Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Lelaki Kenari

21 Februari 2011   09:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:24 100 0
Kami sekeluarga tak mengenalnya, pun lupa tuk menanyakan namanya. Bahkan, merekam wajahnya dalam ingatan pun kami tak sempat. Kelak, jika bertemu lagi, saya mungkin tak mengenalinya lagi. Pertemuan kami pagi itu berlangsung sangat singkat, ia datang di sebuah pagi yang sangat belia lalu berlalu. Semuanya tak lebih dari lima menit.
Malam ini, sembari menyeruput teh jahe dan menggigit pelan kue bertabur kenari buatan ibu, saya berusaha melukis wajahnya dalam ingatan. Saya tak berhasil. Hanya perawakan tubuhnya yang terbayang. Ia lelaki kurus dengan tinggi yang lumayan, sepertinya lebih dari 170 cm. Pagi itu ia berkemeja kuning dengan kotak-kotak hitam tipis. Ia mengenakan jeans lusuh, selusuh kemejanya.
Pertemuan yang singkat itu adalah pertemuan kedua kami, jika interaksi pertama kami bisa disebut dengan pertemuan. Di sebuah pagi yang lain, yang lebih belia dibanding pagi kedua, Ia mengetuk seng pintu darurat toko kami. Saya masih terjaga saat itu. “Saya mau bayar hutang rokok sebatang,” katanya dari balik seng. Saya bergeming, “Nanti saja, kami belum buka toko Pak” jawab saya sembari menahan kantuk yang mulai menyerang.
Sesekali hujan meredam suara lelaki itu. “Saya akan pulang kampung, saya merasa tidak enak kalau belum bayar hutang” teriaknya. Dan saya, tetap bergeming. “Mana ada orang yang bayar hutang sepagi ini ketika orang-orang masih terlelap dalam tidur” begitu pikir saya. Selain kantuk, kilasan berbagai modus kejahatan yang sering diberitakan tivi dan koran, membuat saya tak beranjak untuk membukakan pintu. Mugkin karena bosan menunggu, Ia pun pergi. Kami tak sempat bertukar pandang.
“Lelaki itu memang pernah saya beri rokok sebatang,” tutur Ibu ketika membuat kue yang sedang saya makan. Ibu pun akhirnya bercerita, lelaki itu pernah datang di sebuah pagi yang lain. Saat itu Ibu baru saja membuka toko dan lelaki itu datang dengan tubuh dan pakaian yang kuyup karena hujan. Ia sedang mencari alamat adiknya yang kos di sekitaran rumah kami.
Lelaki itu kehabisan uang setelah tersesat sampai ke daerah Daya. Ia berasal dari Selayar, pulau di sebelah selatan propinsi ini. Pada pagi yang hujan itu Ia ingin mengusir dingin dengan rokok tapi Ia tak punya uang lagi. Ibu pun memberinya sebatang rokok. “Saya memberinya dengan ikhlas, bukan kasi utang” kata Ibu. Ibu bahkan menyesal tak memberi makan pada lelaki itu karena Ia belum lagi memasak sepagi itu.
Malam ini, saya mengunyah kue bertabur kenari dan kembali mencoba membayangkan wajah lelaki itu. Dan, saya tak berhasil. Hanya punggung lelaki itu yang hadir dalam ingatan saya. Ia melangkah bergegas usai memberikan sebungkus buah kenari, yang kutaksir beratnya tak kurang dari sekilo. “Maaf, hanya ini yang bisa saya berikan untuk membayar utang saya dan pertolongan Ibu hari itu” katanya lalu pergi.
Harga sekilo kenari tentu jauh lebih mahal dibanding rokok sebatang. Kami sekeluarga tertegun saat itu dan tak sempat menanyakan namanya. Hingga malam ini, dimana saya menghabiskan kue bertabur kenari pemberiannya, saya tak berhasil menghadirkan wajahnya dalam ingatan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun