Sepagi ini, ketika hujan masih turun dengan derasnya, aku sudah berada dalam perut Merpati yang membawaku pulang kampung. Ini bukan kepulangan yang kurencanakan. Bukan karena ingin bakar lilin di pusara ayah, bukan karena ingin mempersunting Gadis, istri tungkuku di kampung, dan bukan pula untuk merayakan Paskah bersama keluarga. Aku pulang karena Poli yang memintanya. Semalam, jari terakhir Poli lenyap dari tempatnya. Bagaimana hal ini terjadi, siapa yang melenyapkannya, di mana kini ia berada, tak ada yang tahu, Poli pun tidak. Para cenayang yang terkenal tangguh di kampung juga belum mampu menemukannya.
Aku kembali tak hanya karena Poli adalah sahabatku. Tetapi karena aku merasa, akulah penyebab petaka ini. Bukan penyebab langsung, tapi penyebab tak langsung lebih tepatnya. Aku kembali untuk mencoba menyembuhkannya. Aku bukan penyembuh, aku bukan pendoa. Aku pulang berbekal bisikan dari Ki Jaka Pintar, perihal cara mendapatkan kembali jari terkahir Poli. Aku tak yakin apakah cara ini akan berhasil, mengingat musim hujan yang buruk ini. Aku berharap dan berdoa, setibanya aku di kampung, hujan perlahan-lahan jadi gerimis, silahkan sinar matahari menyentuh bumi. Saat itulah, aku bisa mencoba menyembuhkan Poli.
Bila jari terakhirnya tak segera ditemukan maka petaka berlipat-lipat akan dialami Poli. Bukan hanya perjuangannya, bukan hanya cita-citanya yang sirna tapi juga hidupnya akan tamat. Poli tidak akan berani menikahi Nadia, tiket baginya menuju kemenangan. Aku yakin, sungguh-sungguh yakin, cincin bertuah, cincin pelangi namanya, yang melingkari jari terakhirnyalah yang membawanya pergi. Aneh dan tak masuk di akal bukan? Tapi ini sungguh-sungguh terjadi. Hidup di kampung, semuanya bisa menjadi mungkin.
Jangan menuduhku sebagai sahabat yang jahat, tak punya hati untuknya. Ketahuilah, sebagai sahabat yang baik, aku pernah mengingatkannya untuk tidak menggunakan barang-barang bertuah itu. Begini kataku dulu padanya, tuah tak pernah datang sendirian. Ia datang bersama saudara kembarnya tulah. Tulah pun tak pernah datang tanpa kekasihnya tumbal. Tuah. Tulah. Tumbal.
“Sahabatku, tingggalkan niatmu ini. Kamu mungkin mendapat bahagia karena rejeki sekejap mata tanpa berlama-lama menunggu. Tapi ingat ketika engkau terlena, maka perlahan-lahan tulah dan tumbal masuk dalam rumahmu. Ia akan datang untuk membawa lari setiap orang yang tinggal di dalamnya. Mungkin ayahmu atau ibumu atat saudaramu atau saudarimu atau kekasihmu atau bahkan dirimu sendiri.” Saat itu, ia tak menghiraukannya. Ia tetap pada pilihannya.
“ Baiklah. Poli berhati-hatilah menggunakan benda-benda bertuah itu. Ketahuilah, kamu telah menduakan Tuhan. Itu tidak baik!”
***
Masih lekat dalam ingatanku, semangat Poli yang begitu berkobar-kobar ingin membersihkan wajah politik di negeri ini.
“ Sas, wajah negeri ini kian bopeng dan dipenuhi jerawat-jerawat.” demikian kata Poli sambil melihat jauh ke jalan raya yang ada di depan kontrakan kami. Ah..mungkin saja tatapan lebih jauh dari dugaanku. Lama ia terdiam sebelum akhirnya ia lanjut berkata ” Wajah negeri ini yang dulunya cantik dan tampan, mulus dan tulus kini telah berubah jadi buruk rupa oleh laku dan kata anak-anak kandung negeri ini sendiri.”
