Hari ini citra sedang berjalan -jalan mengelilingi taman dengan mobil ayahnya. Citra melihat dari dalam mobil, seorang anak tengah riang bermain ayunan di taman. Dalam benaknya citra teringat, enam bulan yang lalu, bahkan sampai sekarang. Anjuran pemerintah, stay at home. Keluar jika perlu, jika penting, jika genting. Sehingga pengunjung taman tidak seramai dahulu. Hanya satu dua orang saja.
Citra masih memandangi anak itu berayun-ayun.
"Tiinn.. Tiinn.. Tiinn" Suara klakson silih berganti. Citra baru sadar, dia menghentikan mobilnya ditengah jalan.
"Astagfirullah". Citra pun langsung memarkirkan mobilnya di pinggir jalan.
Setelah mobil terparkir dipinggir jalan. Citra melanjutkan pandangannya ke anak yang sedang bermain ayunan. Citra tersenyum lebar, tanpa terasa air mata mengalir.
Andaikan aku seusianya.
Andaikan aku bisa bermain sesuka hati.
Andaikan hidupku tanpa beban sepertinya.
Riang, senang, tenang. Tanpa memikirkan banyak hal.
Citra mengusap air matanya, perlahan. " You can do it!" gerutunya, menguatkan diri sendiri.
Pengusaha mikro yang nyaris bangkrut itu menghela nafas menenangkan diri. Toko yang masih seumur jagung ia bangun sebagai pekerjaan sampingan itu tak disangkanya hampir gulung tikar. Citra terlilit hutang. Tempat dia bekerja pun tidak ada kejelasan kapan upahnya akan diberikan.
Belum tagihan kosan, tagihan uang kuliahnya. Hitungan hari, jika ia tidak melunasi administrasi kuliahnya. Citra tidak bisa mengikuti ujian.
Risegn? bukan jalan keluar. Baik-baik keluar, tidak pasti upah dua bulannya dibayar cepat. Keluar saja tanpa izin, dua bulan upah tidak mungkin dibayarkan. Dua bulan upah bukan sesuatu yg mudah diikhlaskan. Apalagi mencari kerja lagi tidak semudah dulu sebelum adanya pandemi.
Menagih hak? Sementara citra tau, bosnya sedang sakit, dan keuangan perusahaan sedang carut marut. Tidak cukup itu, kerabatanyapun mengatakan, rumah tangganya sedang ada masalah.
Mogok kerja? Apa enggak malah di berhentikan tanpa hormat.
Jadi, apa yang harus iya perbuat. Bak, menelan bulat-bulat simalakama.
Menagih haknya? Atau mempertahankan rasa simpatinya?.
Sementara dari pihak atasanpun tidak mengatakan apapun, perihal maaf atas keterlambatan. Atau terimakasih atas pengertian satu bulan lalu karyawannya sudah bersedia menunggu.
Apakah ada bulan ketiga yang menunggak? Ah entahlah. Menagih hanya membuatnya pegal hati. Kalau tidak disuruh menunggu lagi, mungkin dicaci maki. "Apa kamu tidak bisa bersabar! , kami sedang mengusahakan!. Apa kamu tidak bisa sedikit saja punya rasa simpati? , pasti kami bayar.! Bos masih sakit keras! perusahaan sedang menurun pendapatannya! " Citra membayangkan cacian dari atasannya itu.