dan konteks pembicaraannya. Di mana sebuah tuturan terjadi, maknanya tidak hanya bergantung pada wacana yang dibangun oleh argument, namun tentu berkorelasi dengan siapa penutur, siapa petutur, dimana terjadinya tuturan, dana pa tujuan tuturan dan dalam situasi tutur seperti apa ujaran itu terjadi.
Dalam berkomunikasi, ada beberapa konsep kesantunan yang dikemukakan oleh para ahli dengan menyebutkan kaidah-kaidahnya masing-masing namun kesemuanya itu merujuk kepada pemahaman bahwa kesantunan tidak hanya terungkap dalam percakapan, tetapi juga dalam cara percakapan yang dikendalikan oleh pemeransertanya (participant).Â
Contohnya, dalam percakapan, perilaku- perilaku tertentu mengandung implikasi-implikasi tidak sopan, seperti berbicara atau menyela pada saat--saat yang tidak tepat atau diam pada saat yang keliru.Â
Karena itu, ketika menuturkan sesuatu maka penutur kadang-kadang merasa perlu untuk berstrategi dan menggunakan tindak tutur yang sedang dilakukan atau yang dilakukan pemeran serta (participant) yang lain, supaya kita dapat memohon suatu jawaban, meminta izin untuk berbicara, bahkan menggunakan ungkapan-ungkapan atau idiom untuk menunjukkan value kesopanannya.Â
Untuk menghindari pelanggaran norma kesopanan dalam perbincangan di ruang nyata, secara sosial biasanya penutur mempertimbangkan beberapa hal sebelum melakukan pertuturan, misalnya: (1) perbedaan status atau kedudukan sosial di antara kedua komunikan sebagai bentuk kekuasaan. Kekuasaan (power) yang dimaksud sangat dipengaruhi oleh faktor sosial, yaitu usia, pendidikan, jabatan/pekerjaan, derajat keturunan atau status kebangsawanan yang bersangkutan, dan tingkat ekonomi; (2) jarak sosial atau hubungan keakraban antarkeduanya (solidaritas), (3) bobot relatif pengungkapan tindak tutur itu di dalam masyarakat yang bersangkutan, yang dalam tulisan ini bobot relatif tersebut dilihat berdasarkan  ada tidaknya partisipan lain (publik) (Brown-Levinson, 1987: 15). Hal ini juga terbawa saat komunikasi terjadi di ruang siber, secara sengaja penutur memilih idiom-idiom tertentu untuk membuat isi tuturannya tidak menjadi sangat kasar atau melanggar maksim kesopanan.
Eufemisme adalah penghalusan makna kata yang dianggap tabu oleh masyarakat. Eufemisme digunakan untuk menggantikan atau menutupi kata dan ungkapan lain yang dianggap tabu, kasar, dan tidak pantas (Alwasilah, 2007). Eufemisme mewarnai penggunaan bahasa di ranah virtual terkait maraknya postingan-postingan di media siber yang ingin dikomentari atau sekadar ingin menyeruakan kekesalan namun terbentur UU terkait ujaran-ujaran yang bernada kebencian.
Beberapa bentuk idiom yang terdapat dalam bahasa Indonesia yang sering kita temukan di dalam percakapan khususnya di media siber seperti 'kupu-kupu malam'yang artinya pelacur atau wanita tunasusila, bentuk tersebut jauh menyimpang dari makna kata pembentuknya, yaitu kata kupu-kupu" yang berarti sejenis serangga yang bersayap dan kata "malam" yang berarti waktu setelah matahari terbenam  hingga matahari terbit.Â
Kemudian ada 'kambing hitam' yang berarti orang yang dalam suatu peristiwa sebenarnya tidak bersalah tetapi dipersalahkan atau dijadikan tumpuan kesalahan,terbentuk dari kata 'kambing' yang merupakan dari seekor binatang dan kata 'hitam' yang berarti bagian dari suatu warna. Hal sama berlaku juga pada kata 'tangan kanan' yang berarti pesuruh atau bawahan, terbentuk dari kata "tangan" yang merupakan bagian dari anggota tubuh dan kata "kanan" yang merupakan bagian arah, atau sisi bagian badan kita.
Ada juga beberapa bentuk eufemisme yang sering terlihat pada komentar-komentar di media siber seperti kata korupsi, kelaparan dan dipecat yang digantikan dengan kata-kata seperti komersialisasi jabatan, dinon-aktifkan, rawan pangan,yang menurut penuturnya adalah hal yang berkonotasi negative sehingga digantikan dengan kata-kata eufemisme.
Secara khusus tuturan atau ujaran yang menggunakan bentuk idiom di media siber merupakan pilihan atau keputusan penutur sebagai strategi atau taktik eufemisme tuturan yang bisa saja mengandung sindiran yang membentuk stereotype tertentu atau pola berbahasa orang tertentu. Semua kembali pada aspek inti yang perlu dipertimbangkan ketika membangun makna, Siapa penutur, kepada siapa dan dengan maksud apa tuturan diujarkan, semua ini akan dikaitkan dengan konteks untuk mengungkap makna yang sebenarnya di balik sebuah tuturan.