“ Yah..yah..kalau perempuan yang berjerawat atau kini bahkan laki-laki yang berjerawat susahnya minta ampun” tanggapku untuk mencoba mengurai dan menyelami maksud kata-katanya. Sambil meraba-raba wajahku sendiri, “ Bintik-bintik merah menjelma menjadi sekumpulan ranjau-ranjau mematikan. Ranja-ranjau itu harus segera dijinakkan jika tidak mereka akan meledak dan menghancurkan tubuh atau sekurang-kurangnya membuat tubuh jadi tak berbentuk lagi, berlubang-lubang, tak lengkap lagi. Dan itu petaka bagi laki perempuan yang memuja tubuh tanpa batas.
“ Bayangkan saja, mereka tidak bisa tidur, makan nasi seukuran satu genggam tangan laki-laki dewasa pun tak tuntas. Seharian mereka memandang diri pada cermin di dalam kamar tidur. Tidak puas pada cermin seukuran wajah, mereka segera beralih pada cermin seukuran tubuh di dalam kamar mandi. Mereka tidak masuk kerja karena sakit perut, demikian dalih mereka pada atasan. Dengan wajah bercadar, mereka menyelinap keluar rumah hanya untuk membeli cream aneka jenis untuk menghilangkan jerawat. Manusia, laki perempuan menjadi gelisah tak karuan. Seolah-olah hidup ini hanya seluas wajah mereka ” Kata-kata Poli sambil melirik diriku.
“ Sungguh sayang Sas, gelisah itu tidak hinggap pada wajah politik negeri ini, pada anak-anak kandung negeri ini. Tidak ada yang sungguh-sungguh gelisah. Semuanya pura-pura bergumul dalam gelisah. Setengah hati untuk negeri ini. Semuanya tidak mau tahu, rusak atau busuk sekalipun tidak mengapa. Yang penting bukan aku atau bukan kami. Sas, aku yang muda ini gelisah setengah mati dengan semuanya ini. Bukankah kamu pun demikian ?” tanya Poli padaku dengan nada menantang, tatapan mata yang menusuk sampai kalbuku.
Bila dipikir-pikir, apa yang dikatakan Poli ada benarnya juga. Itu terbukti pada diriku. Aku selalu gelisah dengan jerawat-jerawat yang terus bermunculan di wajahku. Mana ada gadis yang dekat padaku bila wajahku bopeng. Wajah ganteng plus mulus, rambut air aliashitam lurus seperti bintang film Korea jadi kriteria paling utama. Tak pernah aku gelisah tentang bencana yang menimpa orang lain. Bagiku, itu urusan mereka, bukan urusanku.
Aku melihat Poli yang kembali terpekur diam, tatapannya kembali jauh ke depan. Entah ke mana tatapan itu berhenti. Mungkinkah Poli bisa tampil serupa pahlawan bagi negeri ini? Bagiku, Poli punya semangat seorang pahlawan sejati. Untuk semangat yang langka seperti ini, yang jarang ku temukan saat ini, aku berharap, Poli tak kembali ke kampung. Rasa-rasanya tidak tepat bila orang sehebat Poli, berjuang di tempat yang kecil, udik, jauh dari kamera dan lampu blitz. Poli lebih cocok tinggal di ibu kota dan memperjuangkan idealismenya di sini. Kata orang; right man in the right place. Gantikan orang-orang yang tak tepat dan tak mampu menjadi penyambung mulut rakyat. Lebih banyak yang jadi penjilat. Di sini, di ibu kota negeri inilah, tempat yang paling tepat bagi Poli untuk menabur benih-benih idealismenya.
“ Pol, urungkan niatmu pulang ke kampung?”
“ Sas, kita harus bergerak dari lingkungan yang kecil. Bila berhasil di daerah, kita pelan-pelan bergerak ke ibu kota. Sas, jangan dikira, politik di daerah berjalan pada relnya, aman-aman saja. Justru di sana lebih bergolak ketimbang di ibu kota. Yah, aku akan berjuang dari bawah. Aku tak mau berada di dewan hanya karena popularitas tapi lebih karena aku sudah bersama-sama berjuang dan berpeluh di tengah saudara-saudariku. Sas, masihkah kamu ingat kata-kata Pak Dewanto, guru Pancasila kita di sekolah menengah atas, yang suka menggunakan kutipan-kutipan dari para bijak, entah dia kutip dari mana, begini katanya : ubahlah dirimu terlebih dahulu maka yang lainnya akan turut berubah. Sas, aku sungguh meyakininya. ”
Aku hanya senyum saja. Senyum malu, tepatnya. Aku tidak mengingatnya lagi. Jujur saja, kekuatan ingatanku rupanya lambat menangkap serpihan kisah yang sudah berlalu beberapa puluh tahun itu.
