Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe Pilihan

1980, Tahun Pertama Saya Menonton Bioskop (Anda?)

3 Februari 2014   22:17 Diperbarui: 8 Agustus 2021   07:59 276 7

Saat membaca kembali buku karangan Dave Pelzer, a Child Called It tadi, ingatan saya kembali ke masa lalu saat menonton film yang berjudul Arie Hanggara (1985). Saat menyatukan kembali kepingan-kepingan ingatan itu membuat saya bertanya-tanya, tahun berapa ya pertama kali saya menonton bioskop saat masih bocah?


1980. Yup, tahun itu keluarga kami baru pindahan ke Surabaya. Berhubung tak satupun dari kami yang bisa berbahasa Jawa-Suroboyoan membuat keluarga kami jadi mudah dikenali orang. Saya sendiri saat itu masih seumuran anak TK (Taman Kanak-Kanak). Karena logat kami dianggap lucu, maka banyak para tetangga yang senang mengajak kami bermain bersama. Termasuk anak seorang tetangga sebelah rumah.


Satu ketika, ibu teman ini mengajak kami, saya dan kakak, untuk menemani putranya menonton bioskop. Saat itu saya masih belum tau bioskop itu maksudnya apa. Menurut saja, kami berangkat bersama menuju bioskop ‘Garuda’ namanya. Letaknya di satu sisi Jalan Blauran sana. Memasuki gedung bioskop yang dingin dan besar itu membuat jantung saya berdetak tak keruan. Tadinya saat masuk, suasana di dalam bioskop masih terang benderang. Di tengah keramaian para penonton saya hanya duduk diam sambil sesekali menoleh ke depan dan belakang. Wajah saya begitu tegang. Ketika tiba-tiba lampu dimatikan, yang saya lihat hanya sebuah layar besar yang menyala terang di depan. Pelahan tubuh saya pun gemetar, entah karena menahan dinginnya AC atau karena ketakutan, sama sekali nggak tercatat di pikiran. Yang masih jelas terekam adalah saat gambar dan musik mulai dimainkan, teman kecil saya nyeletuk, ‘Mah, tivinya kok besar sekali ya?’ Pertanyaan yang menjengkelkan. Saya percaya jika saat itu kami berada di luar, wajah sang mamah akan terlihat serupa udang galah yang dipanaskan. Kemerah-merahan.


Saya ingat hari itu kami menonton film ‘Buah Hati Mama’. Sebuah film garapan Sophan Sopiaan yang sangat menyentuh. Satu karakter yang saya suka dalam film itu adalah ‘Eka’. Dari awal film hingga berakhir kisahnya membuat saya beberapa kali menitikkan airmata. Di benak kanak-kanak saya, film itu seperti kisah nyata yang benar-benar terjadi detik itu juga. Sehingga saat pulang pun saya nyaris tak bisa tidur lagi di rumah. Menangis jika teringat nasib malang si ‘Eka’.


Setelah itu sama sekali kami tak pernah lagi pergi ke bioskop untuk menonton film. Sampai satu kali saat perayaan 17 Agustus-an (tahunnya lupa), kampung kami mengadakan acara nonton ‘MisBar’ (gerimis bubar) alias nonton bareng warga sekampung di balai desa (sekarang balai RW namanya). Waktu itu kalo nggak salah yang diputar adalah film ‘Janur Kuning’. Lagi-lagi saat melihat layar yang sedemikian lebar, kembali kami melongo dibuatnya. Masih teringat saya dan teman-teman menonton film itu sambil nangkring diatas got yang sudah kering tak ada airnya (saya sudah lupa bagaimana baunya kok sampai nekat duduk di atas sana). Adegan paling berkesan dalam film itu adalah saat seorang bocah ingusan menangis mencari ayahnya sambil berkata, ‘Pak’e.. Pak’eee..’ Lagi-lagi saat kembali ke rumah, saya tak bisa tidur dibuatnya. Terbayang terus bahwa di luar sana betulan ada seorang anak kecil yang sedang menangis mencari-cari bapaknya.


Memasuki tahun 1982 adalah kali ke-dua saya menonton bioskop. Itu jaman saya duduk di bangku Sekolah Dasar. Ada satu tontonan yang wajib dilihat saat itu, ‘Pengkhianatan 30S/PKI’ judulnya. Saat itu dengan bangga saya bercerita bahwa saya sudah pernah menonton bioskop (waktu itu banyak teman yang belum pernah menonton bioskop kecuali MisBar). Saat film bubar, lagi-lagi saya tak bisa memejamkan mata karena terus teringat adegan ketika Mayjen R Soeprapto sedang dilukai wajahnya (nangis).


Tahun 1985 adalah kali ke-tiga sekaligus yang terakhir kalinya di usia Sekolah Dasar saya menonton bioskop. ‘Arie Hanggara’, demikian judul filmnya. Film yang menyayat hati itu salah satu yang  membuat saya sama sekali ngeri dengan kata ‘ibu tiri’.


Sejak tahun 1985 itu tak pernah lagi saya pergi ke bioskop. Selain karena bayarnya mahal, mengingat keluarga kami bukan termasuk kategori keluarga yang berlebihan, juga karena yang biasanya mengajak kami nonton bioskop sudah pindah rumah. Jadilah saat-saat itu kami hanya bisa menonton film-film bioskop lewat putaran kaset video beta di player seorang sepupu saya.


Meski tema film jaman tahun 80-an itu sangat sederhana, entah kenapa masih terus melekat di benak saya. Mulai dari film dewasa yang sama sekali nggak saya mengerti alur ceritanya seperti ‘Perempuan Dalam Pasungan’ karena ada adegan saat si cantik diminta untuk makan tahi ayam oleh sang ayah (adegan yang membutuhkan puluhan tahun bagi saya untuk bisa memahami dengan benar artinya, bahkan hingga sekarang). Kemudian ‘Darna Ajaib’ yang membuka mata kanak-kanak saya bahwa di dunia ini akan selalu ada si baik dan si jahat dengan hukum alam yang sampai hari ini tak terbantahkan, bahwa pada akhirnya kebaikanlah yang akan selalu menang.  Juga ‘Nakalnya Anak-Anak’ yang membuat saya jatuh cinta setengah mati sama artis Ria Irawan. Hingga film ‘Gejolak Kawula Muda’ yang sempat membuat saya jadi belajar bagaimana melakukan gerakan tari kejang, meskipun terus menerus gagal dan hasilnya sangat mengecewakan. Hadeeehh.


Nah, itu kisah saya.

Bagaimana dengan anda?

Salam nostalgia!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun