Jangan kamu mengira, bahwa dia tidak tahu. Pada akhirnya dia tahu, panggilan seperti apa yang ditujukan kepadanya secara sembunyi-sembunyi. Entahlah, seperti apa rasa sakitnya.
Jangan kamu mengira, bahwa dia memiliki kesabaran yang luar biasa. Bukankah kita sering dimarahi, hanya karena keributan-keributan yang kita lakukan? Apakah engkau tidak ingat, ketika dia memarahi kita dengan segenap serapah, sementara matanya memerah. Menahan tangis. Suaranya, kawan. Suaranya tidak bisa membohongi kita, bahwa seharusnya ada ledakan tangis yang membubung ke langit-langit ruangan dan siap meruntuhkan keteguhan hatinya. Runtuh menjadi serpihan-serpihan debu keputusasaan.
Jangan kamu mengira, bahwa dia memiliki keteguhan hati. Percayalah, ada saat-saat tertentu dia berpikir untuk meninggalkan pilihannya. Meninggalkan idealisme yang telah merampas masa mudanya. Percayalah, kawan. Bahkan berulang kali dia diserang oleh palu keputusan untuk meninggalkan kita. Entahlah, apakah kini idealismenya telah berubah menjadi pesimisme? Saya harap, tidak. Tidak. Jangan …
Lalu kita bangga dengan segala tindakan kita. Seperti digiring oleh angin senja yang mengantar kita pada malam, hati kita telah tertutup dengan segala kebodohan kita. Kebodohan, kawan. Ingatlah itu, ketika kamu melihatnya sebagai kebanggaan!
Tahun demi tahun berlalu. Kini rambut putih sudah semarak di kepalamu. Apakah kamu masih mengingat dia yang memberikan kepada kita segala pengetahuan yang mengantar kita pada hikmat? Katakan saja pada udara yang kamu hirup dan hembuskan itu. Biarkan mereka berbisik kepada dia yang masih merajut hari dengan serangkaian kelelahan, keteguhan dan air matanya. Jangan kamu canggung, kawan. Bisikkan saja melalui angin dingin di bulan Juli ini. Hmm … ssshhtt!
Angin, bawalah pesanku padanya. Bisikkan di telinganya seuntai kalimat. Walaupun hanya tiga kata, sesungguhnya saya tidak berani mengucapkan langsung di telinganya; “Terima kasih, Guruku …, terima kasih …, terima … kasih …”