“ Poli..Poli..kamu memang hebat. Aku bangga padamu, sahabatku” pujiku pada Poli untuk menutupi rasa maluku. Sejujurnya, aku malu karena tak bisa seperti Poli, mempersembahkan hidup untuk negeri ini. Tapi tetap dalam dada ini masih terselip keraguan. Aku ragu apa bisa semuanya berjalan dengan lancar. Bukankah orang muda selalu penuh dengan semangat? Bisakah semangat ini bertahan kekal ? Masihkah Poli memberi kritik bila ia telah menjadi bagian dari dunia kegemarannya ini? Di sela-sela semua tanya ini, aku, sahabatnya, hanya bisa berdoa, semoga berhasil apa yang diimpikannya, apa yang akan dihidupinya itu.
Maka terjadilah. Poli tetap berpijak pada pilihannya. Poli pulang ke kampung halaman kami, Aku tetap tinggal di ibukota, mencoba menjadi seorang penulis naskah sandiwara, drama, dan film. Aku kehilangan kontak dengannya. Berita terakhir yang aku peroleh, Poli mendapat tawaran untuk menjadi orang partai. Tak hanya satu partai yang hendak menggaet Poli, tapi beberapa partai. Mulai partai yang paling muda sampai partai yang paling tua. Wah, rupanya kehebatan sobatku sudah menjadi buah bibir orang-orang partai di kampung kami. Dari sekian banyak tawaran, Poli memilih partai yang sejalan dengan idealismenya. Partai yang berpegang pada hati nurani. Aku bersyukur untuk pilihannya itu. Sekurang-kurangnya dari nama sudah tersimpan sebuah harapan. Harapan akan datangnya sebuah perubahan yang lebih baik dari sebelumnya.
Ia begitu sibuk dengan mimpinya, demikian pula aku berjuang dengan mimpiku.
***
Sepuluh bulan yang lalu, petaka itu bermula.
Sas, aku ingin membeli cincin-cincin bertuah yang ada di tanah Jawa. Demikian, pesan singkat yang kuterima dari Poli. Poli memesan sepuluh cincin. Bukan sembarang cincin, tetapi cincin yang bertuah. Aku heran bercampur bingung dengan permintaannya ini. Untuk apa kesepuluh cincin bertuah itu? Apakah Poli hendak mengubah jalan hidupnya? Dari seorang politisi menjadi kolektor benda-benda antik bertuah? Ataukah dari seorang politisi menjadi seorang paranormal? Atau ia ingin jadi politisi sekaligus paranormal? Memang sih dari sisi mencari kekayaan, dua-duanya adalah profesi yang mendatangkan uang. Bisa jadi kaya dalam sekejap mata. Tidak perlu repot-repot bekerja dengan peluh sekujur tubuh.
Sebenarnya, aku tak mau mencari cincin-cincin bertuah itu. Kedatangan Poli ke ibu kota, mau tak mau, mendorongku untuk mendapatkan cincin-cincin bertuah tersebut. Rupanya tak mudah bagi kami untuk menemukan cincin-cincin bertuah itu. Pemilik cincin bertuah tersebut sering memberi harga tinggi. Namun untunglah, harga cincin tidak menjadi perkara bagi Poli. Sempat aku berpikir, Poli tak mungkin bisa membeli semua cincin bertuah tersebut karena masalah dana yang terbatas. Rupanya dugaanku meleset. Ia sudah menyiapkan dana yang besar untuk memperoleh cincin-cincin bertuah itu. Dari mana Poli mendapatkan uang yang banyak itu? Selepas belanja kesepuluh cincin barulah kutahu dari Poli bahwa uang yang dimilikinya itu adalah hasil menjual sawah-sawah dan tambak-tambak ikan warisan orang tuanya. Dengan yakin Poli berkata bahwa semuanya itu akan kembali padanya jika ia sudah sukses. Bahkan jika ia mau, ia akan membeli lebih banyak lagi sawah dan memperluas tambak-tambak ikannya.
“ Pol, untuk apa cincin-cincin ini?”
“ Ini bagian dari tuntutan profesi” demikian ujar Poli padaku.
“Ah yang benar saja kamu Pol’ jawabku sambil ketawa. Mana ada cincin jadi tuntutan profesi seorang politisi? Mana ada cincin-cincin bertuah jadi bagian dari gaya hidup para politisi? Setahuku, jadi politisi itu cukuplah cakap dalam berbicara, mumpuni dalam membaca tanda-tanda jaman, mumpuni dalam melihat kebutuhan rakyat. Setahuku menjadi politisi itu cukuplah berpakaian parlente, pakaian bermerk karya-karya desainer tenar negeri ini.
“ Pol, apakah kamu ingin jadi politisi sekaligus dukun? Ha ha ha..apa kamu ingin cepat-cepat jadi kaya? Pol, pilihlah satu, supaya kamu fokus, supaya perhatianmu tidak terbagi. Apakah gaji seorang politisi di dewan tidak cukup bagimu?
Poli mendengar kata-kataku dengan tenang, meski aku tahu dia marah karena kata-kataku ini. Wajah putihnya memerah. Marah tidak membuatnya kehilangan senyuman. Ia belum membalas kata-kataku. Sepertinya ia hendak membiarkan aku berbicara sepuasnya.
“ Pol, untuk apa tuah kekebalan tubuh, tuah kewibawaan, tuah kepercayaan diri, tuah pengusir bala dan tuah-tuah lainnya itu? Di manakah pikiranmu yang waras itu? Percayakah kamu pada hal-hal yang mistis-magis, yang tak masuk akal itu ? “ ujarku dengan nada sinis menantang.
“ Sas, cincin-cincin ini bagian dari tuntutan profesi seorang politisi di kampung” tegas Poli sekali lagi.
“ Sas, aku baru tahu dan sadar bahwa tak selamanya idealisme harus terjadi dalam kenyataan” tanggap Poli dengan pelan tapi dengan tekanan yang jelas terdengar di telingaku. Aku mulai terusik dengan kata-kata Poli ini. Ada apa dengannya? Di manakah semangat seorang muda, calon pahlawan, yang berkobar-kobar sepuluh bulan yang lalu? Polikah yang sedang berbicara denganku? Semua tanya ini berkecamuk dalam diriku, berebut waktu untuk segera terucap.
Lanjut Poli, “ Apalagi aku yang baru saja masuk dalam dunia itu. Aku perlu banyak belajar dan banyak meniru para pendahulu.”
“Sekalipun itu tak sejalan dengan akalmu, hatimu? selaku.
Ia tersenyum, aku terjangkit penasaran.
“ Aku harus menjadi bagian dari kehidupan mereka. Aku tak mau tampil blak-blakan sekalipun aku tahu apa yang mereka percakapkan itu tidak benar. Itu sikap yang kurang santun bagiku yang masih baru belajar merangkak ini. Jika hal ini yang kulakukan, aku pasti kalah. Bukan sekedar kalah dari dunia politik, tapi aku bisa hilang dengan mudahnya dari dunia ini alias mati. Mati muda, Sas. Apa kamu mau mati muda sebelum berbuat sesuatu yang berguna? Untuk alasan inilah, aku ingin memiliki cincin-cincin bertuah dari tanah Jawa ini. Cincin-cincin ini akan melindungiku. Aku dengar, tuah-tuah dari tanah Jawa tak tertandingi kemampuannya. Sas, ketahuilah, kebanyakan para dewan terhormat menggunakan aneka jenis cincin. Bukan sembarang cincin Sas. Semuanya cincin bertuah, berdaya magis yang berasal dari segala penjuru mata angin. Barang siapa yang tidak menggunakan cincin-cincin bertuah, maka pastilah ia akan kehilangan respek dan rasa takut dari kawan maupun lawan. Kamu akan mudah dikalahkan. Lagi pula Sas, idealisme cinta pada negeri ini tidak mampu memberimu hidup enak dan berkecukupan. Masa hidup yang singkat ini, aku habiskan dengan derita karena berjuang untuk idealisme yang telah jadi absurd ini. Persetan dengan idealism ini, persetan dengan mimpi mengubah dunia, persetan dengan mimpi jadi pahlawan. Biarlah orang lain yang melakukannya.
Luruh rasa banggaku pada Poli. Pening di kepala mendorongku untuk sejenak beranjak dari hadapan Poli. Sebutir aspirin dan segelas air bening segar mungkin bisa menghilangkan pening yang berakar pada kecamuk setumpuk aneka rasa dalam dada. Tak ada lagi niat untuk bertanya. Kubiarkan Poli berapologi dengan kata-katanya.
“ Sas, kamu pasti berpikiran jika kita mengandalkan Tuhan, maka kita akan selamat. Tak perlulah menumpukan hidup pada benda-benda bertuah itu selain kepada Tuhan sajalah kita berharap. Sepertinya keyakinan ini perlu dipertanyakan lagi. Hal ini pun pernah muncul dalam diriku. Aku pernah ditantang dengan pernyataan ini, Sas. Aku seperti tersadar ketika menyaksikan sendiri bagaimana seorang anggota dewan meninggal dunia tanpa sebab, tanpa sakit. Ia tak punya sakit jantung, tak punya sakit tekanan darah tinggi. Singkatnya, ia tidak punya riwayat penyakit yang mematikan. Tambahan lagi, anggota dewan yang mati itu adalah pribadi yang taat beragama, gemar berziarah, rajin bersedekah, rajin berpantang dan berpuasa, aktif di lingkungan keagamaan. Semuanya sepertinya tanpa arti, tak ada faedahnya bagi Tuhan. Apa balasan Tuhan untuk semua bakti salehnya itu? Semakin membuatku heran adalah pernyataan salah seorang anggota dewan saat mengantar jenasah almarhum ke tempat pembaringan terakhir “ Bung Deo terlalu percaya dengan Tuhan. Inilah akibatnya jika bersikap demikian. Mati dalam usia muda”. Sas, aku merinding mendengar kata-kata ini.
Sas, kepintaran, kepandaian berargumen bukan lagi hal yang penting. Anggota dewan yang meningggal itu terkenal dengan kemampuannya yang hebat dalam meluruskan argumen. Memang tak mengherankan bagiku, ia seorang lulusan Strata dua dari universitas terbaik di negeri ini. Menurut cerita, ia selalu mempertanyakan setiap kebijakan yang diajukan para anggota dewan lainnya. Setiap kelemahan dan kejanggalan kebijakan selalu mental oleh pendapatnya. Setiap kata, setiap tindakannya menuai musuh bahkan dalam kalangannya sendiri. Sas, rasa-rasanya, perjuangan tentang kebenaran, keadilan bukan waktunya lagi. Jika kita ingin hidup lama janganlah sok jadi pahlawan bagi rakyat kecil. Ingatlah keluarga sendiri ketimbang rakyat, yang statusnya hanya orang lain saja. Sas, dia pergi dengan meninggalkan istri dan anak-anak yang masih kecil. Siapa yang akan merawat istri dan anak-anak itu? Apakah negeri ini ? Aku sangsi. Negeri ini terlalu mudah untuk melupakan jasa baik saudara-saudaranya sendiri.
Janganlah kamu mengira, orang-orang yang duduk di dewan itu adalah orang-orang terpelajar, lulusan ilmu politik atau sebagainya. Coba kamu bayangkan, ada yang bekas preman ibu kota yang dapat berkah jadi anggota dewan terhormat, ada bekas tenaga kerja di luar negeri yang karena lancar berbahasa Inggris terpilih jadi wakil rakyat, ada yang tak tamat sekolah menengah atas namun karena punya status tuan tanah jadilah ia penyambung lidah rakyat. Maka tak heran, tak ada janji yang tuntas terlaksana. Datang hanya untuk gosip-gosipan tentang siapa punya selingkuhan paling tajir. Lihatlah yang sering terjadi, rumah-rumah berubah jadi istana. Roda dua menjadi roda empat. Cincin plastik jadi cincin emas. Sandal jadi sepatu kulit. Semuanya jadi sarjana dadakan. Mereka jadi aparat keparat, sedangkan rakyat makin melarat sekarat.
Meski baru sewindu turun ke kampung, banyak hal seputar dunia politik kampung telah kuketahui. Aku baru sadar bahwa kebijaksanaan, kepandaian, kejujuran, setia dan percaya pada teman bukanlah utama untuk bertahan di dalam dunia politik. Jika kamu ingin disegani baik pihak maupun lawan maka kamu harus memiliki tiga kekuatan ini, money, magic, dan preman. Tentunya kalau magic, aku sudah mempunyainya. Sepuluh cincin bertuah ini sudah cukup bagiku untuk menangkis angin jahat yang ingin mencelakaiku. Selain itu, aku juga sudah mempunyai seorang penasihat berilmu, seorang pintar. Ia yang akan melindungiku dengan mantra-mantranya. Tidak hanya itu Sas. Lihatlah corak dan warna pakaian yang kukenakan ini. Kamu tahu bukan aku tak menyukai warna kuning dengan motif bunga anggrek. Bagiku, pakaian ini terlalu kewanitaan. Tapi aku harus memakainya demi keselamatanku. Sas, ketahuilah setiap jalan yang kami lalui, setiap rumah yang kami kunjungi, setiap kampung yang kami masuki telah disebar teluh oleh lawan politik. Teluh yang mendatangkan petaka bagi kami. Tentu bagimu hal ini tak masuk dalam akal bukan? Mungkin bagimu, ini hanyalah sebuah lelucon atau sebuah mitos belaka? Bagaimana menghubungkan warna pakaian dengan keselamatan? Tapi, bagiku, hal ini sudah terbukti. Untuk itulah, setiap warna dan corak baju yang kukenakan selalu berdasar pada petuahnya. Semuanya itu untuk mementalkan teluh yang dikirim lawan. Yah, aku mungkin seperti boneka dalam tangan seorang dalang. Tapi yang terpenting bagiku adalah luput dari teluh.
Perkara preman. Yah..yah..kamu tahu aku paling tidak suka dengan para preman yang tidak punya otak, hanya gemar bermain otot dan kekerasan. Namun, demi cita-citaku, aku harus bersahabat dengan mereka. Oh ya..Sas, aku punya mentor bekas preman ibu kota yang sudah bertobat. Ia disegani karena masa lalunya. Aku berharap kedekatanku dengannya bisa memberi pengaruh bagi kewibawaanku sendiri. Dengan kedekatanku ini, orang-orang akan berpikir dua tiga kali bila hendak menjatuhkanku. Aku bisa menggunakan teman-teman preman untuk menghancurkan para lawan politik atau sekurang-kurangnya memberi shock therapy untuk mereka. Mentorku ini pernah bercerita dia pernah menyuruh anak buahnya untuk membunuh sepuluh sapi piaran lawan politiknya. Sepuluh kepala sapi dibiarkan tergeletak di dalam kandang sedangkan tubuh sapi-sapi dibawa pergi entah ke mana. Sejak saat itu, lawan politiknya tidak berani berbuat nekat lagi.
Kekuatan yang ketiga inilah yang tidak kumiliki. Lebih tepatnya, belum kumiliki. Aku bukan orang yang kaya raya dengan uang yang melimpah. Untuk sebuah kursi empuk di dewan, aku harus mampu membayar dengan uang yang tidak kecil jumlahnya. Untuk memperoleh suara yang banyak aku harus bisa membeli suara rakyat. Kamu tahu, sawah warisan orang tuaku sudah ku jual untuk mendapatkan sepuluh cincin bertuah ini. Tak ada lagi benda-benda berharga yang tersisa di rumahku. Tidak mungkin bagiku menjual rumah besar peninggalan ayahku. Di mana ibu dan adik-adikku akan tinggal? Tapi, Sas, aku sudah menemukan cara untuk mengatasi masalah ini.
Poli, tidak memberitahukan kepadaku tentang rencananya itu. Aku tahu, bila ia tidak memberitahukan kepadaku berarti ia sedang mempertimbangkannya.
***
Sepuluh hari yang lalu.
Perlahan-lahan, Poli melepaskan cincin sepuluh warna, sepuluh tuah, setelah sepuluh bulan menghiasi kesepuluh jemarinya. Sepuluh lingkar bekas cincin terlihat jelas di jari-jari Poli yang kelihatan mulai menggemuk. Rupanya sejak sepuluh bulan yang lalu, Poli tak pernah sedikitpun melepaskan cincin-cincin itu.
“Pol, kamu sungguh-sungguh tak ingin menggunakan cincin-cincin ini lagi?”tanyaku dengan sedikit mendesak. Aku berharap ia segera memberi jawaban. Sejujurnya, aku senang bila ia tidak lagi menggunakan benda-benda bertuah. Dia hanya tersenyum sambil kembali memasang sebuah cincin. Sebuah cincin yang lain dan berbeda dari kesepuluh cincin yang sangat ku kenal itu. Sebuah cincin emas bermata berlian.
“Sas, sepuluh hari lagi aku akan menikah,” kata Poli sambil memamerkan cincin emas bermata berlian. Aku sedikit kaget dengan kata-katanya ini. Kekagetanku agak mencair karena kekagumanku pada cincin emas bertahta berlian. Mata cincin itu berbentuk salib. Sungguh indah. Meski kaget sekaligus kagum, aku tetap diliputi penasaran, siapa gadis yang akan dipersunting Poli. Aku yakin, gadis tersebut bukanlah gadis sembarang.
“Lihatlah gadis yang akan kunikahi” kata Pol sambil menyerahkan blackberrynya padaku. Aku tahu, Pol tidak akan langsung memberitahukan siapa nama gadis yang akan dipersuntingnya. Cukup lama kuperhatikan foto mesra Pol dan gadisnya. Sepertinya aku mengenal gadis ini. Tapi apakah mungkin dia. Ah, tidak mungkin Poli memilih Dia. Dia bukan gadis yang cocok untuk orang setampan Pol.
“ Sas, itu memang Dia” jawab Pol memecah kebingunganku. Nadia, teman sekelas kami sewaktu sekolah di kampong. Nadia, gadis berbadan gemuk namun berotot, badanya tinggi, berambut separoh ikal Kulitnya separoh hitam. Yah Nadia, sewaktu kecil, selalu membawa sapu tangan untuk menghapus ingus. Ingus yang selalu keluar. Jelas, Nadia bukan gadis primadok pernna. Setahuku, ia tidak pernah masuk dalam daftar gadis Top di sekolahan.
“ Pol apakah kamu sungguh ingin menikahi Dia” tanyaku masih tetap tak percaya.
Bukannya menjawab pertanyaanku, Pol justru balik bertanya kepadaku.
“Sas, masih ingatkah kamu pelajaran sejarah yang diajarkan Pak Bambang ?” tanya Pol yang ingin menjelaskan pilihannya untuk menikahi Dia.
“ Masih ingatkah tentang politik pernikahan”?
Ingatanku mulai terbuka.
“ Kalau tak salah, politik pernikahan itu dilakukan para saudagara Timur Tengah ketika pertama kali datang ke nusantara. Mereka menikahi puteri-puteri raja dan bangsawan. Mereka menjadi bagian dari keluarga bangsawan. Menjadi keluarga bangsawan berarti mereka memiliki kuasa dan pengaruh. Apapun yang mereka lakukan akan didukung oleh pihak keluarga.
“ Itulah maksudku menikahi Nadia” tegas Poli padaku. Sas untuk tetap bertahan dan menang, aku harus memiliki pendukung. Kamu tahu aku bukan dari suku yang hebat dan besar. Nadia berasal dari suku yang hebat, besar. Ayahnya petinggi suku dan sangat disegani. Bukankah dengan menjadi bagian dari suku mereka, niscaya aku pasti akan mendapat dukungan dari mereka. Aku tak perlu membeli mereka, mereka dengan sendirinya akan mendukungku.
Kamu pasti bertanya tentang perkara cinta. Sas, cinta dapat tumbuh seiring dengan waktu. Lagian Sas, apa sih yang sulit untuk mendapatkan gadis muda dan cantik. Setiap minggu bahkan setiap hari pun aku bisa mendapatkannya. Dengan uang apa sih yang tidak bisa didapatkan. Maaf, aku berkata demikian. Aku tahu kamu adalah pembela kaum perempuan. Aku hanya berusaha untuk jujur padamu. Ketahuilah, setiap bulan kami datang ke ibu kota dengan dalih pertemuan. Selepas pertemuan, kami akan menyambangi tempat-tempat pelepas birahi dengan ditemani gadis-gadis muda yang mengaku masih sekolah, masih kuliah. Mereka membutuhkan uang,kami membutuhkan kehangatan
“ Nadia jadi istri pajangan bagimu di rumah, di depan banyak orang, “ tanggapku dengan rasa jengkel.
“ Aku tak tahu apa yang akan Dia rasakan. Bagiku dia sudah merasa senang bisa mendapatkan laki-laki sepertiku. Kamu tahu tidak Dia pernah berujar aku seperti pangeran yang datang memberikan ciuman kehidupan baginya yang telah lama tertidur. Ia pernah kehilangan asa untuk bisa bersuami. Tak ada yang mau menikahinya. Tapi ketika aku datang dan menyatakan niatku. Ia dengan senang menerimaku, meski ada kaget dan ragu dalam dirinya.
Dari pada kejengkelanku semakin menumpuk, aku bertanya lagi tentang cincin-cincin bertuahnya itu.
“ Jadi kamu tidak lagi menggunakan cincin-cincin bertuah ini”?
Sejauh ini, berkah dari cincin-cincin tersebut telah ia terima. Kemudaannya tidak menjadi baginya untuk bergabung bersama para pendahulunya. Para tetua mulai menaruh rasa hormat padanya. Ia selalu diajak untuk terlibat dalam setiap pertemuan. Di setiap pertemuan, kata-katanya selalu sebagai kesimpulan dan itulah yang akan dijalankan oleh partai. Ia semakin disegani oleh lawan dan kawan. Kemenangan, ketenaran semakin dekat padanya. Semuanya ini mungkin semakin menumbuhkan rasa banggaku atasnya. Tapi rasa banggaku ini belum lengkap bila Poli tak segera memunculkan idealisme luhurnya. Poli masih begitu lekat pada dirinya. Ia belum berpaling pada yang lain. Sekali, aku bertanya tentang hal ini. Tapi, ia justru berkata bahwa belum waktunya memikirkan dan berbuat banyak untuk orang lain.
“ Sas, aku akan tetap untuk menggunakannya” ujar Poli padaku. Aku tak mungkin melepaskan cincin bertuah setelah semua rejeki yang kudapat. Lebih dari itu, aku telah menanam dendam dan benci dalam diri pada lawan politikku. Bila aku melepasnya, aku akan mudah terkena teluh.
“ Lalu, mengapa kini kau lepaskan kesepuluh cincin bertuah ini? Tidak takutkah kamu pada teluh yang mengincarmu saat ini?”
“ Sas, keluarga Dia adalah keluarga saleh. Mereka sangat taat pada ajaran agama, taat pada Tuhan. Tidak ada tempat bagi orang yang meragukan dan menduakan Tuhan. Meski mereka senang anak gadisnya mendapat jodoh, tapi mereka tak akan tolerir bahkan menolak pinanganku bila aku tak melepaskan cincin-cincin bertuah ini. Aku menurutinya. Tapi, Sas, aku tetap menggunakannya, meski hanya satu saja. Dan itu tidak terlihat oleh mereka.
Aku bingung. Tak ada lagi cincin bertuah yang digunakannya selain cincin emas bermata berlian itu. Tidak mungkin cincin itu menjadi cincin bertuah. Di mana lagi, cincin bertuah itu akan dipakainya. Tak mungkin pada jari-jari kakinya.
“ Sas, aku menggunakan cincin bertuah di jari terakhirku” kata Poli sambil menunjuk kemaluannya.
“ Poli..Poli..Poli..”
***
Butuh tiga jam untuk tiba di bandara. Masih satu jam lagi untuk tiba di kampung. Hujan masih turun dengan derasnya. Belum mau berubah jadi gerimis. Belum mau memberi kesempatan bagi matahari untuk bersinar. Bila ini terus berlanjut sampai sore, maka jari terakhir Poli tidak bisa ditemukan lagi. Bila pelangi tak muncul, maka telaga pelangi tak bisa ditemukan. Bagaimana menemukan telaga pelangi tempat Poli harus berbasuh tujuh kali? Cara inilah, menurut Ki Pintar, yang bisa membantunya.
Dari atas, hujan masih turun dengan derasnya. Aku hanya bisa berharap dan berdoa pada Tuhan. Semoga ia mau mengampuni Poli meski telah menduakan-Nya. Semoga pelangi muncul sebelum gelap turun melingkupi bumi ini.